Mereka berenam pun terus berjalan, menyelusuri Pulau Hitam. Dengan saling terdiam satu dengan lainnya. Seakan tak ingin saling berbicara satu sama lainnya. Seolah mereka semua sudah kehilangan gairah untuk saling berbicara, satu dengan yang lainnya. Selepas kejadian-kejadian menyedihkan yang mereka alami. Seakan tak mampu untuk lepas dari bayang-bayangan kesedihan mereka.
Terus berjalan dengan jalan pikiran mereka sendiri. Tanpa ada sepatah kata pun yang keluar dari dalam mulut mereka berenam.
Hingga mereka tiba di lubang di mana jasad Tigor berada bersama ular-ular berbisa yang ada di dalamnya.
Tanpa banyak bicara lagi. Aryo, Andi dan Tino, lalu menggali tanah di sekitar lubang itu. Lalu menimbunnya ke dalam lubang itu. Agar jasad Tigor terkubur dengan sempurna. Dan tak menjadi sumber penyakit, saat tubuhnya membusuk nanti.
Dengan 3 cangkul dan 3 orang yang menimbunnya. Maka lubang itu pun telah tertimbun dengan sempurna, dalam waktu yang singkat.
Setelah selesai menimbun jasad Tigor bersama ular-ular berbisa itu. Mereka lalu menuju ke Pulau Kuning, di mana jasad Ketut berada di dalam lubang yang penuhi oleh semut rangrang merah. Yang berada di puncak bukit di Pulau Kuning.
Terus berjalan dengan tatapan kosong. Mereka berenam terlihat begitu bersedih atas kematian 4 teman mereka. Yang tak pernah mereka sangka sama sekali. Jika kenyataan pahit dan mengerikan akan menimpa mereka.
Liburan yang awal dipenuhi oleh kebahagian. Mendadak menjadi tragedi, seakan mereka sudah masuk perangkap dari 7 Malaikat Kematian untuk menjadi korban mereka.
Akhirnya mereka berenam tiba di jembatan gantung kayu, penghubung Pulau Hitam dengan Pulau Kuning.
Menyelusuri jalan setapak untuk menuju puncak Bukit Kuning. Dengan langkah-langkah kepedihan mereka. Hingga mereka berenam pun tiba di puncak bukit itu.
Di sana mereka menemukan jasad Ketut beserta semut rangrang merah. Yang begitu menyedihkan.
"Mereka benar-benar gila!" teriak Aryo, dengan penuh amarahnya. Terhadap apa yang sudah dilakukan oleh 7 Malaikat Kematian. Terhadap teman-temannya.
Amarahnya begitu memuncak. Hingga wajahnya pun memerah.
"Sudahlah, kau jangan seperti itu. Tak ada gunanya. Lebih baik kita segera tutup jasad Ketut dengan tanah," ucap Tino, yang membuat amarah Aryo mereda begitu saja.
"Kau benar juga, No," sahut Aryo, lalu tersenyum kepada Tino.
Tanpa bicara lagi Aryo, Tino, dan Andi segera menggali tanah yang ada di sekitar lubang itu. Dan lalu menimbunnya ke dalam lubang itu, dari tiga arah yang berbeda. Hingga lubang itu pun benar-benar tertutup dan rata dengan tanah di sekitarnya. Dalam waktu singkat.
"Selesai juga," kata Tino, sambil menghela keringat di keningnya.
Perkataan Tino pun tak ada yang meresponnya sama sekali. Seakan mereka sedang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Mereka berenam lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah Pulau Merah yang ada di sebelah kanan Pulau Hitam.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya mereka tiba di puncak bukit di Pulau Merah. Dengan lelah yang semakin mereka rasakan.
Tampak di dalam lubang yang dipenuhi oleh lintah itu. Selain ada tubuh Anto, terdapat juga tubuh Malaikat Kuning, yang telah mati terkena racun yang sama dengan racun yang telah menewaskan Thomas.
"Rupanya Malaikat Kuning sudah mati, kau hebat juga Tom, bisa membunuh satu dari mereka," ujar Aryo, dengan pujiannya kepada Tomy.
"Itu dalam keadaan terdesak saja, aku bisa melakukan hal itu," timpal Tomy, dengan senyum kepedihannya. Mengingat kejadian di mana Thomas terluka, dan mati.
"Sudah jangan banyak bicara lagi, lebih baik kita kubur mereka," ucap Tino. Yang segera menggali tanah untuk menutup lubang itu.
Andi dan Aryo pun lalu melakukan hal itu. Dari 3 penjuru, mereka lakukan hal itu. Hingga lubang itu pun tertutup kembali, dalam waktu singkat.
Setelah selesai melakukan akan hal itu. Mereka berenam lalu duduk di atas puncak bukit itu. Sambil memandang ke arah Laguna Kematian yang ada di depan bukit itu.
"Dengan matinya Malaikat Kuning, berarti 7 Malaikat Kematian yang tersisa tinggal 6 anggota," ucap Aryo, dengan analisanya.
"Kemungkinan, anggota yang tersisa tinggal 5 orang. Karena Malaikat Hijau, sudah jatuh saat berkelahi dengan diriku," sambung Tino terhadap perkataan Aryo.
"Oh, iya aku lupa. Tapi itu baru kemungkinan saja, bisa saja ia masih hidup," timpal Aryo, belum yakin.
"Kalau begitu, lebih baik kita cari mayatnya untuk memastikan kematiannya itu," timpal Tino kembali, berusaha menyakini Aryo.
"Tidak perlu, itu hanya membuang waktu kita saja. Lebih baik kita kembali ke pondok saja," timpal Aryo, lalu bangkit dan berjalan meninggalkan puncak bukit itu.
"Ya, sepertinya kita lebih baik kembali ke pondok itu," ujar Tino, lalu bangkit dari duduknya. Dan mengikuti langkah Aryo di depannya. Malas untuk membahas tentang anggota dari 7 Malaikat Kematian..
Noval, Andro, Tomy dan Andi pun mengikuti langkah mereka berdua dari belakang. Dengan membawa cangkul, yang telah mereka gunakan untuk mengubur para pemenang kuis yang telah tewas itu.
Mereka berenam terus melangkahkan kakinya. Diiringi Matahari yang mulai condong ke arah barat. Tempat di mana peraduannya berada.
Terus melangkah dan terus melangkah tanpa kenal lelah, walaupun mereka sudah benar-benar lelah jiwa dan raga mereka. Hingga akhirnya mereka pun tiba kembali ke dalam pondok kayu itu.
Mereka lalu duduk di sofa di ruang tamu. Di sofa yang tak ada noda darah bekas luka Thomas.
"Semua ini, seperti mimpi buruk saja. Kemarin kita masih bersepuluh di sini. Tapi sekarang kita tinggal berenam. Entah esok hari, kita tinggal berapa orang?" ujar Tomy, dengan tatapan hampa, yang terpancar di mata kecilnya. Dengan penuh kepedihannya kepada teman-temannya yang sudah mati. Terutama kepada Thomas.
"Sudahlah, Tom. Jangan terbawa oleh perasaan. Lebih baik kita masak yu ...," ucap Aryo, lalu menggandeng tangan Tomy. Yang hanya menuruti keinginan Aryo itu.
"Baiklah, lebih baik kita memasak untuk makan malam ini," ucap Tomy. Mereka berdua pun lalu pergi menuju ke dapur, dengan langkah santai.
"Kalau aku ingin mandi dulu, badanku terasa gatal," ucap Tino, lalu meninggalkan ruang tamu itu. Dan melangkahkan kakinya menuju ke dalam kamar yang ia tempati untuk mandi.
"Kalau aku ingin tidur dulu, mataku mengantuk sekali," ucap Andi, lalu melangkahkan kakinya, menuju ke kamar yang ia tempati bersama Noval, Andro dan Aryo.
Sepeninggalan mereka semua. Yang tersisa di ruang tamu itu, hanya tinggal Andro dan Noval saja.
"Ndro, lebih baik kita ke dapur saja. Kita bantu Tomy dan Aryo memasak," ucap Noval, sambil bangkit dari duduknya, lalu melangkahkan kakinya menuju ke arah dapur.
"Baiklah, akan ku buktikan kemampuanku sebagai seorang chef," jawab Andro, yang segera bangkit dari duduknya. Dan lalu mengikuti langkah kaki Noval.
"Nghayal saja bisanya," jawab Noval dengan datarnya. Dengan bibir yang dimajukan kepada sahabatnya itu.
"Biarin!" ketus Andro, terus mengikuti langkah kaki Noval.
Semua tragedi yang terjadi secara beruntun itu, seakan ingin mereka lupakan. Walaupun itu hanya untuk sejenak. Dan mungkin saja tragedi itu akan terjadi kembali, yang akan menimpa diri mereka selanjutnya.