Batasan

1214 Kata
Ruangan terasa hening sampai terdengar helaan napas yang menandakan kalau gadis di depanku siap bercerita. Tarikan napasnya terasa berat membuat aku berpikir jika perasaannya sudah lama terpendam. “Entahlah, setiap ada masalah dia selalu diam dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Dia menganggap semuanya selesai tanpa kami membicarakannya,” ujar gadis itu. “Apa menurutmu itu masalah kecil? Jika hanya masalah biasa dan tidak berdampak besar mungkin tidak masalah jika diabaikan, tapi jika itu membuat kamu kurang nyaman lebih baik kamu ungkapkan setelah perasaan kalian lebih tenang,” ujarku. Gadis itu terdiam lalu menggeleng. “Tapi aku tidak suka caranya seperti itu. Dia hanya diam tanpa menjelaskan apa pun.” “Setiap orang berbeda cara menyelesaikan masalah, begitu juga dengan pria dan wanita. Pria cenderung memerlukan waktu untuk membicarakan masalah yang dihadapinya. Jadi bicarakan masalah itu beberapa hari kemudian disaat keadaan lebih tenang. Pelan-pelan perbaiki komunikasi di antara kalian berdua,” ucapku. “Bagaimana kalau dia menghindar? Dia selalu memiliki alasan untuk tidak membahasnya.” “Sekarang pertanyaannya apakah kamu nyaman dengan sikap itu? Tanyakan pada dirimu sendiri apa yang kamu butuhkan dari seorang pria. Apa pasanganmu sekarang bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Jika belum, apakah kamu nyaman dan bisa mentoleransi sikapnya itu padamu?” Aku tersenyum ketika melihat raut wajah gadis itu berubah. Ia tampak memikirkan ucapanku. “Jika kamu bisa mentoleransi sikapnya itu akan lebih mudah, tapi jika tidak kamu akan lelah sendiri. Tanyakan pada dirimu, buat batasan sejauh mana kamu bisa mentoleransi sikap pasangan sehingga bisa membuat kalian lebih bertumbuh dalam hubungan.” Lama kami berbincang sampai akhirnya dua jam berlalu tanpa terasa gadis itu mengeluarkan keluh kesahnya. Ya, tidak mudah untuk memahami diri sendiri bahkan untuk membaca keinginan pun masih sulit. Apa lagi membuat batasan sejauh mana orang-orang bisa masuk ke dalam ranah pribadi kita. “Hei, kamu belum terlambat untuk memperbaiki semuanya.” Gadis itu terdiam dengan kepala tertunduk lesu. “Ajak saja pacarmu ke sini, kita bisa mengobrol lebih banyak dan aku harap itu membantu.” Seketika ia mengangguk dengan senyum tipis di wajah cantiknya. Ponselku berdering tepat setelah gadis itu pergi. Gadis itu pun pergi dengan segala macam pertanyaan untuk dirinya sendiri. Intan menghubungiku setelah beberapa hari ini ia mengatakan kalau dirinya sedang sibuk. “Lia, kamu di mana?” tanya Intan dari seberang sana. “Aku lagi di tempat kursus kenapa?” “Aku mau ketemu. Bisa gak kamu ke rumah aku?” “Boleh, tunggu sebentar, ya.” Sambungan pun berakhir aku bergegas membereskan semua berkas yang ada di atas meja. Formulir pendaftaran klient yang menumpuk cukup banyak. Aku terpaku pada satu formulir yang bertuliskan nama Kendrick. Aku tergelitik geli tahu kalau dia mulai tertarik dengan pernikahan. Kubawa formulir itu ke depan di mana Kendrick sedang makan roti setelah seharian bekerja. “Ini punyamu?” tanyaku membuat Kendrick menoleh. Ia menatap formulir itu sejenak lalu mengalihkan perhatiannya. Aku duduk di sampingnya seraya membaca formulir itu. “Kamu mau nikah?” tanyaku. Kendrick masih terdiam dengan mulut penuh roti. Mia pasti merasa patah hati saat tahu Kendrick sudah memiliki pujaan hati. “Tidak. Aku tidak tertarik menikah,” jawabnya membuat aku tersentak. “Terus kenapa ikut kursus?” “Belajar memasak bukan berarti orang itu mau menjadi chef. Aku hanya penasaran sejauh mana pernikahan itu menarik sehingga membuat banyak orang berlomba untuk menikah. Seolah menikah itu adalah suatu kesuksesan bagi mereka, aku ingin tahu bagaimana menikah bisa mengubah hidup seseorang,” jawabnya. Aku tersenyum tipis. “Makanya nikah biar kamu tahu rasanya bagaimana,” sahutku. Kembali Kendrick menggeleng. “Aku gak tertarik cuma mau tahu saja. Biar penasarannya hilang, aku gak mau pusing ngurus anak orang.” “Sekarang kamu bisa bicara seperti itu, tapi saat kamu bertemu dengan wanita yang membuat jantungmu berdebar kencang, kamu merasa nyaman dan berharap dia akan selalu ada di sisimu. Seperti menemukan kepingan hati yang hilang kamu merasa sempurna di dekatnya. Saat itu egomu akan hancur, rasa cinta akan membuat pikiranmu berubah.” Kutatap Kendrick yang kini juga menatapku. “Saat itu terjadi ada perasaan ingin selalu bersama dan kamu ingin hidup bersamanya dalam sebuah pernikahan.” “Aku belum pernah merasakanya. Mereka yang mendekatiku tidak ada yang membuat hatiku berdebar seperti yang kamu katakan. Mereka datang lalu pergi sesuka hati.” “Suatu hari kamu akan bertemu dengan wanita itu. Butuh proses yang panjang untuk mendapat oran yang tepat,” jawabku. Kendrick terdiam saat aku beranjak dari sisinya. Setelah semua urusan kantor selesai aku pun segera pergi ke rumah Intan. Saat aku ingin pergi Kendrick sudah tidak terlihat lagi di sekitar kantor mungkin dia sudah pulang hanya ada Mia yang sibuk mengunci ruangan. “Sudah semua, Mia?” tanyaku. “Sudah, Mbak.” Mia memberikan kuncinya padaku. “Aku duluan,ya, Mia mau ke rumah Intan dulu.” “Hati-hati di jalan Mbak.” Aku bergegas mendekati taksi yang baru sampai. Baru saja aku masuk ke dalam taksi tiba-tiba dari sisi kiri Kendrick masuk dan duduk santai. Di sisi kanan ada Mia yang masuk lalu ikut mendesakku yang kini berada di tengah-tengah . “Kalian ngapain ikut masuk?” tanyaku sembari menatap mereka bergantian. “Aku gak ada ongkos pulang,” ujar Kendrick tanpa menatapku, pria itu membuang wajah ke jendela. Tatapanku kini beralih pada Mia. Gadis itu tersenyum malu-malu sembari menatap Kendrick. “Mau ikut abang ganteng hehe,” ujar Mia membuat aku menghela napas. Kami harus berdesakan di dalam taksi selama perjalanan. “Kalian mau turun di mana?” tanyaku. Kendrick diam-diam melirik begitu juga dengan Mia. “Terserah mau turun di mana,” jawaban Kendrick membuat aku kesal. Mia juga ikut mengangguk saja. “Pak berhenti di depan, ya,” ujarku pada supir taksi. “Kok di depan? Rumahku masih jauh,” protes Kendrick. “Katanya terserah mau turun di mana, ya turun saja di depan,” jawabku. Kendrick tidak bisa protes lagi ia hanya menurut dan turun ketika taksi menepi. Begitu juga dengan Mia yang ikut-ikutan turun. Kubuka kaca mobil lalu memberikan selemar uang pada Kendrick. “Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Ambil uang ini untuk ongkos, tapi gajimu akan dipotong,” ucapku. Kendrick menerimanya dengan kening tertekuk. “Tapi aku juga lapar,” ujarnya sembari memegangi perut. Sebungkus roti yang ia makan tadi sepertinya tidak cukup untuk menahan lapar. Aku tidak tahu apakah memecat karyawan secara sepihak dibenarkan dalam aturan perundang-undangan. Karena sekarang aku ingin sekali memecat Kendrick. “Ini.” Kuberikan selembar uang seratus ribu padanya. “Potong gaji,” ujarku. “Tapi ini cuma cukup beli spagethi, aku perlu minum,” sahutnya membuat aku semakin kesal. “Ya kamu jangan makan spagethi, makan mie ayam kek, bakso kek yang harganya murahkan banyak.” “Mie ayam? Aku belum pernah makan. Bagaimana rasanya?” Mia yang sejak tadi bengong memandang Kendrick kini beralih memegang lengan pria itu. “Rasanya enak gak kalah sama spagethi. Aku punya langganan mie ayam yang laris banget. Abang tampan harus coba dijamin gak nyesel,” kata Mia membuat aku tersenyum senang. “Tolong ya Mia ajak abang tampan kamu ini ke langganan mie ayam itu. Selamat berkencan,” ucapku lalu menutup kaca mobil. Taksi pun melaju menjauhi dua anak muda yang tengah berdiskusi di pinggir jalan. Kendrick adalah pria aneh. Identitas pria itu masih misterius. Kalau saja ia tidak punya hutang pada rentenir mungkin aku tidak akan menerimanya bekerja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN