Pagi yang cerah tak secerah hatiku. Semenjak malam Baby A rewel karena giginya tumbuh 1 di bagian geraham. Dia mengajakku dangdutan sampai jam 1 pagi. Tak sedetikpun mau lepas dari gendongan kain jarik zaman dia sejak bayi. Belum lagi dengan tangis rewel yang seperti biola digesek. Si papa yang biasanya mampu menenangkan anaknya malah mendapat panggilan dari komandan. Walau dilema, kudorong Kak Erlan untuk memenuhi kewajibannya. Aku tahu sebagai tentara, keluarga yakni istri dan anak itu adalah nomor kesekian. Itulah mengapa wanita yang mendampingi militer itu biasanya wanita yang kuat.
Cobaanku juga makin ditambah dengan gangguan dari ponselku yang biasanya sunyi. Sejak kemarin sore sampai malam bahkan sampai di pagi buta, dia bernyanyi dan menampilkan nomor asing yang tak kukenal. Siapa pula yang iseng sekali meneleponku? Mungkin dia cuma nomor nyasar milik anak SMP? Melihat dari nafsunya meneleponku berulang sepertinya dia adalah anak alay yang hobinya nonton acara musik kucek-kucek jemur jemur. Abaikan sajalah. Tapi sumpah gengges banget. Sudah aku tak bisa tidur semalaman karena Baby A rewel, ditambah pula dengan gangguan ponsel yang bernyanyi. Mau kumatikan takut ada panggilan dari Mbak Rahman atau senior yang lain.
Dirt! Dirt! Aku terperanjat. Baru saja kusebut nama Mbak Rahman dan nama beliau sudah berkelip-kelip di layar ponselku? Tuh kan? Untung saja aku tak mematikan ponsel menyebalkanku itu. Kutata suaraku supaya menjadi cerah dan ceria membahana. Takkan kutampakkan suara lelah walau aku hanya tidur 2 jam semalam. Aku melangkah keluar kamar Baby A karena anak itu baru saja lelap tidur.
“Siap Mbak, selamat pagi,” sapaku lembut.
“Selamat Pagi, Dek. Dek, lagi sibuk gak?” sumprit pertanyaan Mbak Rahman sangat membuatku galau. Jawab gak sibuk itu aku sibuk sekali. Jawab sibuk juga gak enak.
“Izin petunjuk, Mbak?” jawabanku juga galau dan gantung tapi intinya sih aku tidak sibuk.
“Ini ada petunjuk kalau anggota batalyon kita disuruh menghadiri sosialiasi dan penyuluhan tentang hukum militer, tempatnya di kantor Kumdam nanti jam 8 pagi kumpul di depan aula,” ujar Mbak Rahman tegas. Terus hubungannya sama Abel apaan Mbak? Batinku bingung dan tulalit.
“Nah petunjuknya semua jajaran perwira beserta istri harus ikut. Dek Abel ikut ya?” ujar Mbak Rahman yang sekaligus juga memerintahku untuk ikut dalam kegiatan itu.
“Izin Mbak, anak saya sakit, giginya tumbuh dan agak demam. Izin petunjuk?” tanyaku seolah mencari celah. Aku sudah pusing membayangkan rempongnya menggendong Baby A dan ikut ke kegiatan penyuluhan hukum yang pasti membosankan.
“Petunjuknya harus ikut semua, Dek. Saya mohon maaf ya Dek tidak memberikan izin. Dek Abraham yang sedang teler karena hamil muda saja saya suruh ikut,” ujar Mbak Rahman sambil menyebut Dek Chesil, istri Lettu Abraham yang sedang mabuk berat. Aku terpaksa memanggilnya ‘Dek’ walau usianya sudah 25 tahun.
“Siap Mbak.” Jawabanku akhirnya ‘Ya’.
Sekarang pukul 6 pagi dan acaranya pukul 8 pagi. Pukul 7 pagi sudah harus kumpul di depan aula yonif dengan pakaian PSK lengkap dan sepatu wedges 5 cm yang membuatku capek dengan membayangkannya saja. Belum lagi tas bayi yang berisi lengkap dengan diaper, biskuit, s**u formula 2 botol, dan beberapa pernik lainnya. Tas Persit yang berisi buku kecil, tisu, minyak kayu putih, minyak telon, permen, kipas kecil, dan beberapa lipatan kantong kresek untuk tempat sampah diaper Aiyra. Semua sudah kusiapkan dengan waktu 10 menit saja. Tahu gak semua itu diajari siapa? Kakak Erlan tercinta. Gak mungkin kan ide sistematis seperti itu muncul dariku?
Baby A masih molor dengan asyik. Kasihan juga melihatnya semalaman tak mau tidur. Dia seperti menunggu si papa yang tak kunjung pulang. Sudah kunyanyikan semua lagu militer, lagu shalawat, lagu nasyid, lagu kasidah, lagu Indonesia terbaru, tapi dia malah makin menangis. Belum lagi Mbak Tania yang mengomentari tangis Aiyra yang seperti anak kucing. Duh, my lovely neighboor, sungguh terlalu dirimu. Hiks hiks. Boleh gak nyerah aja!
Gak, aku gak boleh nyerah. Semangat Bel. Iya, aku memang harus memacu semangatku. Jiwa mudaku sebagai hot mom, hot wife, and hot army wife harus terpancar sempurna. Aku mandi dan bersiap hanya dalam waktu 5 menit. Super ajaib. Kupakai seragam PSK lengkap dengan lencana dan kerudungnya hanya dalam waktu 2 menit. Poles wajah sebisanya biar gak kelihatan wajah bantal hanya dalam waktu 5 menit. Jadinya pukul 6.30, aku sudah siap. Kutelepon Kak Erlan untuk menjemputku ke rumah sambil menggendong Baby A yang masih tidur. Syukurlah Tuhan, Baby A benar-benar lelap saat ini. Dia kelelahan di waktu yang tepat.
“Pindahan rumah, Bu?” sindir Kak Erlan saat memandangiku dari atas ke bawah dan memandang 2 tas di samping pundak kanan dan kiriku. Mungkin dia merasa geleng-geleng kepala melihat ibu kurus gendong bayi gimbul dan membawa tas 2 besar.
“Semua juga demi siapa? Andai aja bisa izin,” ujarku menahan kesal. Anggota Kak Erlan yang sedang membuat pagar di samping rumah cekikikan melihat ulah kami. Lagi-lagi aku jadi hiburan gratis karena kepolosanku.
“Sini aku bantu gendong Baby A,” ujarnya sambil meraih tubuh Aiyra.
“Kakak, terus kamu nyetir mobil sambil gendong Baby gitu? Bisa? Atau jangan-jangan aku yang disuruh bawa mobilmu?” tanyaku judes sambil menunjuk Honda Jazz RS warna putih yang masih menyala itu. Lagi-lagi Kak Erlan menahan geli.
“Ya ya Ibu Danki. Maaf ya, ya udah yuk masuk ke mobil, semua udah ngumpul tuh di depan,” ujar Kak Erlan sabar. Aku akhirnya melangkah masuk ke dalam mobilnya yang rapi dan bersih. Beda dengan si Brio milikku yang mirip kandang ayam.
“Tunggu, Dek!” sebuah suara mendayu milik Mbak Tania menahan laju mobil kami. Lalu kulihat Mbak Tania berlari dengan tubuh gemuknya sambil menyeret Edo dan Dimo dengan kecepatan tinggi. Tuh anak gak apa-apa kan ditarik gitu? Duh, apaan lagi sih?
“Boleh bareng ke depan dong? Mobil Mbak rusak belum sempat bawa ke bengkel,” ujar Mbak Tania yang lebih mirip kepada pemaksaan.
Dia menunjuk Innova hitam yang kotor di garasi rumahnya. Jadi, mobil itu belum juga diperbaiki dari minggu lalu. Ya, minggu lalu dia bilang mobilnya rusak dan akhirnya meminjam mobilku untuk berbelanja. Brio-ku yang sejak awal memang sudah mirip duniaku dan Aiyra, makin kacau balau setelah dipinjam keluarga Mbak Tania. Bayangin Om Jajang yang suka rela menyuci si Brio malah menjadi kerja rodi. Diaper bekas ompol, bungkus snack, goresan coklat di kaca dan jok, bekas es krim di karpet mobil, adalah jejak terindah dari Mbak Tania dan anak-anaknya. Makasih tetanggaku, hiks.
“Iya Mbak, silahkan,” ujar Kak Erlan ramah. Dih, dia gak tahu aja sebentar lagi apa yang akan terjadi?
“Aduh, Edo. Jangan tumpahin jus ke mobil Om dong!” kata Mbak Tania heboh. Doeng! Kubilang juga apa, jus mangga kemasan tumpah ruah ke jok belakang mobil kesayanganmu, Kakak.
“Ya ampun Dimo, jangan usapin coklat ke kaca mobil dong, Nak!” lanjut Mbak Tania heboh lagi. Dobel doeng! Dan saat itu kulihat wajah Kak Erlan datar bak tembok. Kuyakin hatinya sudah digigit sendiri tuh. Mulutnya hanya menciut dan mengerucut. Sejenak kemudian, Baby A menggeliat dan rewel kembali. Ya, lengkap sudah tantangan hari ini. Eits, cobaan atau tantangan ya? Terserah deh apapun definisinya. Boleh gak aku lambaikan tangan ke kamera?
---
Dirt! Ponselku bergetar sekali saat aku terkantuk-kantuk mendengarkan Kapten Andri memberikan paparan tentang hukum militer. Sedari tadi memang aku hampir tidur dan menguap ratusan kali kala melihat barisan kalimat di slide layar depan. Padahal para bapak termasuk Kak Erlan sangat serius menatap paparan itu. Untung saja getaran ponsel menyelamatkanku dari teguran Mbak Rahman. Siapa sih? Jangan-jangan nomor dari anak alay semalam?
“Melihatmu mengantuk bagai melihat ibu peri yang sedang lelah.” Tulis baris pesan yang pertama. Tuh kan anak alay. Tunggu tahu dari mana kalau aku sedang mengantuk. Dirt! Bergetar sekali lagi. Pesan baru lagi.
“Tunggu kurasa kamu bukanlah ibu peri melainkan ibu persit. Di antara puluhan ibu berpakaian hijau pupus, cuma kamu yang bisa mengharu biru hatiku dengan rindu,” tulis pesan kedua.
Aduhai, siapakah ini? Dia tahu aku persit, berarti dia kenal aku. Dia melihatku berpakaian hijau pupus di antara puluhan ibu berarti dia sedang melihatku. Aku langsung terpaku tak berani melihat ke mana-mana. Aku juga tak mungkin celingak-celinguk. Apa aku sedang diikuti seseorang? Siapa ya? Penggemarku? Apakah Kak Erlan? Ah, dia sedang tak memegang ponsel kok. Apakah dia sedang berniat menculikku? Aku langsung memeluk anakku yang syukurlah sedang tidur lelap.
Tunggu, Abel, jangan heri dulu alias heboh sendiri. kalau dia di sini artinya dia bukanlah orang asing antah berantah. Kemungkinannya ada dua kalau gak sesama ibu persit ya om tentara. Kalau ibu persit ngapain iseng sekali SMS model kasmaran gitu padaku? Kalau om tentara ngapain dia berani sekali mengirim pesan itu ke aku? Gak tahu kalau aku adalah istrinya orang, tentara juga loh orangnya. Gak mungkinlah dia gak kenal aku, siapa itu Abel! Pasti seluruh asrama tahu kalau Nabilla itu istrinya Airlangga alias Nyonya Airlangga. Apa mungkin dia dari satuan lain? Eh, tahu nomorku dari mana? Perasaan cuma orang terdekatku saja yang tahu nomor ini. Teman kampus dan sesama anggota Persit.
Wait, teman kampus? Teman kampus yang tahu aku jadi ibu persit kan cuma Dea dan Imran. Dea? Ngapain dia SMS model galau gitu? Habis diputusin kucing mana lagi dia? Kak Imran? Jelaslah gak mungkin. Aku sudah memusnahkan kartu lamaku semenjak Kak Erlan memutuskan hubungan kami. Ya lewat malam Kak Erlan mencuri ciuman pertamaku itu loh! Eh, hold on second, bukannya aku? Hiks Abel bodoh, kenapa pula aku mencantumkan nomor baruku di buku wisuda kampus! Hiks hiks nangis gulung-gulung. Kalau ini benar Imran, dia pasti mengambilnya dari buku kenang-kenangan terkutuk itu. Kenapa otakku gak sampai sana sih Ya Allah? Ngenes.
“Kamu pasti menebak aku siapa? Siapapun yang kamu pikirkan, kamu benar Abel,” tulis pesan ketiga. Fix! Dia kenal aku secara dekat. Nama panggilan Abel hanya pernah diucapkan oleh kedua orang tuaku, Kak Nindy, Dea, Kak Erlan, kedua mertuaku, dan tentu saja Kak Imran, Im…ran! Cobaan apalagi ini Tuhan?
“Mam, kamu balik sendiri bareng ibu-ibu lain ya? Naik mobil persit aja atau mobilnya Mbak Rahman. Tadi beliau udah nitip pesan ke aku kok. Soalnya aku harus lanjut sama Danyon. Aku mau menemani beliau ke Cijantung,” ujar Kak Erlan sambil menimang Baby A yang sudah ceria dan melupakan sakitnya.
“Yah, gak bisa makan siang bareng dong,” ujarku setengah kecewa.
“Maaf ya. Lain kali kubelikan bakso bakar untuk menebus janjiku. Mendadak sekali soalnya,” ujar Kak Erlan tegas.
“Ya udah deh, mau gimana lagi. Papa kan punyanya negara ya, Dek?” celotehku berusaha sabar. Aiyra hanya menjawab ujaranku dengan senyum kemudian dia membelai pipiku dan papanya. Aku tahu dia anak ompreng yang kuat dan sabar.
“Tapi nanti malam papa milik kalian berdua kok,” hibur Kak Erlan sambil mencium pipi Baby A dan mengelus kepalaku. Hatiku tak sedih dan kecewa lagi. Kami berdua kan wanita-wanita tangguh.
Kak Erlan akhirnya pamit pergi duluan untuk mendampingi danyon kunjungan ke Cijantung. Aku tahu Kak Erlan memang dekat dengan danyonnya. Selain itu, dia salah satu tangan kanan kepercayaan Bang Rahman. Aku tak bisa memungkiri kenyataan itu. Akhirnya kutimang Baby A dengan riang sambil menunggu Mbak Rahman untuk mengajakku pulang. Tampaknya Mbak Rahman masih ingin mengobrol dengan rekannya. Tak etis kalau anggotanya pulang duluan.
“Anakmu cantik, Bel.” Deg, pecah suara di belakangku. Aku tak berani menoleh.
“Mirip siapa dia, Bel?” Deg-deg, suara itu makin mendekat. Duh, please, jangan dia lagi. Jangan cobaan itu lagi, Tuhan. Batinku menjerit ingin segera ngibrit.
***