“Emang Om Imran gak lihat wajah suamiku ya? Jelaslah Aiyra mirip Kak Erlan. Lagian, demi apa sih Om Imran SMS aku model gitu? Masih mau ganggu hidupku lagi?” cercaku memberanikan diri menanyai Kak Imran yang berhasil menahanku. Kami berbicara di tempat yang agak sepi di bangku taman kantor Kumdam. Aku tak mau jadi bahan gosip. Semoga ibu-ibu itu tak tahu kalau Kak Imran ini mantanku.
“Ya aku cuma ingin komunikasi lagi aja sama kamu. Tapi, bisa gak sih kamu gak manggil aku ‘om’?” tanyanya heran.
“Gak bisa, aku bahasain anakku,” jawabku pendek, “buat apa komunikasi sama aku? Bukannya suamiku udah memutuskan komunikasi kita ya?” ujarku judes. Baby A mulai meminta gendong pada Kak Imran. Please Aiyra, he’s not right person. Gak semua cowok berseragam hijau itu papa, Nak.
“Pa…pa…paa d**a,” celoteh Aiyra yang berarti ‘Papa, ini Dedek’. Duh… udah mama bilang dia bukan papa!
“Om, Dek. ini bukan papa,” ujarku berusaha sabar sambil menatap Aiyra yang tersenyum manis.
“Panggil papa juga boleh kok, Dek,” sahut Kak Imran. What? Heloo, demi apa Mantan?
“Aku yang kenapa-apa. Sekali Om tetap Om!” Kak Imran tertawa renyah mendengar kejudesanku.
“Jadi kamu beneran jatuh cinta sama suami palsumu itu?” tanyanya kemudian sinis. Pertanyaan itu membuatku ingin melemparnya dengan diaper ompol Aiyra.
“Pertama, dia bukan suami palsuku. Kami beneran nikah pakai akad dan resepsi, pedang pora pula. Kedua, kalau aku gak cinta sama Kak Erlan, kenapa bisa ada Baby A di sini? Di gendonganku! Please, thinking!” jawabku gamblang bin judes marjudes. Baby A mulai mewek-mewek takut melihatku sewot.
“Oh, jadi beneran kamu udah bahagia sama pernikahanmu? Gak bisakah kita berteman dekat, Bel? Diam-diam aku masih merindukanmu,” desaknya yang membuatku muak.
“Sorry, aku gak berteman sama mantan. Cukup suami saja teman terbaikku. Aku pergi ya. Salam dulu sama Om, Nak,” pamitku tegas sambil menyodorkan tangan Aiyra. Walau aku marah, anakku tak boleh kujadikan saksinya. Aku harus tetap jadi ibu sabar di depan Aiyra. Kak Imran menerima tangan mungil anakku yang mencium tangan besarnya.
“Dek Erlan, Mbak cariin ternyata kamu di sini ya? Ayo balik ke asrama, kamu dicariin Mbak Rahman tuh. Malah asyik ngobrol lagi. Sama siapa tuh?” berondong Mbak Tania yang kuharapkan tidak datang saat ini.
“Eh, Izin Mbak. Iya mari pulang. Cuma temannya Kak Erlan kok,” ujarku berbohong. Maafkan mama ya Nak. Ini kali kedua mama berbohong di depanmu. Hiks.
“Mari Om…” pamitku dusta sambil berusaha ramah pada Imran yang menatapku aneh. Aku langsung ngacir walau Mbak Tania tampak masih ingin menginterogasiku. Lupakan Bel! Abaikan! Hempaskan! Ujar hatiku.
“Kenapa kita tak bisa dekat lagi sih, Bel? Kenapa kamu sekejam ini padaku?” tulis Kak Imran di SMS yang kuterima saat aku sedang ada di mobil. Langsung kuhapus pesan itu dan kusimpan dalam-dalam ponselku. Itu sangat menakutkan melebihi masuk rumah hantu.
---
Sesampainya di rumah, aku melihat om-om anggota Kak Erlan sudah selesai membuat pagar di samping rumah yang tembus hingga halaman belakang. Pagar itu terbuat dari bambu rapat setinggi leherku. Lumayan untuk sedikit menghalangi kekepoan Mbak Tania pada aktivitasku. Moga setelah ini dia gak ngintip-ngintip aku lagi. Aku mengucapkan terima kasih kepada om-om yang berpamitan untuk pulang. Tak lupa kusuruh mereka membawa sisa kue coklat buatan toko untuk anak-anak mereka di rumah. Minuman kemasan rasa jeruk juga kuberikan kepada mereka. Aku tahu tampaknya mereka sangat tidak mau menerima sepeserpun uang bayaran atau upah lelah.
“Kok bikin pagar, Dek?” tanya Mbak Tania tetiba yang membuatku kaget. Aku menoleh dan melihat ibu gemuk itu sedang menyuapi Edo dengan mie goreng. Ngomong-ngomong kujawab apaan ya?
“Izin Mbak, biar Aiyra gak main jauh-jauh. Apalagi kemarin kan Dedek ngrusak bunga mawar punya Mbak Tania,” ujarku pelan beralasan. Kembali aku teringat bunga-bunga cantik yang dihancurkan anakku, minggu kemarin.
“Bener juga ya? Tangan Rara terlalu lincah sih, sampai semua dibuat mainan,” sindirnya yang membuatku heran. Rara? Nama panggilan buatannya gitu? Helooo, kok bisa-bisanya Aiyra dipanggil Rara dengan seenak lidahnya gitu.
“Izin Mbak, namanya Aiyra atau panggil saja Baby A. Jangan Rara,” larangku pelan.
“Lah, memangnya kenapa? Kan sama saja. Rara itu juga namanya kan? Coba kamu kalau sebut kipas angin, gak selalu harus kipas angin, kan? Kadang kipas doang juga sama kan?” oh, jadi itu logika dia. Duh, terserah deh Mbak. Pusing saya!
“Izin Mbak, namanya Aiyra,” ujarku tegas sambil menatapnya makan mie goreng. Dih, dia itu nyuapin anaknya atau dimakan sendiri sih? Lah, itu si Edo malah udah gangguin Aiyra yang sedang damai menggigit biskuit susunya. Jangan sampai direbut Edo dan membuat…
“Huwaaaaa,” tangis Aiyra meledak. Tuh kan, belum juga sampai ke sana pikiranku. Edo sudah tertawa puas sambil memakan biskuit s**u Aiyra tak bersisa. Anakku menangis guling-guling di lantai garasi rumah. Edo Sayang, bilang ‘Kakak minta, Dek?’ bisa gak sih? Hiks.
“Edo, jangan direbut dong biskuit Dedek. Kalau mau, bilang ‘minta’ sama Dedek pasti dikasih,” ujarku berusaha sabar sambil menggendong anakku yang menangis. Aku berusaha menenangkan bayi ini. Edo mulai mewek mendengar perkataanku. Padahal aku tak bersuara dengan tinggi kok. Serba salah.
“Tuh kan nangis. Jangan dimarah dong, Dek. edo gak bisa mendengar omelan atau kemarahan,” ujar Mbak Tania sambil menggendong Edo. Halo para saksi mata, ini yang salah siapa? Aku atau Mbak Tania? Atau Edo? Aiyra gitu? Atau Pak Presiden yang salah keleus yak!
“Maaf Mbak, saya gak bermaksud marah atau ngomeli Edo kok. Saya cuma kasih tahu dia. Lagian suara saya juga pelan,” ujarku membela diri.
“Tapi coba lihat reaksi Edo. Reaksi anak kan lebih penting,” balasnya tak mau kalah. Aduh, diam saja deh kamu Bel. Percuma juga ngomong sama orang tua yang satu ini. Dia sendiri menyaksikan kalau anaknya gak dibentak. Eh, malah menyalahkan aku? Dia gak bisa kali ya membedakan nangisnya anak cengeng dan nangisnya anak yang dimarahi.
“Assalamualaikum, ada apa sih kok ribut-ribut?” pecah sebuah suara milik Bang Yongki dari arah belakang kami.
“Ini nih Mas, anak kita dibentak Dek Erlan. Padahal cuma minta biskuit Aiyra saja,” ujar Mbak Tania mengadu tanpa menjawab salam suaminya. Padahal aku dengan tenang masih menjawab salam itu.
Hah? Minta biskuit Aiyra? Kapan bilangnya? Itu tadi minta atau merampas ya? Seriusan dia sedang play victim gitu? Seolah dia adalah korban dan aku pelakunya? Oh My God, bisa gila aku lama-lama deketan sama orang satu ini. Halo Kak Erlan, pasang kamera CCTV sekalian perekam suara yuk? Aku sedang difitnah. Hiks.
“Maaf Bang, saya tidak membentak Edo kok. Tadi saya cuma bilangin dia dengan suara pelan saja. Saya bilang kalau mau biskuit Aiyra bilang ‘minta’ dulu. Soalnya anak saya pasti menangis kalau biskuitnya direbut,” ujarku berusaha menjelaskan. Anakku mulai rewel karena dia sangat pandai membaca situasi.
“Jadi Dek Erlan mau anakku bersikap seperti pengemis?” ujar Mbak Tania meninggi. Aduh, bukan gitu juga Mbak. Hiks.
“Izin Mbak, bukan begitu maksud saya. Anak saya ini sudah mengerti kok kalau diajak bicara. Dia pasti memberi kalau ada yang minta baik-baik,” ujarku berusaha sabar.
“Ah, pasti cuma alasanmu saja, Dek. Bisa jadi kan kamu juga bikin pagar itu supaya aku gak bisa lihat atau minta-minta ke kamu lagi. Jujur, Dek!” ujarnya nyolot. Iya sih, dia tahu juga ternyata. Tapi, aku gak mungkinlah ngomong jujur. Bisa pecah perang dunia ke-2 nanti. Dan namaku pasti terseret lagi. Kontroversi melulu perasaan kamu Bel, vonis hatiku.
“Selamat sore, ada apa ini kok ribut-ribut. Izin Bang, ada apa ya?” pecah suara Kak Erlan, penolongku. Kamu datang di saat yang tepat Kak.
“Sudahlah Ma, jangan ribut terus. Benar kata Dek Abel, kalau anak kita mau sesuatu harus bilang dulu jangan langsung rebut,” bela Bang Yongki sambil menyebut nama kecilku, aarggghhh.
“Sore juga Dik. Ini cuma masalah salah paham saja kok,” jawab Bang Yongki lagi pada Kak Erlan. Kak Erlan menggendong Baby A yang mulai reda tangisnya.
“Siap, salah paham bagaimana ya, Bang?” ujar Kak Erlan bingung.
“Ya biasalah masalah Ibu-ibu,” Bang Yongki suka sekali menggantung kalimat.
“Kamu nih Mas! Nih ya Dek Erlan, mamanya Aiyra jangan boleh terlalu jahat ya sama anak saya. Terus kalian juga jangan pelit-pelit. Masak cuma karena saya sering minta ini dan itu, rumahnya sampai dipagar. Pasti untuk membatasi saya, kan? Kalian kan dari keluarga jenderal kaya dan makmur, masak cuma bantu saya dikit aja gak bisa? Gak mau?” berondong Mbak Tania yang membuatku ingin pingsan. Gak sadar ya, suami di sebelahnya sudah menahan malu.
“Mbak, bisa kita bicara baik-baik? Saya rasa istri saya tak pernah membentak Edo. Membentak anaknya saja tak pernah, apalagi anak orang lain,” bela Kak Erlan. Bagus, Sayang.
“Benar, anak saya, Aiyra, sudah mengerti diajak bicara. Dia sudah tahu arti take and give. Dia tidak pelit kok. Kalau ada yang meminta makanannya dia pasti kasih. Dan lagi, pagar itu saya buat untuk membatasi Aiyra agak tak bermain terlalu jauh. Kadang juga istri saya butuh privasi ketika beraktivitas di belakang. Dia tak selalu memakai jilbabnya. Makanya saya buat pekarangan samping dan belakang lebih tertutup,” jelas Kak Erlan lagi dengan gamblang yang membuat Mbak Tania diam seribu bahasa. Dia mati kutu mendengar suami gantengku berbicara penuh wibawa. Rasanya pengen peluk dia sekarang juga.
“Maaf ya Dek Abel, Dek Erlan. Istri saya mungkin salah paham dan salah tangkap. Ayo Ma, masuk ke dalam.” Bang Yongki menarik lengan istrinya.
“Bangga banget ya Dek Erlan nih, dibelain sama 2 laki-laki. Oh iya, om letda di Kumdam tadi beneran temannya Dek Erlan? Kok ada yang aneh ya? Something fishy gitu,” ujar Mbak Tania sambil menyebutkan adegan terkutuk itu.
Demi apa dia tiba-tiba memicu amarahku ini? Demi apa dia berkata hal tak penting itu? Demi membuatku bertengkar dengan Kak Erlan? Moga Kak Erlan tidak menanggapinya. Moga Kak Erlan tak mendengar celoteh gila itu. Sumpah ya nih Embak, pengen banget kuplester. Setelah berkata another gossip, Mbak Tania menyerah dan menarik Edo masuk ke dalam. Edo tak mau karena masih bermain pasir dengan Baby A.
Seriusan mereka udah baikan? Yup, dalam dunia anak-anak, tak ada tangis yang abadi. Tak ada juga luka yang abadi. Mereka bertengkar, menangis, dan memaafkan secepat kilat. Tanpa dendam dan drama berlebihan. Mirisnya, para orang tua yang justru saling merenda dendam. Tapi, semoga aku bukan salah satu orang tua jenis itu. Aku harus menjadi pemaaf seperti anakku. Harus bisa demi dia, Abel. Ternyata cobaan hari ini bisa diselesaikan oleh Kakak Erlan.
“Abel? Seriusan tadi dia manggil kamu pakai nama kecil?” bisik Kak Erlan. Tahu juga kan akhirnya gimana absurnya tingkah Bang Yongki. Dan syukurlah dia tak nyambung dengan ocehan gila Mbak Tania tadi.
“Yup, percaya kan sekarang?” ujarku lega sambil meliriknya. Dia terlihat kusut. Cemburu kali ya?
“Awas ya sekali lagi dia kayak gitu. Kutegur langsung kalau perlu pakai bogem,” ujar Kak Erlan setengah emosi. Duh, cemburu beneran nih?
“Dih, segitunya. Ingat dia abang asuh, Kak,” kataku menenangkannya.
“Don’t care,” jawab Kak Erlan pendek sambil ngeloyor pergi menggendong Baby A. Yaps, positif cemburu.
***