Taksi berhenti tepat di depan rumah Intan. Gadis itu menyambutku dengan riang. Semenjak hamil Intan jarang bertemu denganku. Tentu saja ia harus minta izin jika ingin keluar.
“Aku kangen banget sama kamu,” ujar Intan setelah melepas pelukannya.
“Aku juga kangen. Kamu sama baby apa kabar?”
“Kami sehat,” ucapnya sembari memegangi perutnya yang terlihat lebih besar dari terakhir kali kulihat.
“Aku pengen banget masak sama kamu. Kita ngobrol di dapur yuk.”
Kami memang terbiasa masak sambil curhat. Intan membawaku ke dapurnya yang cukup luas. Dapur ini adalah saksi bisu bagaimana kami membicarakan suaminya. Terutama tentang Vian.
“Kamu mau cerita apa, Tan?” tanyaku setelah meletakkan tas di atas meja lalu mencuci tangan di washtafel.
Intan yang sedang mengeluarkan bahan makanan di kulkas lalu menoleh kemudian menutup pintu kulkas.
“Aku pengen keluar jalan-jalan, tapi Vian sibuk terus. Kamu tahukan aku pengen piknik,” ujarnya dengan nada manja.
“Ajak saja Vian piknik atau kalian bisa piknik berdua di rumah.”
“Enggak ah, gak mau di rumah. Aku mau lihat pemandangan gunung terus udaranya yang segar pokoknya yang romantis gitu. Aul, bantuin aku kasi tau ke Vian. Dia gak mau dengerin omongan aku, setiap mau jalan-jalan bilangnya nanti ya kalau udah cuti. Kelamaan keburu anakku lahir.”
Aku mendekatinya setelah mengeringkan tangan. Intan terus mengomel tentang suaminya yang tidak peka. “Tan, kalau kamu gak bilang ke Vian mana dia tahu kalau kamu maunya piknik.”
“Harusnya dia tau dong kesenangan istrinya. Kita sudah pacaran 10 tahun ditambah nikah 2 tahun masak gak peka sih?”
Aku tertawa kecil mendengar penuturan Intan. “Suami kamu bukan peramal, selama apa pun kalian bersama belum tentu dia tahu apa yang kamu inginkan kalau kamu gak bilang. Kadang pekerjaan membuat dia gak sempat menebak isi hati kamu,” ucapku. Wajah Intan masih cemberut. Ia tahu jawabanku tidak akan memihak pada salah satu dari mereka.
“Kamu gak mau bantuin aku?”
“Kamu gak perlu bantuan aku, yang kamu butuhkan cuma keberanian mengungkapkan isi hati. Cari saat yang tepat buat bicara mungkin sebelum kalian tidur atau pas Vian lagi interaksi sama bayi kamu.” Intan terdiam memikirkan perkataanku.
“Sambut suami kamu pas pulang kerja, layani dia seperti biasa. Habis kerja pasti capek, siapkan makan malam biarkan dia rileks dulu, setelah dia tenang dan kenyang baru deh kalian ngobrol santai.”
“Kamu yakin dengan cara seperti itu dia mau dengerin aku?”
“Kenapa gak dicoba saja dulu. Kamu yang paling tahu sifat suami kamu,” jawabku.
Hari itu kami berbincang banyak tentang masa lalu dan hubungan Intan dan Vian. Makanan favorite Vian sambal cumi dan ayam lengkuas sudah tersaji di atas meja. Aroma yang menggiurkan membuat perutku lapar.
“Aku buatin kamu kue, bentar ya.” Intan berjalan ke lemari pendingin dan memberikan sekotak kue yang masih terbungkus rapat.
“Kamu bawa saja semuanya, ini dibeliin sama mertua aku, tapi aku lagi diet gula,” kata Intan.
“Thank you Beb, nanti aku bagiin ke anak kantor,” jawabku.
Kami lalu makan dengan lahap terlebih Intan sangat menyukai sambal cumi buatanku. Beruntungnya dia tidak memiliki masalah dengan seafood.
“Pacar kamu nelpon,” kata Intan membuat aku reflek menoleh ke ponsel. Aku lupa mengaktifkan suara ponselku, setelah kulihat ternyata Denis meneleponku berkali-kali. Pesan singkatnya belum aku balas sejak tiga jam yang lalu. Sekarang pasti kekasihku sedang khawatir.
“Aku pulang,ya, Tan. Besok Denis mau berangkat ke luar kota,” ucapku. Aku bergegas menyampirkan tas dan jaket ke tangan sambil menenteng kue pemberian Intan.
“Titip salam ya buat Denis, bilangin jangan lama-lama perginya nanti ada yang curhat kangen,” sahutnya saat kami jalan ke pintu depan.
“Wajar dong kangen sama calon suami,” jawabku membuat Intan menutup mulutnya.
“Serius kalian mau nikah?” tanya Intan dengan mata melotot. Kami yang berada di ambang pintu terdiam dengan ekspresi yang berbeda. Aku tersenyum lembut sementara Intan masih terlihat syok.
“Jangan bilang ke siapa-siapa,” jawabku membuat Intan memekik senang. Kalau saja ia belum berbadan dua mungkin saat ini Intan akan meloncat kegirangan.
“Ya ampun bagaimana aku bisa merahasiakan kabar gembira ini pada Vian. Aku gak akan bisa Aul,” katanya sembari mengipasi wajah dengan tangan.
“Biar aku saja yang ngasi tau Vian. Tolong rahasiakan dulu,ya.”
Intan mengangguk lalu melambaikan tangannya ketika aku masuk ke taksi. Aku lega bisa berbagi kabar bahagia ini pada sahabatku. Membayangkan hari pernikahan itu tiba membuat perasaanku menghangat. Denis jelas bukan Julio, mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Terlebih keluarga Denis begitu baik padaku.
Denis bahkan sudah tahu apa keresahanku di pernikahhan sebelumnya. Dia menerimanya dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang dilakukan mantan suamiku dulu. Untuk itu apa aku perlu meragukan ketulusannya.
“Kamu ke mana saja sih aku telepon gak diangkat-angkat?” tanya Denis saat membuka pintu apartemen.
“Tadi aku ke rumah Intan. Tahu sendiri kalau sudah sama dia gak bakalan inget waktu.”
“Dan kamu juga lupain aku,” kata Denis dengan wajah cemberut.
“Aku gak lupain kamu kok. Sini cium dulu.” Kuusap kedua pipinya sebelum mencium singkat. Seperti biasa Denis akan tersenyum tipis dan melupakan kekesalan.
“Tadi Intan ngasi kue, aku taruh di kulkas dulu, ya.” Aku segera ke dapur menyimpan kue itu ke lemari pendingin. Denis diam-diam mengikutiku. Saat pintu kulkas tertutup aku terlonjak kaget melihat Denis yang berada dekat denganku.
“Kangen banget sama kamu,” ucapnya sembari meraih pinggangku.
“Jangan lihat aku kayak gitu. Aku malu.” Kulepaskan pelukan tangannya. Aku bergegas ke kamar untuk menyiapkan semua keperluan Denis.
Baru saja aku akan mengambil pakaian di lemari tiba-tiba Denis menahan lenganku lalu memelukku erat.
“Kamu gak kangen sama aku?” bisiknya dekat telingaku.
“Kangen, tapi aku harus bantuin kamu berkemas. Jangan sampai ada barang yang ketinggalan,” balasku.
“Sebentar saja aku mau peluk kamu kayak gini.” Kubalas pelukannya tak kalah erat. Ini pertama kalinya aku merasa Denis begitu manja.
“Sudah pelukannya?” tanyaku. Denis menggeleng. “Masih kangen,” bisiknya membuat bibirku mengulum senyum. Dicintai begitu luar biasa membuat aku merasa menjadi wanita paling berharaga. Aku ingin hidup lebih lama dalam kebahagiaan ini.
“Jangan kelamaan nanti gak jadi pergi,” ujarku membuat Denis mengeratkan pelukannya lagi.
“Aku memang gak mau pergi, Ninggalin kamu rasanya berat banget,” ucapnya sebelum melepas pelukan. Kami saling bertatapan, matanya yang indah memancarkan cinta yang tulus. Kukalungkan tangan di lehernya sehingga wajah kami berjarak begitu dekat.
“Gak apa-apa kamu pergi cuma sebentar. Inget klient kamu sudah menunggu,” sahutku. Denis menangkup kedua sisi wajahku. Satu kecupan lembut mendarat di bibirku. Ciuman yang memabukkan sampai aku menutup mata menikmatinya dengan lembut dan berdebar. Denis melepas ciuman kami. Kening kami saling beradu menetralkan deruan napas yang memburu. Denis lalu menggendongku. Hampir saja aku berteriak kaget.
“Denis apa yang kamu lakukan?” ujarku sembari mengeratkan pelukan di lehernya.