Bab 66. (Menuju Rumah Malaikat Putih)

1069 Kata
Setelah kematian Malaikat Biru, hujan pun kembali turun, bahkan semakin membesar dari yang tadi. Yang hanya sekedar gerimis saja. Sebagai basa-basi untuk membasahi Bumi. Hujan di musim kemarau itu, seakan ingin mengantar Malaikat Biru, kepada alam kematian yang sesungguhnya bersama kidung kematiannya. Yang menyayat hati. Hujan itu seakan ingin membuka portal dimensi kematian untuk Malaikat Biru. Untuk berduel dengan Malaikat Putih yang sudah menunggunya di alam kematian. Tampak di puncak bukit di Pulau Hitam. Malaikat Hitam dan Malaikat Merah. Yang memperhatikan kejadian kematian Malaikat Biru, dengan teropongnya, sejak dari tadi. Terlihat tenang-tenang saja. Mereka berdua merasa tak kehilangan, atas kematian Malaikat Biru yang loyalitas terhadap 7 Malaikat Kematian selama ini, sama sekali. Walaupun sesungguhnya Malaikat Biru itu ada dua. Marco dan Mario. Yang tak diketahui oleh siapa pun. Hingga Mario pun menceritakannya kepada Andi, alias Malaikat Putih. Yang lalu menceritakannya kepada Malaikat Cokelat, yang mungkin kini sudah mati terkena reruntuhan di dalam Bukit Hitam, yang ia hancurkan ruang utamanya. Dengan bom waktu yang sudah ia aktifkan. Mereka berdua hanya saling pandang satu dengan yang lainnya. Tanpa rasa sedih dan pedih sedikit pun, karena telah kehilangan rekan mereka. Yang telah bersama mereka selama ini. "Sungguh kematian yang sangat indah sekali, bagi anggota 7 Malaikat Kematian ...," ujar Malaikat Hitam, sambil menaruh teropongnya di saku jubah hitamnya. "Kematian yang diawali oleh ledakan dan diiringi oleh hujan, yang akan mengantarkannya, menemui keabadian ...," lanjut Malaikat Merah. Sembari menaruh teropongnya di saku jubah merahnya. "Walaupun ia itu anggota yang paling payah, tapi ia adalah anggota yang paling setia, dari 7 Malaikat Kematian," sambung Malaikat Hitam. Seraya membayangkan sosok dari Malaikat Biru, alias Marco. "Ya, kau benar Pimpinan. Selamat jalan Malaikat Biru ...," lanjut Malaikat Merah, dengan nada datar. "Ya, setelah Malaikat Biru mati. Aku ingin Malaikat Biru cadangan pun mati," sambung Malaikat Hitam. "Ya, Mario pun pantas mati," lanjut Malaikat Merah, dengan penuh kegeramannya. Mendukung perkataan pimpinannya. "Sekarang kita nikmati hujan di musim kemarau kembali ...," ajak Malaikat Hitam kepada Malaikat Merah. Malaikat Hitam lalu merebahkan tubuhnya, di atas rerumputan kering, yang menjadi basah oleh hujan di musim kemarau itu. Pandangannya seakan ingin menantang hujan yang turun dari langit. Agar segera berduel dengan dirinya, sampai mati. Melihat Malaikat Hitam, berbaring seperti itu. Malaikat Merah lalu membaringkan tubuhnya pula. Dengan posisi kepalanya, di depan kepala Malaikat Hitam, dengan ujung kepala mereka saling menyentuh satu dengan yang lainnya. *** Sementara itu Aryo, Tino dan Andi yang berenang di dalam Laguna Kematian, menuju pantai Di Pulau Hitam. Akhirnya tiba di tujuannya itu, walaupun dengan susah payah. Dan rasa mual yang mengobok-obok perut mereka bertiga bukan main. Mereka bertiga lalu keluar dari dalam laguna itu, dengan pakaian yang basah kuyup. Dan ternyata kehadiran mereka itu, telah ditunggu oleh Noval, Andro dan Tomy, yang tampak telah pulih dari lukanya itu. Mereka bertiga segera menghampiri Aryo, Tino dan Andi, yang tampak basah kuyup. Akibat berenang dan berendam di dalam Laguna Kematian terlalu lama. "Syukurlah ..., kalian semua selamat," ujar Noval dengan penuh kebahagiannya, lalu tersenyum kepada mereka bertiga. "Ya, walaupun dengan keadaan seperti ini," timpal Aryo, sambil tersenyum pula. "Orang itu, benar-benar gila. Meledakan dirinya sendiri," ucap Tomy, dengan penuh keheranannya. "Sudahlah, jangan dibahas tentang hal itu lagi. Lebih baik, kita ke pulauku," ucap Andi. Lalu melangkahkan kakinya kembali. Menuju ke arah utara dari tempat itu. Yang diikuti oleh yang lainnya. "APA! KAU MEMILIKI PULAU!?" seru Andro, dengan ketidakpercayaannya atas perkataan Andi. "Sudahlah, jangan banyak bertanya. Lebih baik ikuti saja aku. Saat tiba nanti, akan aku jelaskan tentang diriku seutuhnya," ucap Andi, sambil terus melangkahkan kakinya. Tanpa mempedulikan hal apa pun lagi. Mereka pun terus berjalan tanpa kenal lelah, menyelusuri jalan setapak di Pulau Hitam itu. Hingga mereka berenam tiba di jembatan gantung kayu. Yang menghubungkan Pulau Hitam, dengan Pulau Putih, yang merupakan pulau terluar di sebelah utara dari Pulau Hitam. Mereka lalu menyeberangi jembatan gantung kayu sepanjang 200 meteran, dengan ketinggian 30 meter dari permukaan laut. Yang berguncang hebat menerima beban enam orang sekaligus. Walaupun mereka berjalan pelan-pelan saja. Akan tetapi sudah membuat Andro takut setengah mati. Namun dirinya, tak ingin mengeluarkannya saat ini. "Bagaimana kalau jembatan kayu gantung ini rubuh tiba-tiba?" kata Andro dengan penuh kekhawatirannya. "Kenapa aku berharap, semua yang sudah terjadi hanyalah mimpi buruk ku," ucap Noval di dalam hatinya. Terus melangkahkan kakinya bersama yang lain. Sambil melihat ke arah Andro yang terlihat begitu kaku berjalan di depannya. "Sepertinya Andro ketakutan. Tapi gengsi untuk mengeluarkannya," ujar Noval di dalam hatinya. Sembari mengingat saat Andro ketakutan menyeberangi jembatan penyeberangan kemarin hari. "Ndro, udah engga takut?" ledek Noval kepada Andro. Yang terlihat memasang wajah sewajar mungkin. "Engga dong," jawab Andro, berusaha santai. Padahal jantungnya berdegup dengan kencangnya. "Kalau begitu lari ah ....!" Noval pun berlari hingga membuat jembatan gantung kayu itu bergerak dengan liarnya. "Dasar Noval!" teriak Andro, lalu memeluk Tino yang ada di depannya. Yang langsung saja berkomentar. "Katanya udah engga takut?" ledek Tino kepada Andro. "Tadi, sekarang takut," sahut Andro, sambil memejamkan matanya. Memasrahkan langkah kakinya kepada Tino. "Dasar bocah," Tino pun tertawa dengan lepasnya. Yang membuat semuanya ikut tertawa dengan riangnya. Melihat tingkah Andro. Akhirnya mereka berlima pun tiba di ujung jembatan kayu. Yang sudah di tunggu oleh Noval, yang masih tertawa terbahak-bahak menertawakan Andro. "Bagaimana rasanya, Ndro?" tanya Noval seusai menghentikan tawanya. Saat Andro berada di dekatnya. "Berisik!" ketus Andro terhadap sahabatnya, lalu cemberut. "Iya deh, aku diam," seloroh Noval. Yang tak ditanggapi oleh Andro sama sekali.Yang membuat mereka saling terdiam satu dengan lainnya. Hingga keheningan pun tercipta di antara mereka. Setelah menyeberangi jembatan gantung kayu itu. Mereka berenam lalu berhenti di kaki bukit yang dipenuhi oleh ilalang tinggi yang tumbuh liar di segala arah. "Kenapa kita berhenti di sini, Ndi?" tanya Aryo, dengan selidik. "Ikuti saja aku," sahut Andi dengan datarnya. Andi lalu masuk ke dalam ilalang tinggi itu, yang diikuti oleh yang lainnya. Terus berjalan di dalam ilalang itu secara beriringan. Sesudah berjalan cukup lama. Andi pun menemukan pintu masuk ke dalam bukit itu. Yang terbuat dari kaca gelap tebal. Semuanya merasa takjub. Ada hal seperti itu, di gugusan pulau kecil itu. "Kita sudah sampai di salah satu pintu masuk bukit ini," tutur Andi yang berada paling depan. Andi lalu memasukan kode-kode yang hanya di ketahui oleh dirinya sendiri, dengan seksama. Hingga pintu itu pun terbuka secara otomatis. "Entah kenapa, firasat ku ini mengatakan. Jika aku harus mengingat kode-kode itu?" tutur Noval di dalam hatinya. Sembari mengingat kode-kode yang di masukan oleh Andi, dengan penuh seksama nya. Sesuai dengan firasat hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN