Bambang menatap tak suka ke arah Risti, ucapan Risti barusan dapat membuat Fani menjauh darinya karena salah paham.
"Udah, ga perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang," ucap Risti tanpa merasa bersalah.
"Saya lelah Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam." Bambang berkata dengan malas. Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah, akhirnya mengalah, jujur ia pun lelah, ingin sekali segera berbaring di atas ranjang apartemennya.
"Oke, kami permisi," sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Baru juga beberapa langkah, tepat di depan pintu kamar perawatan, Risti menghentikan langkahnya.
"Bambang...," panggil Risti lagi tepat memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.
"Sebaiknya belajar memanggilku sayang dari sekarang," ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit. Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras namun dia menahannya.
"Haahh?" Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti.
Bambang tersenyum kecil, "Dasar orang kaya aneh!" gerutunya dalam hati.
****
"Hahahaha...parah lu ah, ngerjain orang," umpat Karin sambil tertawa saat di parkiran.
"Bambang itu terlalu polos, nanti dia panggil gue Mbak di depan bokap gue, bisa ketauan, gawat," ucap Risti sambil menyalakan mobil.
Karin mengangguk. Tak sabar rasanya memunggu esok, Risti dan Bambang pasti bakal seru.
Adzan shubuh berkumandang Lala sudah sadarkan diri, kondisinya cukup stabil namun masih lemah jadi dokter menyarankan agar hari ini Lala masih dirawat di rumah sakit.
Seharian Bambang menunggui Lala di rumah sakit, Lulu dan Bude Yati serta beberapa tetangga lainnya juga ikut menjenguk.
"Bude, maaf ini uang untuk makan Lulu selama saya menunggui Lala di rumah sakit." Bambang memberikan tiga lembar uang lima puluh ribuan.
Sisa satu lembar di dalam dompetnya kini, karena memang belum gajian, masih sepekan lagi.
"Ga usah Bang, wanita yang menabrak Lala dan temannya sudah ke rumah kemarin memberikan Bude uang, mereka juga memberikan sembako sama bawain juga ayam ciken untuk Lulu," cerita Bude Yati dengan antusias.
"Hah? Mbak Karin dan Mbak Risti ke rumah Bude?" tanya Bambang tak percaya, ahh sangat mudah bagi orang kaya mencari informasi apapun.
"Mas Bambang, Lala mau dong ayam ciken." Lala bersuara lirih mendengar ayam ciken Lala jadi berselera.
"Iya nanti Mas belikan sekarang makan dulu buburnya, ini udah dzuhur, biar kamu cepet sehat dan pulang."
"Ya udah Bang, kami pamit dulu ya, oh iya ini pakaian gantinya udah Bude bawain, sini yang kotor biar Bude cuci," ucap Bude Yati sambil memberikan kantong plastik hitam berisi baju Bambang.
Bude, Lulu, dan para tertangga akhirnya berpamitan. Mereka juga menyerahkan amplop coklat kepada Bambang, sebagai bentuk simpati kepada sesama tetangga.
****
Sabtu siang di rumah sakit, ada pesan masuk dari nomor yang tidak ia ketahui.
081365******
[Bang, kamu sudah siap?" saya jemput jam 5 ya.]
Bambang menaikkan alisnya, "Dari mana wanita ini tau nomor saya?" gumam Bambang.
[Oke]
[Lala nanti ditungguin oleh Karin, jadi ga usah khawatir.]
[Oke]
"Walah, ini bocah bener-bener ngeselin, masa ngetik panjang-panjang dijawab cuma oke," gerutu Risti sambil menaikkan ujung bibirnya.
"Ha ha ha ..., udah sabaar, namanya juga pacar brondong," Karin tertawa geli melihat ekspresi Risti.
Karin tampak santai dengan kaos oblong dan celana jeans belel, Karin menjinjing ayam fried chicken kenamaan di tangannya lengkap dengan es krim dan buah, sedangkan Risti hari ini nampak memesona dengan dress selutut berwarna peach dengan model renda di dadanya, tak lupa kaca mata hitam dan rambut yang diikat tinggi. Wanginya semerbak sampai seisi rumah sakit yang dilewatinya pada menoleh.
"Ish, sumpah gue enneg liat gaya lo, kayak artis ampe segitunya diliatin orang." Karin memuji sekaligus meledek Risti.
Risti hanya tersenyum sumringah penuh kemenangan.
"Sirik ajah." Risti mencebikkan bibirnya.
Akhirnya mereka sampai di depan kamar Lala.
Tuk!
Tuk!
"Masuk, " ujar Bambang dan Lala bersamaan.
Bambang menoleh dan langsung terkagum dengan Risti yang hari ini sangat cantik. Ada semburat merah di wajahnya, hingga ia salah tingkah.
"Hai Lala, sudah sembuh belum?" Lala mencium tangan Karin.
"Saya Karin, panggil aja akak Karin, maaf yaa sudah menabrak Lala, Kakak ga sengaja," ucap Karin tulus.
"Mmm iya, Kak," jawab Lala sambil menunduk malu.
"Nih, kakak bawain ayam fried chicken, makan ya." Karin menawarkan.
"Itu siapa?" lanjut Lala bertanya menunjuk Risti dan Lala terpesona dengan wajah cantik Risti.
"Hallo Lala, saya Risti, panggil aja saya Teteh Risti," jawab Risti sambil tersenyum manis kepada Lala.
"Teteh Risti cantik deh," puji Lala terpesona dengan Risti, sedangkan Risti mengulum senyum penuh bangga. Pemandangan yang membuat Karin memutar bola mata malasnya.
"Lala, Mas Bambang dan Teh Risti pergi dulu ya, Lala sama kak Karin aja, ga lama kok," ucap Karin.
"Hayooo...mau pacaran ya?" tebak Lala polos sambil tersenyum menggoda abangnya.
"Lala, ga boleh gitu!" ucap Bambang merasa malu hati.
"Udah ya La, Teteh pergi dulu sama Mas Bambangnya Lala, mau pacaran." Risti tersenyum manis kepada Lala sambil merangkul lengan Bambang keluar dari pintu ruang perawatan Lala.
"Maaf Mbak, ga usah pegangan tangan gini saya malu, ini rumah sakit," ucap Bambang merasa malu sambil mencoba melepas rangkulan tangan Risti. Sembari juga mencoba mengatur dadanya yang bergemuruh. Maklum saja, seumur-umur belum pernah Bambang berjalan sambil dirangkul tangannya oleh wanita. Apalagi wanitanya kayak artis gini. Mimpi apa aku semalam, Bambang bermonolog.
Semua orang yang mereka lewati terkagum-kagum dengan kecantikan Risti. "Aduh kepalaku jadi pusing gini." Bambang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang, kamu kenapa sakit?" tanya Risti manja
"Eh, nggaa kok, " jawab Bambang kaget sekaligus gemetar mendengar suara manja Risti.
Sampai di dalam mobil, Bambang dan Risti duduk di kursi belakang.
"Bu, kita langsung ke rumah bapak atau mampir dulu?" tanya Edward bodyguard sekaligus driver Risti.
"Kita mampir ke butik dulu," ucapnya serius.
Sepanjang perjalanan, baik Bambang ataupun Risti terdiam. Tak ada kaliat yang meluncur dari kedua anak manusia itu, suasana terkesan horor, mirip di perkuburan.
"Ayo bang, masuk dulu," ucap Risti mengajak Bambang masuk ke butik khusus lelaki itu.
"Sore Bu Risti, bagaimana kabarnya?" sapa salah satu pelayan toko dengan ramah.
"Saya perlu baju resmi untuk pacar saya, pilihkan yang terbaru dan terbagus, soal harga ga masalah," ucap Risti sambil melihat-lihat beberapa koleksi baju di etalase.
"Kenapa saya ga pakai baju ini saja Mbak?" ucap Bambang setengah menolak untuk dibelikan baju oleh Risti.
"Huusstt, ih. Kamu udah aku bilang panggilnya sayang, bukan Mbak," ucap Risti sambil cemberut.
"Udah tenang aja cobain dulu aja," ucap Risti lagi sambil memberikan beberapa kemeja dan celana panjang yang sekiranya cocok untuk Bambang.
Lelaki itu mencoba satu persatu baju pilihan Risti, namun belum ada yang sesuai dengan keinginan Risti. Bambang hampir kesal dengan sikap Risti yang benar-benar mengatur.
"Pilihan terakhir, kalau ga cocok juga biar aku pake kaos butut punyaku," gerutu Bambang di kamar pas.
Bambang keluar kamar pas dengan kemeja motif siluet dipadu dengan celana jeans biru tua tak lupa sepatu hitam semi formal.
Risti tersenyum puas melihat penampilan Bambang yang berubah menjadi lebih manis.
"Nah, yang ini cocok banget kamu pake, Yang," ucap Risti manja bercampur takjub
Para pelayan memperhatikan Risti dan Bambang sambil senyum-senyum.
Risti membayar tagihan lalu menggandeng mesra tangan Bambang, sambil menanti Edward menjemput mereka di lobi butik.
"Sayang, inget yaa, panggil aku sayang, bukan Mbak." Risti kembali mengingatkan Bambang.
"Kamu cukup jawab seperlunya, sisanya nanti biar aku yang bereskan," lanjutnya lagi
"Oke," jawab Bambang masih menahan kejolak darah yang menderu karena diperlakukan begitu dekat oleh Risti.
Dari butik sampai ke rumah ayah Risti hanya butuh waktu satu jam. Tepat pukul tujuh malam mereka sampai. Pintu gerbang terbuka. Rumah Risti sangat luas bernuansa gold sehingga menambah kesan mewah pada rumahnya. Rumah besar yang dijaga oleh dua orang security. Risti memang tidak tinggal dengan ayahnya, dia membeli apartemen mewah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kantornya.
Mereka berjalan bergandengan, sesekali Bambang mengelap peluhnya, Bambang deg-degan, seperti benar-benar akan bertemu calon mertua.
"Assalamualaikum Ayah." Risti memberi salam dan mencari-cari ayahnya.
"Wa' alaykumussalam anak ayah, sini masuk!" Pak Hermawan menyambut kedatangan anaknya dengan pelukan hangat.
"Yah, kenalin ini pacar Risti yang waktu itu Risti bilang. Namanya Bambang." Risti memperkenalkan Bambang.
"Om." Bambang menyapa sambil tersenyum santun, lalu mencium tangan ayah Risti.
"Ayo masuk Nak Bambang, kita langsung ke ruang makan aja ya," ajak Ayah Risti ramah.
Bambang dan Risti duduk bersebelahan di depannya ayah Risti sedang mengamati Bambang.
"Sayang, kok bengong sih ayo dimakan," ucap Risti masih dengan nada manja. Bambang tersenyum kepada Risti dan ayahnya.
"Oh ya Nak Bambang kerja di mana?"
"Di percetakan, Om"
"Mmmhh..bagus itu."
"Sudah buka cabang di mana saja?"
"Mmmhh.."
"Ayah, Bambang itu baru aja merintis usaha jadi mana mungkin langsung buka cabang," ucap Risti memotong.
"Ohh begitu."
"Enakkan sayang makanannya?" tanya Risti sambil menatap mesra wajah Bambang.
"Enak, Yang," jawab Bambang tercekat, merasa malu sendiri dengan apa yang barusan ia ucapkan.
"Ihh, kamu makannya belepotan nih, sini aku bersihkan dulu, malu tuh sama ayah." Risti mengambil tisu dan mengelap mesra samping bibir Bambang.
Pak Hermawan geleng-geleng kepala melihat tingkah pasangan muda mudi di depannya ini.
"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah? Melihat kalian mesra begini, om rasa sebaiknya jangan kelamaan."
Huuk!
Huk!
Bambang tersedak.
****