Malam pun menjelang, setelah makan malam Arvy tetap akan duduk di depan balkon. Karena angin mulai sedikit dingin, Vanilla mengambil selimut dan memasangkannya ke tubuh Arvy.
Tapi sayang Arvy membuang selimut itu dan memilih kembali ke dalam villa lalu menuju dapur. Vanilla tetap mengikutinya dari belakang.
Karena meraba-raba beberapa lemari, akhirnya Vanilla menawarkan bantuannya untuk mencari barang yang dicari oleh Arvy.
“Kau ingin mencari apa? Aku akan mengambilkannya.” Vanilla menawarkan bantuannya.
Arvy tak menjawab lalu dia berjongkok dan membuka pintu lemari bawah. Pria itu meraba ke dalamnya dan mengambil satu botol wine.
“Kau sedang mengkonsumsi obat rutin, jadi lebih baik tak minum wine dulu. Itu tak baik untuk kesehatanmu,” kata Vanilla mengingatkan.
“Obat itu tak akan membuat mataku kembali melihat, bukan? Diamlah dan jangan campuri urusanku.” Arvy tak peduli, lalu membuka botol wine itu dan berjalan lagi ke arah balkon.
“Dokter bilang, ini hanya keadaan sementara karena kau masih bisa melihat lagi,” sahut Vanilla yang berjalan di samping Arvy.
“SHUT UP!!” Arvy membentakdan Vanilla hanya bisa terdiam.
Vanilla kembali duduk di belakang sofa dan kali ini dia memakai kursi karena dia harus mengawasi Arvy yang meminum wine nya.
Satu jam berlalu, wine itu masih ada di tangan Arvy karena pria itu tak memakai gelas dan langsung meneguknya dari botol wine.
Arvy terlihat sudah cukup mabuk dan itu membuat Vanilla khawatir dengan kesehatannya.
“Sudah cukup minumnya,” ucap Vanilla.
Arvy tak menggubrisnya dan justru kembali meminum wine nya.
Lalu Vanilla akhirnya berdiri dan mengambil botol wine itu dari Arvy.
“Sudah cukup.” Vanilla membawa botol wine itu ke dalam villa.
Arvy tak terima dengan hal itu dan beranjak berdiri mengikuti Vanilla. Bayangan tubuh Vanilla terlihat olehnya dan berusaha mengambil botol itu lagi.
Tapi Vanilla tetap tak memberikannya. Arvy yang mabuk tampak marah besar dan merampas botol itu dengan kasar hingga akhirnya botol itu jatuh dan pecah.
Vanilla takut pecahan itu mengenai kaki Arvy. Vanilla menahan tubuh Arvy agar tak melangkah maju.
“Jangan maju, banyak pecahan kaca!” Vanilla menahan d**a Arvy yang maju ke arahnya.
Arvy yang mabuk dan marah memegang tangan Vanilla dan menariknya ke samping hingga mereka jatuh bersama di atas karpet.
“Kau mau melayaniku, HAH?? Inilah pelayanan yang aku mau darimu!!” Arvy membuka paksa kancing baju Vanilla hingga kancing itu terlepas benangnya dan jatuh di atas lantai.
“Arvy!! Jangan!!” Vanilla menahan tangan Arvy.
“Kau mau menebus kesalahanmu, bukan? Tebuslah dengan hal ini!” Arvy marah dan menyentuh leher Vanilla serta wajah dan bibirnya dengan sangat keras dan kasar.
Vanilla tahu Arvy melakukan ini karena kebenciannya pada dirinya dan ditambah dengan pengaruh wine tadi.
Vanilla mulai memberontak dan menyadarkan Arvy bahwa ini sesuatu yang salah. Tapi semakin Vanilla memberontak, tampak membuat Arvy semakin puas melukai Vanilla.
*
*
Arvy, seorang pria yang dulu disanjung sebagai pemimpin muda yang jenius, kini terperangkap dalam belenggu kegelapan alkohol.
Setiap tegukan menenggelamkannya lebih dalam ke dalam jurang kegelapan yang tak terduga. Malam itu, ketika langit sudah gelap dan bulan bersinar redup, Arvy kembali terjerumus dalam kebiasaan buruknya.
Tubuh Vanilla semakin gemetar ketakutan saat Arvy yang berada di bawah pengaruh alkohol memaksanya dengan kasar.
Tangannya yang kasar menjeratnya, membuatnya tidak bisa bergerak. Arvy tidak mendengarkan seruan minta tolong Vanilla yang lemah, dan semakin melibatkan dirinya dalam kebrutalan yang tak terbayangkan.
Dalam keadaan panik dan putus asa, Vanilla mencoba memohon, mencoba menyentuh sisa-sisa kemanusiaan dalam Arvy yang sudah tenggelam dalam gelapnya alkohol.
Namun, suaranya tenggelam dalam keheningan malam yang menyedihkan.
“Arvy, please, hentikan ini!” teriak Vanilla.
Namun, alkohol telah menguasai Arvy dan pria itu tak bisa mengendalikan nafsunya. Semuanya menjadi begitu kabur baginya dan mungkin merasa ini hanyalah sebagai pelampiasan kemarahannya.
Pada saat itu, Vanilla menyadari bahwa dia sendirian dalam melawan monster yang menguasi Arvy hingga membuat dirinya terbelenggu.
Ketakutan dan sakit yang tak terbayangkan melanda dirinya saat Arvy semakin kejam padanya. Setiap serangan yang dia terima terasa seperti pukulan yang melukai tidak hanya tubuhnya, tetapi juga hatinya yang hancur.
Meskipun tubuh Vanilla rapuh, kekuatan dalam dirinya yang tersisa mendorongnya untuk bertahan.
Dia mencoba menangkup wajah Arvy dan menbuatnya tersadar, meskipun Arvy dalam keadaan yang sudah mabuk. Setiap tarikan nafasnya penuh dengan rasa sakit yang tak terlupakan.
“Arvy, apakah ini akan membuatmu puas jika menyakitiku? Apakah dendammu akan terbalaskan jika melakukan ini padaku?”
“Ya, kau merusak tubuhku, jadi aku harus merusakmu!” geram Arvy.
“Baiklah, lakukan semaumu,” jawab Vanilla lirih dan hal itu membuat Arvy semakin tak terkendali.