Bab 5 Tetangga, Masa Gitu?

2427 Kata
                Tetangga adalah keluarga terdekat saat kita jauh dari orang tua atau keluarga asli. Ya, itu sih pengertian tetangga menurutku. Aku tak mau membahas masalah rumput tetangga yang jauh lebih hijau kok. Aku hanya ingin bercerita tentang tetangga baru yang datang kemarin sore. Ya, akhirnya rumah dinas Dankipan B yang letaknya 3 meter di sebelah rumahku tak kosong lagi. Kemarin sore keluarga Kapten Yongki Ariwibowo pindah ke rumah samping yang terpisah pekarangan kecil dengan rumahku itu. Syukurlah kalau akhirnya aku punya tetangga terdekat. Kapten Yongki Ariwibowo adalah abang asuh 1 tingkat di atas Kak Erlan. Kabarnya, dia baru saja pindah dari Surabaya.                 Kapten Yongki atau Bang Yongki memiliki istri yang bernama Tania dan 3 orang anak lelaki yang masih kecil-kecil. Anak tertuanya berusia 8 tahun dan yang termuda adalah 4 tahun. Katanya, mereka ingin sekali anak perempuan. Tapi, apa daya Tuhan menganugerahkan keluarga itu dengan 3 orang anak lelaki. Darimana aku tahu semua tentang keluarga itu padahal baru beberapa jam aku berkenalan dengannya. Ya darimana lagi kalau bukan dari istrinya langsung, Mbak Taniaaa. Jeng-jeng-jeng, introduce Mrs Tania Yongki Ariwibowo. Errr. Zzz. Kenapa ekspresiku seaneh ini? Ya semua karena kesan pertemuan kami yang agak aneh kemarin sore. Flashback on “Aiyra, Sayang, kasih sini lipstik Mama. Itu bukan mainan, Sayang. Kalau mau melukis tembok, pakai crayon saja ya,” bujukku sabar sambil berusaha merebut lipstik kesayanganku edisi terbatas dari tangan mungil Baby A. “No no no. Mam, d**a litik,” balas Aiyra yang berarti ‘No, Mama. Dedek mau pakai lipstik’. Aku menghela napasku sabar. Aku tahu itu hanya akal-akalannya saja. Pasti dia hendak memakai lipstik itu untuk menambah lukisannya di tembok yang tertempel foto keluarga kami. Ya, memang tembok yang tertempel foto pernikahan, maternity shoot, dan foto kelahiran Baby A itu sudah mirip dengan lukisan mahakarya Baby A. Sudah berulangkali lipstik kesayanganku menjadi tinta lukisan itu. “Yes!” ujarku gembira ketika berhasil merebut kembali lipstik kesayanganku. Tapi, tak lama kemudian terdengar tangisan kekalahan anakku. Tak hanya itu, dia juga berguling-guling di karpet. Mengamuk, merajuk, dan menangis kencang minta dikasih lipstik itu lagi. Anakku, please jangan gitu dong. “Aiyra, ayolah Nak. Itu loh, masih ada sisa lipstik mama kemarin. Pakai itu sajalah, Nak. Ini bukan mainan, Sayang,” ujarku membujuknya. Aku juga menyodorinya dengan botol lipstik yang tak berbentuk lagi hasil kerja kerasnya minggu lalu. Namun, dia menolak mentah-mentah sambil terus merajuk berguling-guling di lantai.                 Tetiba, ada yang suara ketukan pintu ruang tamu dari arah depan. Hal itu membuatku menghentikan perang dinginku dengan Baby A. Lantas kuangkat Baby A yang masih menangis meronta dan berjalan ke ruang tamu. Kubuka pintu rumah dan kudapati ada seorang wanita yang kira-kira berusia 32 tahun. Wanita itu bertubuh gemuk, berkulit putih, dan berkerudung warna pink. Wajahnya terlihat ramah dan bersahabat. Siapa gerangan ya? Batinku. “Selamat siang,” sapanya ramah dengan suara mendayu. “Iya, selamat siang, Bu. Ada yang bisa dibantu?” tanyaku sopan sambil menenangkan Baby A yang masih merajuk. “Kenalkan Dek, saya tetangga baru, Nyonya Yongki Ariwibowo atau Adek bisa panggil saya Mbak Tania. Pantas lama buka pintu, ternyata bayinya sedang nangis kenceng ya? Duh, kenapa Adek Cantik? Pasti karena kelaparan ya?” cerocosnya sambil membelai Aiyra. Aku tersenyum sambil mencerna kata-katanya. Waktu aku dipanggil ‘Dek’, aku merasa aneh. Namun, aku paham ketika mendengar penjelasan selanjutnya. Oh, jadi Mbak ini tetangga baruku ya? Suaminya senior Kak Erlan 1 tingkat. Nama kecilnya Mbak Tania. Oke, tapi tunggu, baru ketemu sepersekian detik dia sudah menuduh anakku menangis karena kelaparan. Haloo emangnya aku kelihatan ibu yang gak kasih Baby A makan apa? Kok bisa-bisanya dia menyeletuk seperti itu padahal baru mengajak kenalan. “Izin Mbak, Aiyra sedang nangis karena dilarang mainan lipstik saya. Salam kenal juga ya, Mbak. Nama kecil saya Nabilla. Kalau di sini biasanya dipanggil Bu Erlan,” jelasku sabar sambil mempersilahkan Mbak Tania masuk ke dalam rumah. “Oh, gitu. Biasalah Dek, anak kecil. Anakku dulu juga suka mainan lipstik padahal dia cowok,” ujarnya yang membuatku melongo. Anak cowok mainan lipstik kok dibiarin aja? Cukup aneh ya? Batinku. “Biarin aja deh, Dek. Kasihan kan kalau dilarang,” ujarnya lagi sambil mencomot kue kacang yang baru kusajikan. Dia juga langsung meminum jus kemasan yang baru saja kuletakkan di meja. Cukup aneh lagi, emang sih makanan dan minuman itu buat dia. Tapi, aku belum mempersilahkannya. Sabar Bel. “Izin Mbak, kalau sesekali gak apa-apa. Tapi, hampir tiap minggu saya harus beli lipstik baru,” tukasku yang membuatnya diam. “Hem, kue ini enak sekali, Dek. Homemade ya? Nanti aku minta ya, dikit aja buat ngemil di rumah. Maklum Dek, baru pindahan belum sempat belanja.” “Wah, jadi ini ya Dek Erlan? Wah, ganteng bener ya, Dek. Mirip sama artis FTV itu loh.” “Dek, gimana sih caranya bikin anak cewek? Aku bikin anak 3 kok cowok semua. Duh, padahal suamiku pengen banget anak cewek. Sekali-kali pinjam Aiyra buat pancingan boleh ya?” “Ya ampun, rumahmu kok kayak gini sih, Dek? Semacam baru ada banjir bandang gitu,” komentar Mbak Tania serasa menghadapi hakim persidangan atau juri bedah rumah.                 Celoteh-celotehan dari Mbak Tania membuatku mati kutu tak tahu harus menjawab apa. Tak tahu harus komentar apa. Di 10 menit awal perkenalan kami, dia sudah berceloteh sebanyak itu, seluas itu, dan sedalam itu. Pertama, minta kue kacang buatanku. Iya, gak masalah sih. Tapi, cara mintanya ituloh, kayak pesan ke toko kue. Hiks. Kedua, kok bisa dengan gamblangnya memuji suami orang lain sambil menimang foto pernikahanku pula. Emangnya suaminya gak cemburu apa? Aku seneng sih Kak Erlan dipuji ganteng, tapi dia gak merasa bersalah gitu. Gak mikir perasaanku dan suaminya? Ketiga, emangnya Baby A yang sangat berharga itu adalah barang pinjeman atau umpan ikan? Kok mau dipinjam dan dijadikan pancingan. Keempat, ya iyalah gimana mau rapi? Lawong aku sedang punya balita super aktif. Kayak dia gak pernah punya anak kecil saja. Ya Allah, sabarkanlah aku karena mulai detik ini aku bakalan ketemu terus sama orang model gini. Habis Mbak Yusa terbitlah Mbak Tania. Huft. Flashback off. --- “Kak, kita punya tetangga baru loh,” bukaku di malam hari setelah 3 hari kedatangan tetangga super ajaibku itu. “Hem, Bang Yongki ya? Iya, dia pindahan dari 500/R Surabaya,” jawab Kak Erlan santai sambil menonton TV dan mengunyah kue kacang favoritnya. “Hem, orangnya gimana, Kak?” tanyaku mulai memancingnya. Dia melirikku. “Gimana apanya?” tanyanya heran. Aku tahu dia mulai aneh ketika aku membicarakan orang lain. Tahu kan kalau Kak Erlan itu anti gosip. “Ya gimana-gimana,” ujarku mengeles. Dia menatapku lekat. “Sayang, kalau bicara itu yang jelas. Apa latar belakang, tujuan, rumusan masalah, dan pembahasan. Jangan nggantung model jemuran dong,” ujarnya judes sambil menjabarkan isi bab dalam skripsi. “Ehem, gini lho Kak. Aku kok merasa aneh gitu loh sama tetangga baru kita. Istrinya Bang Yongki itu sikapnya agak-agak absurd gitu,” ujarku berusaha menjelaskan. “Absurdnya seperti?” tanya Kak Erlan sabar.                 Akhirnya kuceritakan semua kejadian kemarin siang saat awal perjumpaanku dan Mbak Tania. Tanpa ada yang kukurangi sekatapun. Dan Kak Erlan hanya mengangguk-angguk sambil terus mencomoti kue kacang. Dari wajahnya kulihat dia sedang menyiapkan kalimat panjang kali lebar untuk menceramahiku. Aku tahu dia tak begitu suka jika aku membicarakan orang lain. Apalagi itu hanya berlandaskan pada asas dugaan sementara. “Ya udahlah, Dek. Anggap aja Mbak Tania emang ceplos-ceplos orangnya. Ambil aja sisi baiknya, paling tidak dia gak sejudes Mbak Yusa dulu. Lagian, kemarin kamu juga dikasih oleh-oleh dari Surabaya, kan?” kata Kak Erlan berusaha mengembalikan logikaku. “Tapi dia udah komentari anak kita kelaparan lo, Papa,” ujarku gemas. “Sayang, mungkin dia cuma bercanda. Udahlah gak usah diambil pusing,” elak Kak Erlan. “Emangnya semua orang bakalan nerima anaknya dikatain gitu? Kak, bercanda juga ada batasnya. Apalagi ini baru kenal,” ujarku masih ngeyel. “Abel, please, gak usah cari masalah sama orang yang gak perlu. Apalagi sama tetangga baru. Kita kan sebagai warga lama, harusnya menyambut mereka dengan suka cita. Kalaupun ada watak yang gak kita suka, kita harus sabar. Gimana pula mereka masih berusaha menyesuaikan diri dengan kita. Kasih tahu pelan-pelan, apa yang gak kamu suka. Kalau kamu gak suka Aiyra dikatain gitu, ya kamu ralat saja. Aku gak pernah larang kamu nglawan kalau memang kamu benar, kan?” ceramah Kak Erlan dengan sabar. Aku terdiam dan mendengarkan wejangannya itu. “Iya Kak, maafin Abel ya?” ujarku pelan dan pasrah. Kak Erlan menatapku lekat. “Aku paham kok kalau kamu itu masih muda. Kamu juga terlalu cinta sama Baby A. Makanya kamu gak suka kalau anak kita dikatain aneh-aneh. Sabar ya Sayang,” tenangnya lembut. Inilah yang kusuka dari Kak Erlan. Sesudah mengomel dan menceramahai, dia selalu saja membuatku senang kembali. “Aku juga cemburu sih, Kak Erlan dipuji sama dia,” ujarku sambil manyun. “Iya kan aku emang ganteng, Sayang. Kamu gak sadar ya kalau udah nikah sama artis akademi?” tanyanya usil mulai sok bangga gak jelas. Aku mencubit pipi mulusnya. Iya-iya, punya suami ganteng emang anugerah sekaligus cobaan untukmu, Bel. --- “Nyuci bajunya gak pakai mesin cuci ya, Dek? Kok dikucek? Emangnya gak capek? Kok sama Dek Erlan gak dibelikan mesin cuci?” cerocos Mbak Tania di pagi hari saat aku sedang mencuci baju seragam Kak Erlan. “Hehe, enggak Mbak. Soalnya ini seragam doreng baru, makanya saya nyuci pakai tangan. Biar gak cepat lusuh. Ada tuh mesin cuci, Mbak? Mbak mau pake?” tawarku polos sambil menunjuk mesin cuci segede gaban yang sedang memutar baju Baby A. “Budaaa, mam mam,” celoteh Aiyra yang berarti ‘Bunda, maem’ seperti menyapa Mbak Tania. “Gak makasi, Sayang,” tolak Mbak Tania sambil membuang rumput dari tangan mungil anakku. Demi apa kamu Nak menawari tante ini rumput? Zzzz.                 Mbak Tania menatap anakku yang sedang asyik mencabuti rumput di teras belakang. Wajahnya terlihat aneh dan sedikit jijik. Lalu dia menghujamkan pandangan kepadaku seolah berkata ‘Dek, anakmu nih kok gak keurus? Masak mainan rumput kamu biarin!’. Gitu deh kira-kira omongan yang bakal dia ucapkan padaku. “Dek, kamu kok gak ajak anakmu maen yang agak canggihan dikit sih? Macam tablet atau komputer gitu. Kenapa kok kamu biarin dia main rumput?” sindirnya halus. Aku tersenyum sambil membilas baju Kak Erlan. “Izin Mbak, soalnya Baby A emang suka alam. Dia kurang suka di dalam rumah. Dia lebih suka main air di halaman, cabutin rumput, dan ngrusak polibek papanya,” jelasku sedikit bercanda untuk menutupi kekesalan hatiku. “Oooh, emang beda ya Dek. Anakku aja dari yang besar sampai yang kecil gak suka main kotor. Mereka sukanya tuh mainan di dalam rumah macem robot-robotan, tablet, laptop, dan mainan up to date lainnya. Makanya mereka pintar komputer sejak kecil,” ujarnya bangga. Dalam hatiku, masak iya? Buktinya kemarin waktu aku bertemu, Edo, anak tengahnya yang sedang pilek ingusan dan kotor dengan tanah depan asrama. Selain itu, Arfan, anak pertamanya malah sudah pakai kaca mata. Pasti kebanyakan main gadget. Lalu, Dimo, anak bungsunya malah belum lancar bicara padahal sudah 4 tahun. Jadi itu ya definisi anak canggih menurut Mbak Tania. Ya ya ya. Aku bukannya mengejek anak Mbak Tania, cuma aku gak suka aja dia mengejek pola asuhku. “Ya setiap ibu kan punya pola asuh masing-masing, Mbak,” ujarku berusaha sabar, sesabar-sabarnya. “Iya sih, Dek. Tapi anak juga perlu diajari main gadgetlah biar gak jadul. Atau ajak main yang keren dikitlah macem trampolin kek, mandi bola kek, senam zumba khusus balita kek, dan macem-macem,” cerocosnya yang makin nyablak macam kaleng rombeng.                 Hah? Anak seusia Aiyra diajak main trampolin? Bukannya malah keseleo ya? Duh! Mandi bola? Dia belum tahu aja kalau Aiyra punya kolam mandi bola sendiri di dalam rumah. Asal komentar aja. Senam Zumba? Masak iya anak gimbulku disuruh langsing? Haduh, ngawur benar sih emak-emak satu ini. Ckckck. Kebanyakan nonton acara gosip di TV nih. “Oh iya Dek, masak apa hari ini? Aku tadi cium bau sedap banget dari dapurmu. Kamu masak semur daging ya?” Hah? Jangan-jangan Mbak ini memasang kamera CCTV di dapurku. Kok bisa tahu kalau aku masak semur daging dan perkedel kentang untuk si papa. “Iya Mbak, benar. Mbak masak apa?” ujarku kaku sambil mengangkat kaleng cucian. “Cuma ceplok telur doang. Sama sisa sayur sop kemarin. Boleh dong icip-icip masakanmu. Dari baunya aja udah sedap. Pasti enak kan? Masakanmu kok mewah-mewah ya? Kemarin kan kamu masak sarden mackerel kan? Sekarang masak daging. Pasti karena suamimu anak Pangdam ya? Makanya biasa makan mewah,” cerocos Mbak Tania yang sudah seperti running teks berita TV.                 Nih Mbak satu beneran masang kamera CCTV di rumahku kali yak? Ehem, aku tanggapi satu persatu jawaban Mbak Tania. Pertama, tentang masakan emang bener. Kedua, boleh saja kalau sekedar icip semangkok. Jangan bilang minta setengah baskom! Mau makan apa Babang Erlan entar. Ketiga, Kak Erlan emang putra dari seorang pejabat militer. Tapi, tapi nih ya, dia bukan tipe pemakan makanan mewah kok, menurut Mbak Tania. Justru keluarga besar Kak Erlan sangat suka dengan makanan asli Indonesia yang standar sederhana tapi sedap macam sayur bayam, bakwan jagung, sambal, dan lain sebagainya. Itu bukan masakan dengan kategori mewah, bukan? “Izin Mbak, saya duluan ya? Mau mandikan Dedek. Soalnya dari pagi belum mandi,” ujarku menghindar. “Lho, dari pagi belum mandi? Kenapa kok belum dimandikan, Dek? Kok kamu bisa mandikan dia siangan gini?” cerocos Mbak Tania seolah tak merasa aku ingin segera menghilang. “Izin Mbak, Baby A sejak bangun pagi udah minta main. Makanya saya kerjakan yang lain. Biar dia main dulu,” ujarku menjawab sesabarnya. “Emang ya ibu muda beda dengan ibu yang dewasa. Seharusnya kan mandi dulu baru main. Itu kan harus jadi kebiasaan, Dek.” Komentar barusan membuatku ingin meninju orang. Sabar Bel, sabar Bel. “Izin, iya Mbak. Maaf ya Mbak kayaknya Baby A poop. Saya bersihkan dulu,” ujarku sambil mengangkat Aiyra yang jadi tumbal kebohonganku. Maaf ya Nak, kali ini aja Mama bohong di depanmu.                 Benar saja, wajah Mbak Tania menjadi aneh. Kakinya berjinjit dan mulai angkat kaki dari rerumputan hijauku. Dia tersenyum aneh sesekali menutup hidungnya. Padahal udara di situ tak bau poop sama sekali. Malah bau wangi pengharum bajuku. Kalau gak dibohongin gitu, gak bakalan selesai cerocosannya yang seperti air hujan. Adaaa saja yang dia komentari dariku. Mungkin karena dia sudah tahu kalau aku ini masih muda, 24 tahun, 9 tahun lebih tua darinya. Sehingga, Nyonya Yongki itu merasa paling wow dan paling jadi ibu sempurna. Diriku ini cuma minus di matanya. Tetanggaku yang super duper sok perfect dan selalu nge-judge. Tetangga, masak gitu? Arrgghh…! ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN