Bab 47. (Percayalah Kepadaku)

1063 Kata
Keheningan tetap terjadi hingga beberapa saat. Yang dihancurkan oleh perkataan Malaikat Hitam. Yang seakan sudah mencapai batas kesabarannya terhadap Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih. Yang sudah ia tahan sejak lama. Hingga ia pun tak ingin menahannya lagi. Hingga terpecah lah saat ini juga. Bagai air bah yang datang dari hulu. "Berbicara apa kalian? Hingga lupa waktu seperti ini?" tanya Malaikat Hitam kembali. Dengan begitu ketusnya terhadap Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih. Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih, saling pandang satu sama lainnya. Seakan ingin memberi kode. Siapa yang akan menjawab pertanyaan itu. Hingga Malaikat Cokelat pun berbicara, untuk menjawab pertanyaan dari Pimpinan Tujuh Malaikat Kematian itu. "Kami tadi membicarakan tentang kematian Hijau dan Kuning," ucap Malaikat Cokelat dengan entengnya, sambil menatap tajam ke arah Malaikat Hitam dengan begitu tajamnya. Setajam mata elang, yang sedang memburu mangsanya. Yang tak mungkin ia lepaskan. Akan tetapi pandangan elang Malaikat Cokelat itu, tak membuat Malaikat Hitam takut sama sekali. "Mereka mati, itu karena kebodohan mereka ...," sahut Malaikat Hitam dengan dinginnya. "Kebodohan, atau keegoisan mu? Hingga mereka mati," sambung Malaikat Putih. Menunjukan sikap ketidaksukaannya terhadap pimpinannya. Yang dilakukan secara terang-terangan kali ini. Yang tak seperti biasanya. "Sudahlah jangan dibahas tentang mereka lagi. Karena mereka sudah menjadi masa lalu dan sejarah dari 7 Malaikat Kematian ...," balas Malaikat Hitam, lalu membalikan tubuhnya dan menghadap ke arah patung malaikat kematian raksasa. Seolah apa yang mereka bahas tak penting sama sekali. "Mereka adalah sejarah yang sangat menyedihkan sekali ...," sambung Malaikat Merah, menyela di antara perbincangan mereka. Dengan tatapan sinis kepada Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih. "Kau pun suatu saat nanti, akan menjadi sejarah yang seperti itu!" timpal Malaikat Putih dengan nada yang sinis terhadap Malaikat Merah. Dengan tatapan ingin membunuh Malaikat Putih saat itu juga. Ketegangan pun mulai terjadi di tempat itu. Akan tetapi Pimpinan dari 7 Malaikat Kematian segera berbicara untuk menghentikan ketegangan di antara mereka. "Sudahlah! kalian jangan bertengkar dan saling berdebat. Lebih baik kita merencanakan, apa yang harus kita lakukan besok hari," lerai Malaikat Hitam. Yang membuat Malaikat Merah dan Malaikat Putih terdiam kembali. Tak berani melanjutkan perdebatan mereka kembali. "Sepertinya, lebih baik begitu. Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pimpinan?" tanya Malaikat Biru, sambil melangkahkan kakinya mendekati Malaikat Hitam. Lalu menghentikan langkahnya, saat ia tiba di samping Malaikat Hitam. "Memakai cara yang sama untuk menghabisi mereka. Sepertinya, itu sudah tidak mungkin. Mereka ternyata lebih cerdas, dari perkiraan kita," timpal Malaikat Hitam. "Lalu apa yang kita harus lakukan?" tanya Malaikat Cokelat kali ini, dengan penuh selidik terhadap Malaikat Hitam. "Kita akan memburu mereka untuk kita habisi ....," tutur Malaikat Hitam dengan dinginnya. "Aku, jadi tidak sabar untuk menanti hari esok. Hari di mana, yang pastinya sangat menyenangkan sekali bagi kita semua," kata Malaikat Biru, lalu menyeringai dengan begitu mengerikannya. "Oleh karena itu, kita memerlukan istirahat yang cukup," lanjut Malaikat Hitam. "Ya, agar kita bisa mengeksekusi mereka semua dengan mudah," sambung Malaikat Merah, dengan nada s***s. "Lebih baik kita sekarang istirahat. Aku pergi dulu," pamit Malaikat Hitam, lalu melangkahkan kakinya, untuk meninggalkan para bawahannya di tempat itu. Dengan begitu santainya. "Ayo, Biru kita istirahat sekarang. Biarkan mereka berdua berkencan di tempat ini," ajak Malaikat Merah. Sambil melangkahkan kakinya, meninggalkan ruangan itu bersama Malaikat Biru. Yang masih sempat berkata. "Selamat bermesraan, kalian berdua ...," kata Malaikat Biru, seakan sedang mengejek mereka berdua, lalu meninggalkan tempat itu. Dengan tertawa lepas. Setelah mereka semua meninggalkan Malaikat Putih dan Malaikat Cokelat di tempat itu. Mereka berdua, lalu saling menatap satu dengan yang lainnya. Seakan mereka sedang berbicara dengan mata mereka. "Biarkan mereka menganggap kita ini pasangan sejenis, itu akan membuat kita aman. Untuk selalu berdua seperti ini," ucap Malaikat Cokelat, berusaha memberi pengertian terhadap Malaikat Cokelat. Tak perlu mengambil hati perkataan dari Malaikat Biru. "Walaupun ini aneh, tapi demi berjalannya rencana kita. Aku rasa itu, adalah hal yang harus dijalani bersama," timpal Malaikat Putih, lalu tersenyum tipis. "Lebih baik sekarang kita pergi dari sini ...," ajak Malaikat Cokelat, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Yang diikuti oleh Malaikat Putih dari belakang. Mereka berdua lalu menyelusuri kembali lorong-lorong setinggi 3 meteran itu. Hingga mereka pun kembali berada di pintu masuk berkaca gelap. Malaikat Cokelat lalu memasuki kode-kode rahasia itu, hingga pintu itu pun terbuka secara otomatis. Setelah Pintu kaca gelap itu terbuka. Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih lalu segera keluar dari dalam bukit itu. Seusai itu pintu itu pun tertutup secara otomatis kembali, tersembunyi dan disembunyikan oleh ilalang setinggi 2 meteran. Yang kini sedang diterobos oleh Malaikat Cokelat dan Malaikat Putih. Sesudah berjalan di dalam ilalang cukup lama. Mereka berdua lalu tiba di jalan setapak. Yang kini tengah mereka tapaki, secara beriringan. Langkah demi langkah telah mereka lewati menyusuri jalan setapak yang melingkari Pulau Hitam. Hingga mereka pun tiba di tepi pantai, di depan Laguna Kematian. Yang mengelilingi Pulau Hitam dan 2 pulau pengiringnya itu. Mereka berdua lalu keluar dari jalan setapak itu. Lalu duduk di pasir putih di tepi pantai di depan Laguna Kematian, dengan santainya. Riak-riak ombak kecil pun tampak menjilati tepi pantai Pulau Hitam, dengan begitu konstannya. "Sepertinya, kita harus lebih dulu bergerak daripada mereka ...," ucap Malaikat Cokelat kepada Malaikat Putih. "Ya, kalau tidak. Mereka akan semakin menjadi-jadi," timpal Malaikat Putih, dengan nada begitu geram. "Kalau, begitu. Aku akan membuka proteksi sinyal itu. Dan sebaiknya kau kembali ke dalam pondok. Agar semuanya, menjadi wajar," ucap Malaikat Cokelat, sambil berdiri dan membelakangi Malaikat Putih. "Tapi, apakah kau sudah memikirkan risikonya, kalau kita mengkhianati mereka?" tanya Malaikat Putih, sambil berdiri dan tetap membelakangi Malaikat Cokelat, dengan elegannya. "Paling, risiko dari pengkhianatan ini, adalah kematian. Aku sudah siap dengan hal itu. Lalu kenapa, kau sekarang malah meragu, bukannya di awal kau itu sangat menggebu, untuk melakukan hal itu?" kata Malaikat Cokelat, dengan penuh selidik terhadap Malaikat Putih. "Aku bukannya meragu, aku hanya ingin menyakinkan diriku. Jika kau tidak akan mengkhianati diriku," timpal Malaikat Putih. Mengutarakan isi hatinya kepada rekannya. "Ternyata, kau belum yakin 100% dengan diriku ya?" tanya Malaikat Cokelat. Sambil melangkahkan kakinya. "Percayalah kepadaku, aku tidak mungkin mengkhianati dirimu, Putih .... Aku pergi dulu," setelah mengucapkan kata itu. Malaikat Cokelat lalu pergi meninggalkan Malaikat Putih, yang segera melangkahkan kakinya pula, meninggalkan tempat itu. "Sepertinya, aku harus benar-benar mempercayainya ...," tekad Malaikat Putih di dalam hatinya. Malaikat Putih lalu, mempercepat langkahnya itu. Untuk menuju ke arah pondok kayu yang ia diami selama ini. Sebagai seorang penyusup dari 7 Malaikat Kematian. Yang tak diketahui oleh para pemenang kuis itu, hingga saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN