"Ayah, apaan sih?" Risti kaget dengan ucapan ayahnya
Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apapun. "Menikah"
"Kami kan belum lama kenal yah, baru tiga bulan," ucap Risti beralasan.
"Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini sayang, gimana Nak Bambang?"
"Ahh... s-saya b-belum ada rencana, Om." Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah ayah Risti.
"Ohh begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?!" tanya Pak Hermawan dengan nada marah.
"Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!" lelaki paruh baya itu terlihat dangat kesal
"Buukan oom, bukan seperti itu maksud saya."
"Ayah, ayolah. Biarkan kami bicarakan ini nanti," bujuk Risti pada ayahnya.
"Sekarang ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?" tanya Pak Hermawan kepada Risti dengan tatapan serius.
Risti menunduk
"Iya aku mencintainya," jawab Risti dengan nada lirih. (Risti merasa bersalah saat ini telah membohongi ayahnya), tetapi ia tidak punya pilihan lain.
"Bagaimana dengan kamu, Bambang?" lanjut Pak Hermawan bertanya kepada Bambang. Bambang dengan terpaksa ikut mengangguk, dia tak punya pilihan lain.
"Oke, ayah yang putuskan kalian harus segera menikah," ucap Pak Hermawan memutuskan, sambil meninggalkan ruang makan.
"Aduh...Mbak, ini apaan sih, Mbak?" Bambang bertanya dengan bingung, sambil menatap serius ke wajah Risti
"Iya Bang. Sorry, aku ga tau kalau ayahku malah nyuruh aku langsung nikah, kirain cukup bawa pacar aja masalahnya selesai." Risti meminta maaf sambil berdecih kesal dengan sikap ayahnya.
"Mbak, saya ini masih 23 tahun masih muda dan saya belum ada niatan mau nikah," ucap Bambang jelas.
"Hhuuusstt...pelankan suaramu." Potong Risti cepat sambil tangannya menutup mulut Bambang.
"Iya aku tahu, siapa juga yang mau nikah sama kamu," timpal Risti kesal.
"Berani benar bocah ingusan ini menolak dirinya, emangnya dia siapa! " umpat Risti dalam hati sambil menatap kesal ke arah Bambang.
Risti dan Bambang menyelesaikan makan dalam diam dan dengan pikiran masing-masing, sedangkan ayah Risti masih berada dalam kamar.
"Sebaiknya aku antar kamu balik ke rumah sakit," ucap Risti memecah keheningan. "Kita pamitan dulu," ajak Risti sembari bangun dari duduknya.
"Mbak aja deh, saya takut." Masih dengan wajah polos Bambang yang menyirat ketakutan.
"Ayolah Bang, plis!" Risti memohon, sedikit menarik lengan Bambang.
Bambang akhirnya menurut, mereka berjalan mendekati kamar ayah Risti. Lelaki itu memperhatikan beberapa foto di dinding dan memperhatikan sekeliling rumah Risti.
"Sepertinya dia dan ayahnya orang penting, ya ampun kenapa aku ada dalam situasi sulit begini?" gumam Bambang sambil menghela nafas.
Tuk!
Tuk!
"Yah... Kami mau pamit," ucap Risti lagi tanpa menunggu jawaban ayahnya, Risti berbalik dan mengajak Bambang. Dengan wajah keduanya terlihat bingung.
Pintu kamar ayah Risti terbuka.
Risti dan Bambang berbalik badan menatap lelaki paruh baya yang kini berdiri di hadapan mereka.
"Kamu memang anak saya satu-satunya, tapi jangan pernah menemui saya sampai kalian berdua menentukan tanggal pernikahan,paham!" Pak Hermawan berkata dengan lantang lalu menutup pintu.
"Haduuhh..." Risti memijat kasar kepalanya.
Bambang masih terdiam tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Ia juga tidak menyangka situasinya jadi rumit seperti ini.
"Edward, biar saya yang bawa mobil," ucap Risti pada bodyguardnya
"Kamu kembali ke rumah dengan taksi saja," ucap Risti lagi
"Baik, Bu."
Suasana di jalanan ibu kota Jakarta cukup padat, mungkin karena ini malam minggu. Sedari tadi tak ada pembicaraan apapun di dalamnya, Bambang sibuk dengan pikirannya, sedangkan Risti sibuk memikirkan siapa yang harus menikahinya dalam waktu dekat? Masa sih harus Bambang? Lagi-lagi Ristri mencuri lirik pada sosok lelaki muda di sampingnya ini.
"Bang, kamu kenapa ga kuliah?" tanya Risti memecah kekakuan diantara mereka.
"Ga ada biaya, Mbak."
"Kamu mau kuliah?"
"Ya pasti mau Mbak, tapi duitnya dari mana."
"Begini saja saya sudah bersyukur, yang penting saya dan adik-adik saya sehat," lanjutnya lagi.
"Aku mau biayain kamu kuliah, kamu juga bisa buka usaha percetakan, kalau kamu mau." Risti memberikan penawatan, sambil menatap Bambang sekilas.
"Hahaha..." Bambang tertawa, Risti melihat wajah Bambang saat tertawa dan itu sangat manis, Risti tersihir hingga wajahnya merona. Risti langsung menggelengkan kepalanya dan kembali fokus menyetir.
"Mimpi apa saya Mbak," ucap Bambang lagi sambil masih terkekeh mendengar kebaikan Risti yang pasti ada maunya, ga mungkin gratis.
"Bang....aduh saya bilangnya gimana ya." Risti mencoba berbicara tapi khawatir Bambang tersinggung.
"Kalau kita menikah saja, bagaimana?" ucap Risti dengan suara sangat pelan.
"Apa? Yang benar saja, Mbak. Saya belum mau menikah, tadikan saya sudah bilang." Bambang kaget dan menjawab tegas tidak mau.
"Aku bisa berikan kamu apa saja, rumah, biaya kuliah, dan biaya sekolah adik-adik kamu. Kendaraan, modal usaha juga aku bisa berikan." Risti berusaha meyakinkan. Ia tahu ini ide gila, tapi tak ada salahnya mencoba memberi penawaran kepada Bambang.
"Mbak Risti, menikah itu bukan perkara gampang, bukan untuk mainan Mbak, bagaimana bisa saya menikah dengan wanita asing yang baru saya kenal," jelas Bambang dengan sedikit perasaan deg-deg an.
Tak dipungkirinya wanita di sampingnya ini adalah tipe idaman semua lelaki, namun bagi Bambang, menikah dengan Risti bukanlah keinginannya, lagi pula Bambang masih menaruh perasaan pada Fani teman kantornya.
"Kamu ga perlu jawab sekarang, kamu pikirkan saja dulu, minggu depan aku akan tanya kembali," ujar Risti dengan wajah sendu.
"Sekarang atau minggu depan sama saja Mbak Risti, jawaban saya tetap tidak mau menikah."
Risti menghentikan mobilnya di depan kios bakso.
"Saya minta tolong banget, Bang." Risti memegang tangan Bambang, memohon dengan wajah memelasnya.
Bambang kaget dengan sikap Risti lalu mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Risti. Hingga membuat Risti sangat kesa, harga dirinya sebagai wanita begitu terluka, apalagi jika dipandang dari status sosial, harusnya Bambang itu bersukur dilamar wanita cantik dan kaya seperti Bambang.
"Tidak bisa Mbak, maaf ya. Mbak Risti bisa cari lelaki lain yang lebih pantas, Mbak Risti punya banyak teman dan kolega kenapa tidak minta tolong mereka."
"Kalau mereka bisa dimintai tolong, ga mungkin kamu yang ada di sini bocah sombong, dikasih enak malah belagak ga mau,sebeeelll....sebeeell!" umpat Risti dalam hati sambil berusaha tersenyum memelas pada Bambang.
"Tapi aku maunya kamu," ucap Risti mulai menggoda Bambang. Ia tahu Bambang lelaki polos banget.
"Teman-temanku sudah menikah semua, masa ia aku minta tolong suami orang," ujar Risti berpura-pura sedih.
Bambang terdiam sambil memijat kepalanya yang tidak pusing, pandangannya tertuju pada jalanan di depannya, ia tak berani menatap Risti, entah kenapa hatinya berasa berbunga saat Risti berkata "Aku mau kamu".
"Ya udah kita lanjut lagi, sebentar juga sampai, tuh sudah dekat." Risti menjalankan kembali mobil Toyota Camry terbaru miliknya, menuju rumah sakit.
Sampailah mereka di parkiran rumah sakit, lalu turun dari mobil, dan mereka berjalan beriringan. Bambang membuka pintu kamar perawatan Lala, terlihat Lala sedang asik ngobrol dengan Karin.
"Eh Mas Bambang dan teteh Risti udah pulang," ucap Lala ceria.
Karin membaca raut wajah Risti dan Bambang yang kusut. Pasti sesuatu telah terjadi nih. Batin Karin.
"Oh ya Mas, tadi ada Kak Fani ke sini bawain buah," ucap Lala.
Wajah Risti langsung keliatan tambah bete.
"Oh ya." Wajah Bambang langsung sumringah mendengar nama Fani.
"Trus Kak Fani nanyain Mas ga?" tanya Bambang ingin tahu, merasa masa bodoh dengan kehadiran Risti.
Karin dan Risti masih diam saja, Karin menatap Risti dan memberi kode lewat mata, mananyakan apa yang terjadi.
"Lala bilang, Mas Bambang lagi pergi pacaran sama Teteh Risti," jawab Lala polos sambil menatap Risti yang sangat cantik.
"Ya ampun Lala." Bambang seketika lunglai dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
****