"Anita, sepertinya Ainun betul. Ku tidur di kamar depan." Danis yang melihat Ainun mengamuk akhirnya menyuruh Anita mengalah.
"Tidak di sana gerah, Mas." Anita ngotot.
"Anita, aku mohon. Aku tidak mau gaduh malam-malam, apalagi kalau Ainun sampai memanggil satpam komplek."
"Hadeuh, kamu itu Cemen. Digertak begitu saja melempem." Anita mencebik. Danis diam tak menanggapi, tapi Ainun menangkap wajah suaminya tidak suka. Salah sendiri kuntilanak dikasih hati, ya pastilah ngelunjak. Ainun mencebik dalam hati.
Anita beranjak ke kamar utama, mengambil selimut dengan gusar.
"Baiklah, hari ini kamu menang, Ainun. Tapi awas, besok hari."
Wow.
Tak tahu malu, Anita mengancam sang nyonya rumah. Membuat Ainun hanya tersenyum sinis, tak aneh karena memang sejak masuk menjadi mantu di keluarga Danis, dia memang bermulut tajam dan tinggi hati.
Brug.
Suara pintu kamar depan dibanting Anita dengan keras. Dasar perempuan tidak tahu malu.
***
Udara subuh masih sangat dingin ketika Ainun bangkit dari sajadah. Sholat subuh kali ini terasa berbeda dan luar biasa. Mukena dan sajadah sampai basah oleh lelehan air matanya yang menghiba, memohon dan berharap diberi kekuatan dan kesabaran kepada Allah, dalam menghadapi cobaan rumah tangga dan musibah yang tengah menimpa rumah tangganya.
Bukankah Allah sebaik-baiknya Pemberi pertolongan? Bukankah Dia sebaik-baiknya tempat mengadu dan meminta? Selesai solat malam dan dilanjut tilawah, dzikir sampai subuh menjelang, Ainun melaksanakan solat Sunnah fajar dan solat Subuh, hati Ainun terasa lebih lapang.
Kalau bukan dia yang membalut luka hatinya sendiri dengan berserah diri pada Allah, siapa lagi?
Danis? Mama? Non sens. Atau pulang ke rumah Bapak sebagai anak perempuan yang terluka dan disia-siakan?
Bapak sakit, apalah rasanya jika mendapati putri kesayangannya hancur dan terluka?
Hari mulai beranjak pagi. Ainun masih sedikit termenung di pinggir ranjang. Ketika suara ketukan dan panggilan Danis membuyarkan lamunannya.
"Ainun, jaketku ditaruh di mana?" Suara Danis terdengar di balik pintu. Tumben, dia menanyakan jaket. Mau kemana dia?
"Mau kemana, Mas?" Tanya Ainun sambil menyerahkan jaket yang digantung dekat kamarnya, kepada Danis
"Beli bubur ayam panas, Anita ingin makan bubur." Danis menjawab enteng, seolah tidak perduli raut wajah Ainun yang berubah kecut.
"Sebentar lagi ada tukang bubur yang lewat, Mas." Ainun memberi tahu.
"Anita maunya sekarang," jawab Danis bersikeras.
"Mas, kalau kamu bisa memanjakan Anita, mengapa kamu tidak pernah sekalipun melakukan untukku?" Ainun menatap getir wajah pria di depannya.
"Ah, sudahlah. Harus berapa puluh ribu kali aku menjelaskan padamu, Anita baru saja kehilangan suami. Wajarlah kalau aku suport dia."
"Terus aku? Aku juga sedang hamil muda, kapan Mas suport aku?'
"Haha, iri ni ye?" Tiba-tiba Anita muncul di depan Ainun dan Danis, dengan masih mengenakan baju tidur seksi dan rambut merah tergerai sebahu. Ainun melengos, sebal dengan penampakan Anita.
"Bilang saja, kamu iri. Belum mudeng juga ya, kalau Danis itu gak cinta sama kamu. Wajar lah dia gak perduli." Anita tersenyum mengejek.
"Tutup mulutmu, Anita. Aku istri Mas Danis, di rahimku ada benihnya," jawab Ainun tegas.
"Ada anak atau gak ada, sama saja. Cinta gak bisa dipaksakan Ainun." Anita mencebik.
Ainun melengos.
"Mas, aku mau buat sarapan. Aku bikin nasi goreng ya?" Ainun mengalihkan suasana, meski sakit hati tapi dia berusaha tetap tenang. Anita adalah ular yang didukung Danis dan Mama, melawannya harus dengan kepala dingin.
"Gak usah, aku makan bubur saja sama Anita."
Ainun tak menjawab, melangkah ke dapur untuk membuat sarapan. Sakit sekali hatinya melihat Danis pergi berdua Anita. Seolah dirinya tak berarti dan tak memiliki harga diri.
Melarikan diri? Ainun ingin dan bisa melakukannya, tapi dengan begitu Anita akan bersorak dan menganggapnya pecundang.
Begitu membuka kulkas,Ainun merasakan mual yang kembali menyergap. Tapi Ainun tidak menyerah, memaksakan diri untuk membuat sarapan sehat untuk dirinya sendiri. Jus jeruk hangat, nasi goreng sayur dan ceplok telur. Gak ada waktu untuk mengikuti rasa enggannya, jika tidak ingin dia makin lemah dan ambruk di depan seorang perempuan menyebalkan bernama Anita.
Setengah jam berlalu, nasi goreng telah terhidang di meja. Pelan Ainun menyuap nasi ke dalam mulutnya, nasib goreng di hadapan Ainun sudah tandas, saat dua bayangan Anita dan Danis sudah kembali dengan raut kecewa
"Ainun, bikin kan nasi goreng dua buatku dan Mas Danis," perintah Anita ujug-ujug sambil menyambar minuman Kemasan di dalam kulkas
"Kalian kan sudah sarapan bubur."
"Tutup gak jualan. Muter-muter juga gak nemu. Sialan." Anita tampak kesal, perutnya sudah melilit minta di isi.
"Cepetan." Anita membentak Ainun yang terlihat cuek dan dengan santai menyeruput jeruk panas. Kelihatannya nikmat sekali, membuat Anita ngiler.
"Baiklah, tunggu." Setelah menyuapkan nasi terakhir dan minum jus panasnya, Ainun bangkit. Kembali membuat nasi goreng spesial dengan bahan yang tersisa di kulkas.
Sementara Ainun sibuk, Anita dan Danis menunggu di meja makan, sambil sesekali ngobrol dan bercengkrama. Ainun melirik tingkah suami dan Anita dengan muak.
"Silahkan, Mas." Tak perlu lama, Ainun sudah kembali dengan sepiring nasi goreng lezat.
"Kok satu?" Anita melotot.
"Aku bikin untuk suamiku. Kalau kamu mau, bikin sendiri. Tapi nasinya habis tadi ku kasih kucing, kau harus masak nasi dulu."
"Apa?" Anita meradang.
"Terus aku sarapan apa?"
"Terserah. Aku bukan babumu." Ainun tak perduli, dengan santai meletakan nasi goreng di depan Danis.
"Aku sarapan apa, Mas?" Anita merengek.
"Sudah ini saja, nanti Mas nyari di luar." Danis menyorongkan nasi goreng ke hadapan Anita yang disambut dengan gembira.
"Makasih, Mas. Aku lapar banget." Anita menyambar sendok dan bersiap menyuap nasi goreng buatan Ainun yang sangat lezat.
Huft.
Ohek-ohek.
Belum juga Anita berhasil menelan suapan pertamanya, Ainun dengan cepat telah merampas piring nasi goreng di depannya. Dan....
Biyurrrr...
Ainun menumpahkan nasi goreng penuh irisan daging dan telor ke hadapan Si Manis.
"Makan, Pus. Makan sampai kenyang." Kucing belang yang terlihat jinak itu kegirangan, dengan lahap menyantap nasi goreng di hadapannya.
"Mas....nasinya malah dibuang. Aku kan lapar. Huhu." Anita memekik dan merajuk. Menyebalkan.
"Ainun?" Danis bangkit dan melotot ke arah Ainun.
"Kenapa? Marah aku buang nasinya?"tanya Ainun sinis.
"Iya." Jawab Danis ketus.
"Kenapa Mas, harus marah, aku bukan babu dia. Aku gak ada kewajiban melayaninya, kalau kamu mau, sana bikin kan nasi goreng buat adik ipar lebaymu." Ainun tersenyum pahit.
"Cukup. Berani kau macam-macam sama Anita, aku tak segan menamparmu." Danis mengancam.
"Mas, kamu berani menamparku, menampar perempuan yang di rahimnya ada anakmu, ada mahluk kecil yang kelak akan mendoakanmu?" Wajah Ainun berlinang air mata. Hatinya sakit bukan kepalang. Danis tak menjawab, lidahnya kelu. Apa yang dikatakan Ainun benar adanya.
"Haha, makanya jadi istri itu jangan sok belagu. Tau rasa." Anita menyeringai, tertawa mengejek penuh kemenangan.
"Baiklah. Tunggu kamu di sini, Anita." Tak diduga Ainun balas tersenyum. Tenang sekali, membuat Danis sedikit mengerjap.
"Kamu, mau kemana Ainun?" Meski sedikit grogi, Danis menarik tangan Ainun.
"Ke rumah Pak RT," jawab Ainun cuek.
What??