Bab 8. (Tiba di Gugusan Pulau Kematian)

1120 Kata
Matahari sudah semakin meredup sore itu di langit. Hingga membuat terciptanya panorama yang indah. Di mana sang Surya menyatu dengan laut biru, di luar gugusan pulau terluar dari Gugusan Pulau Kematian. Sehingga membuat bias-bias indah di dalam kawasan gugusan pulau dalam laguna itu. Yang tak pernah mereka lihat sebelumnya, di mana pun. Setelah terus berjalan sejak tadi. Akhirnya para pemenang kuis itu pun menemukan sebuah pondok yang cukup luas dengan ukuran 10×20 meter. Yang terbuat dari kayu, papan dan bambu pada dinding dan atapnya. Yang berada pada ketinggian 29 meter dari permukaan laut. Dengan posisi menghadap ke arah laguna di dalam gugusan kepulauan kecil itu.       Di dalam pondok kayu itu ternyata telah tersedia kebutuhan pokok untuk 1 bulan ke depan yang tersimpan di dalam kulkas, dengan sumber listrik dari panel energi surya dan generator sebagai cadangan, jika energi listrik surya sedang bermasalah, akibat dari cuaca yang tak menentu.  Pondok kayu itu terlihat seperti rumah biasa saja. Hingga seperti tidak berada di dalam pulau terpencil yang terisolasi dari dunia luar. Di dalam pondok itu hanya ada 4 kamar besar, beserta kamar mandi di tiap kamarnya. Dan sebuah ruangan seperti gudang, yang terkunci dari luar. Serta dapur berada di belakang pondok itu. Sedangkan ruang tamu besar terletak di bagian depan pondok kayu itu.        Setelah merasa lelah, para pemenang kuis itu lalu berkumpul di ruang tamu besar itu.  Mereka tampak duduk di sofa yang ada di dalam ruang tamu besar. Yang terlihat begitu luas. Sedangkan seusai menaruh tas ranselnya di dalam pondok kayu itu. Andro dan Noval lalu keluar, dan duduk di depan pondok kayu, tak berbaur dengan pemenang kuis yang umurnya rata rata di atas mereka berdua. Noval dan Andro terlihat sedang berbincang dengan penuh keseriusannya.       "Val! mereka semua pada sombong amat sih? Aku sudah bersikap ramah dan bersahabat kepada mereka. Tapi sikap mereka seakan tak bersahabat kepadaku sama sekali. Hanya ada seorang yang seusia dengan kita, yang enak diajak untuk bicara," ucap Andro dengan panjang lebarnya. Mengutarakan keluh kesahnya tentang sikap pemenang kuis lainnya. Yang mungkin memang usia mereka sepandan dengan usia paman mereka berdua.  Hanya ada seorang yang seusia dengan mereka. Dan seorang lagi yang berusia sedikit lebih tua di atas usia mereka berdua.       "Lagian kamu itu buat apa bicara sama mereka. Sudah tahu mereka sudah pada dewasa, mana mungkin mereka mau meladeni kita. Yang mungkin bagi mereka, kita berdua dianggapnya hanya anak kecil saja. Yang tidak tahu apa-apa. Dan tidak pantas tahu apa-apa oleh mereka itu. Untung Ayu tidak jadi ikut. Coba kalau ia ikut, pasti Ayu akan jadi perempuan satu-satunya di gugusan kepulauan kecil ini," sahut Noval atas ucapan Andro itu. Sambil melirik ke arah sahabatnya, yang ada di samping kanannya. "Kamu benar, untung Ayu tidak ikut. Coba kalau dia ikut. Pasti dirinya digodai oleh mereka," ucap Andro dengan nada sinis, yang membuat Noval tertawa kecil. Takut kedengaran tawanya. Oleh pemenang kuis yang sedang berada di dalam pondok kayu itu. "Andro, Andro jutek amat, sih" ucap Noval seusai menghentikan tawanya. "Biarin!" Andro pun memonyongkan bibirnya kepada Noval. Yang tak menghiraukannya sama sekali. Yang tetap melanjutkan tawa kecilnya.       Setelah merasa bosan duduk dari tadi. Mereka berdua pun lalu berdiri dari duduknya, dan berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dikarenakan rasa bosan yang tengah mendera mereka berdua. Seolah tak tertahankan lagi. Mungkin mereka berdua belum dapat beradaptasi dengan para pemenang kuis lainnya. Yang masih menjaga jarak antara satu dengan yang lainnya. Hingga di antara mereka belum tercipta ikatan persahabatan. Keegoisan mereka masih terlihat begitu jelas, walaupun mereka tengah bersama seperti itu.       "Ndro, lebih baik kita menghabisi senja untuk berkeliling Pulau Hitam ini, daripada kita bosan terus berada di sini," ajak Noval, sambil melangkahkan kakinya meninggalkan pondok kayu itu. Yang diikuti oleh Andro dari belakang. Tanpa pamit terlebih dahulu kepada pemenang kuis lainnya. Yang belum mereka kenal sama sekali. "Ini lebih baik, daripada hanya berdiam diri saja," sahut Andro dengan penuh semangat. "Begitu dong, jangan jutek aja," balas Noval, lalu tersenyum. "Engga usah banyak komen," kata Andro, lalu ikut tersenyum. Sambil melangkahkan kakinya di samping kanan sahabatnya itu.       Mereka berdua terus melangkahkan kakinya menyusuri Pulau Hitam, yang memiliki panjang 1 km. Seakan tak mengalami kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang sedari pagi dari Jakarta. Terus berjalan dan terus berjalan dengan santainya. Hingga akhirnya mereka berdua tiba di salah satu ujung dari Pulau Hitam. Sehingga kaki mereka berdua bersentuhan dengan riak ombak kecil di dalam laguna, yang bernama Laguna Kematian. Terlihat di atas mereka berdua, jembatan gantung kayu yang menggantung sepanjang 100 meter, yang menghubungkan antara Pulau Hitam. Dengan Pulau Merah, yang ada di sebelah kanannya.  Tampak juga air laut yang menghubungkan kedua pulau itu dengan air, terlihat dangkal. Dengan kedalaman hanya sebetis orang dewasa. Hingga dasar lautnya terlihat jelas, dengan ikan-ikan kecil berwarna-warni yang berenang di dalamnya, dengan begitu lincahnya.       Andro dan Noval lalu duduk pada batang pohon besar yang tergeletak dan telah mati di pantai itu. sambil memandang ke arah Laguna Kematian di depan mereka, dengan tatapan tajam. Bagai elang yang seakan sedang mengincar mangsanya.  Noval dan Andro lalu melanjutkan perbincangan di antara mereka berdua, yang sempat mereka hentikan, di dalam perjalanan mereka.       "Sepertinya, kalau laut sedang surut. Kedua pulau ini akan bersatu," ujar Noval. Dengan tatapan yang penuh makna memandang ke Selat sempit nan dangkal yang memisahkan 2 pulau itu.       "Ya kamu benar Val, lalu apa gunanya jembatan gantung kayu itu. Kalau laut yang memisahkannya tidak begitu dalam?" ujar Andro, sambil melihat ke arah jembatan gantung kayu, yang berada pada ketinggian 30 meter dari permukaan laut.       "Mungkin, jembatan gantung kayu itu. Sengaja dibangun untuk melihat pemandangan lebih luas ke arah laguna dan gugusan kepulauan kecil ini," timpal Noval, seraya melihat ke arah langit. Di mana Bulan purnama mulai terlihat, dengan rupa pucat belum memancarkan cahayanya. Dikarenakan masih adanya sinar Matahari di langit barat. Walaupun sudah semakin meredup sinaran yang dipancarkan olehnya. Akibat dari akan tenggelamnya Matahari ke dalam peraduannya. Secara perlahan-lahan tetapi pasti. Untuk beristirahat dsn berganti tugas kepada rembulan.       "Sebenarnya aku ingin melihat pemandangan dari atas jembatan gantung kayu itu. Tapi sepertinya, lebih baik besok pagi saja ...," ujar Andro, dengan tatapan mengarah ke arah jembatan gantung itu.       "Aku juga berpikiran seperti itu. Lebih baik kita kembali ke pondok tadi, perutku sudah lapar. Mungkin di sana sudah ada yang memasak," ucap Noval dengan harapannya, sambil berdiri dari duduknya. Yang diikuti oleh Andro.       "Ya, sepertinya kita harus kembali ke pondok itu. Karena malam sudah mulai menjelang," sahut Andro, dengan menatap lembayung langit.       Mereka berdua lalu melangkahkan kakinya meninggalkan pantai itu, untuk menuju ke pondok kayu itu kembali.  Di dalam perjalanan mereka berdua, mereka hanya diam tak saling berbincang satu sama lainnya sama sekali. Hingga Bulan purnama pun semakin terang menyinari langit malam itu. Karena Matahari telah benar-benar tenggelam di langit barat. Untuk kembali di langit timur pada esok harinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN