Bab 4 Ex

1435 Kata
                Aku celingak-celinguk mencari ke lajur demi lajur rak barang. Tak kunjung kutemukan juga. Keselip dimana tuh dua orang? 1 orang dewasa dan 1 balita maksudku. Mana troli mulai berat lagi. Sama dengan napasku yang mulai berat karena kecuekan Kak Erlan. Aku agak terburu karena takut mereka kenapa-napa. Gimana kalau anakku suapin Dea pakai cabe kayak ke Khanza? Bisa nangis juga tuh si Dea. Langkahku terhenti ketika menabrak seseorang yang cukup tinggi. “Aduh, maaf ya Pak. Maaf,” ujarku sambil menunduk dan membantunya mengambilkan belanjaannya yang jatuh. “Iya gak apa-apa kok…Bu. Abel!” kata seseorang itu yang membuatku kaget. Siapa dia gerangan? Aku mendongak dan langsung merasa sesak. “Kak Imran?” balasku seolah tak percaya. “Ya Nabilla, aku Imran. Mantanmu. Apa kabarmu? Ya ampun, long time no see. Gimana kamu sama cowok aneh itu? Eh, maaf maksudnya Lettu Airlangga,” cerocosnya seperti kereta api. Aku baru sadar kalau aku sedang bertemu mantan usangku. Dan saat ini dia menjadi seorang tentara yang cukup gagah. Ya setidaknya tak cungkring seperti dulu. “Baik kok, Kak. Em, sekarang dia udah jadi Kapten Airlangga,” ralatku yang membuatnya sungkan. “Oh iya, maksudku itu. Apa aku harus memanggilmu Mbak Erlan? Secara, aku adik letting suamimu,” ucapnya dengan nada lekat dan tak jelas. Hallo Bapak Imran, tak ada gunanya kamu goda aku lagi. “Mama, Aiyra bawa roti meloonn,” ujar Dea terputus ketika melihatku berbincang dengan sang mantan. “Loh, Kak Imran kan? Mantannya Abel,” ujar Dea bodoh. Aduh, please Dea, kata ‘mantannya Abel’ tolong dihapus. Aku gak mau Babang Erlan murka. “Ya Dea apa kabar? Kamu sudah punya anak rupanya,” tebak Kak Imran sambil menyentuh pipi Baby A. Dih, gak sadar apa Baby A itu anakku. Jelas-jelas wajahnya mirip, em, mirip Kak Erlan sih. “Eh, ini bukan anakku. Ponakanku, Kak. Anaknya Abel,” ujar Dea cepat-cepat. “Oh iya?” tanya Kak Imran seperti kaget ketika mendengar omongan Dea. Pasti dia tak menyangka kalau aku punya anak dari lelaki yang sempat dikiranya tak mungkin mencintaiku. “Kok bisa?” tanyanya aneh. Wajahku makin aneh. “Ya bisalah, Kak. Udah-udah malah aneh. Ayo Nak, salim dulu sama Om Imran!” ujarku sambil mengarahkan tangan Aiyra pada Kak Imran. Dan seperti biasanya, Aiyra langsung nemplok pada om berseragam hijau yang jadi favoritnya. “Ya ampun, Bel. Seriusan ini anakmu! Aku gak nyangka kamu udah jadi ibu muda. Hot Mommy juga,” pujinya yang membuatku jijik. Duh, ni orang gak sadar ya kalau aku udah punya suami. “Heee, ya gitu deh,” ujarku tak enak. Aku mencubit Dea gemas. Sementara itu, Aiyra malah lekat di pelukan Kak Imran. Tampaknya balita itu nyaman-nyaman saja kendati mamanya sudah lemas ingin menghilang. “Ya udah, yuk kita lanjut dulu ya, Kak Imran. Aku masih ada urusan,” ujarku sambil merebut Aiyra lagi. Untung saja anakku pasrah dan tidak tantrum seperti saat aku melarang atau merebut mainannya. “Loh, kok buru-buru. Kita makan dululah. Kalian gak mau ya ditraktir pak tentara? Ayolah, sebentar saja anggap saja sebagai hadiah pertemuan kita,” ujar Kak Imran membujuk kami. Aku menggeleng tegas. Aku gak mau bikin masalah. Tahu kan kalau suamiku itu cemburuan.                 Tapi, semua penolakanku itu hancur saat Aiyra mendadak memuntahkan isi perutnya. Ya Allah kenapa dengan anakku ini? Ampun, aku baru sadar, dia pasti kekenyangan s**u dan biskuit. Apalagi tadi dia berlari-lari syuting film India dengan Dea. Kutinggalkan belanjaanku dan kusuruh Dea membayar dengan debit card-ku. Aku berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan muntahan Aiyra. Dia menangis mungkin karena merasa sakit. Ya Allah, maafkan mama ya Sayang. Mama kok masih ceroboh gini sih?                 Akhirnya, tangis Aiyra reda setelah kutepuk-tepuk punggungnya lembut. Dia sudah kembali ceria dan tersenyum cerah. Anak tentara kan memang kuat ya, Nak. Aku memandangnya bangga. Kuciumi pipinya yang gimbul walau masih ada bau muntah. Gak apa-apa Sayang, itu bau yang enak kok buat seorang mama. Lalu, pandanganku teralih pada Kak Imran yang setia menunggu di depan pintu kamar mandi. Dia terlihat cemas seperti dia adalah ayahnya Aiyra. Hello, bukan-bukan, Om Imran cuma Om, Om! Tegasku yang ingin kusampaikan pada orang yang memandangi kami. “Makasi ya Om,” ujarku pelan. “Kok kamu manggil aku, Om?” tanyanya heran. “Aku bahasain Aiyra. Dia udah bisa ngomong dikit-dikit. Ya udah, aku pergi dulu ya, Kak. Aku masih ada urusan,” ujarku sambil meninggalkannya yang berseragam doreng. “Tunggu, Bel. Biar aku anterin kamu ya? Aku khawatir kamu nyetir sendiri. Apalagi anakmu sakit,” ujarnya perhatian. “Gak usah, Kak. Aku bisa kok,” tolakku sambil berlalu. “Kasihan anakmu, Bel. Kamu mau ke mana sih?” tanyanya makin mendesakku. “Gak perlu Kak. Aiyra cuma kekenyangan kok. Nih anaknya udah gak apa-apa.” aku berjalan cepat untuk menghindarinya. Bagaimana pula aku tak mau m*****i kesetiaanku pada Kak Erlan.                 Syukurlah dia sepertinya sudah menyerah karena tak enak mendapatkan pandangan aneh dari orang-orang. Ya iyalah, secara ngapain tentara ngejar ibu-ibu bawa anak balita? Gak mungkin kan dia itu bapaknya? Untung saja aku segera bertemu Dea. Lalu kami langsung ngacir ke parkiran. Untung saja, Aiyra juga tak rewel. Dia malah mulai mengantuk di saat mamanya tergopoh-gopoh. Oh, my angel. Kamu memang selalu santai, Nak. “Kamu jangan sampai keceplosan ke kak Erlan tentang pertemuan ini,” ancamku sambil menyalakan mesin mobil pada Dea yang sedang memangku Aiyra. Dea mengangguk sambil menata napasnya satu demi satu. --- “Kok Dea ikut. Emangnya gak kuliah?” tanya Kak Erlan sambil mengalihkan Aiyra ke gendongannya. Dea gelagepan. Aku apalagi. “Oh, dosenku sakit Kak. Makanya kuliahnya libur,” ujar Dea beralasan. Kak Erlan tak bertanya lagi selain hanya masuk ke rumah mama.                 Di dalam rumah sudah ramai dengan Kak Nindy dan suaminya serta Khanza. Mama dan papa langsung menarik Aiyra yang masih bobok manis. Pipi gimbulnya yang bau muntahan itu moga gak tercium mama. Aamiin. Tapi, terlambat. Wajah mama sudah aneh sambil menatapku. Seolah menyidangku, apa yang kamu lakukan pada cucuku, Abel!! “Tadi Aiyra kekenyangan terus muntah gitu deh,” ujarku pelan. “Ya ampun! Kok bisa sih, Dek? Kamu sih kasih s**u terus. Pasti kamu biarin dia lari-lari juga,” kata Kak Erlan tegas. Ya ya ya, dia emang selalu jadi super sensitif kalau menyangkut kesehatan Aiyra. “Beneran cuma kekenyangan? Jangan-jangan dia habis makan barang kotor lagi, Dek,” timpal Kak Nindy. Runyam! “Iya-iya, beneran cuma kekenyangan kok,” ujarku ngeyel. Sesaat kemudian, Aiyra menolongku dengan tawa cerahnya. Dia bangun dari tidurnya.                 Perhatian mama dan papaku langsung teralih pada cucu kedua mereka itu. Aiyra langsung diciumi dan dibelainya. Dea digiring Kak Nindy untuk makan sore. Lalu, aku, digiring kak Erlan menuju bekas kamarku. Mau apa ya? Apa aku mau disidang? Tak kuduga, Kak Erlan malah mendudukkanku di kasur lamaku. Dia menatapku lekat seolah meminta penjelasan. Dia tahu aku tak bisa bohong. Dia pasti sudah menangkap gelagat anehku. Haruskah aku menceritakannya? Tentang mantan? “Sayang, aku bilang tadi juga apa. Kuharap kamu bisa lebih bijak dalam mengasuh anak kita. Aku tahu kamu itu kangen sama aku. Keintiman kita juga sudah beda dengan sebelum ada Aiyra dulu. Kuharap kamu jangan salah paham dengan sikapku. Perasaanku masih sama kok. Malah semakin dalam. Kamu berusaha keras jadi ibu yang baik untuk anak kita di usia mudamu.” Ceramahnya yang lebih mirip mencerami anak nakal yang baru ketahuan mencontek. “Maaf Kak,” ucapku sambil menunduk. Dia mengangkat wajahku. Dia tersenyum lembut. “Kalau ada sikap dan omonganku tadi yang gak pas di hatimu, maaf ya, Sayang. Aku cuma gak mau anak kita kenapa-napa. Dia adalah titipan Allah yang harus kita jaga baik-baik, Sayang,” ujarnya sambil merendahkan nada suaranya. Aku mengangguk. Tak terasa air mata lelahku menetes. “Jangan menangis, Hot Mommy,” ujarnya nakal.                 Kak Erlan yang ganteng dengan kaos berkerah itu mulai melancarkan aksinya. Ciuman lekat dan lengket. Dia memberiku pijitan lembut di bagian tubuhku yang pegal. Setidaknya kami bisa melepas rindu saat Baby A dijaga kakek neneknya. Lalu kamipun terhanyut di dalam kehangatan maksimal. Tentunya tak bisa kuceritakan dengan kata-kata saja. Kucukup memejamkan mata dan menikmati setiap aksinya. Dan di saat aku merasa letih dengan perbuatannya, dia berbisik di telingaku dengan lembut. “Aku mencintaimu, Sayang. Kamu tetap jadi Bayi Kecilku yang Mengantuk,” ujarnya sambil menata napasnya yang terdengar lelah. “Kak Erlan, aku juga mencintaimu. Selamanya.” Balasanku lemah karena rasa letih mulai merayap di mataku. Semoga aku tak mengingat pertemuanku dengan Kak Imran. Aku hanya ingin mengingat tentang suamiku, Kak Erlan Handojo yang saat ini sedang terlelap bersamaku. Maafin mama ya Aiyra, kamu sama nenek dulu sebentar. Mama dan papa pacaran dulu. Batinku lantas memeluk Kak Erlan makin erat. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN