2. Bayangan Masa Lalu

1313 Kata
"Kamu... hmm, serius kantor kamu pindah ke gedung ini?" tanya Danesh mengerutkan kening saat ia mengantarkan Alisha sampai lobby kantornya. "Iya, udah jalan lima bulan terakhir kami sewa lantai 9 dan 10 di gedung ini. Kenapa sih emangnya, Mas?" Danesh menyerahkan tas laptop Alisha saat perempuan itu berbalik dengan kedua alis hampir menyatu. "Kamu nggak tau tentang gedung ini?" Alisha menggeleng tak paham. "Ya... seluk beluk gedung ini!" Danesh mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru dengan satu tangan masuk ke saku celana. "Emang kenapa sama gedung ini? angker ya? ada hantunya?" Alisha balik bertanya setengah berbisik. Danesh berdecak seketika karena tak habis pikir dengan tebakan Alisha. "Bukan itu maksudnya?" "Terus apaan? aku taunya gedung ini ya gedung perkantoran biasa. Selain famous ya emang fasilitasnya lengkap aja." Danesh hanya mengangguk singkat enggan membahas apa yang tengah ia pikirkan saat ini. "Ya udahlah lupakan pertanyaan tadi! sana buruan naik," seru Danesh mendorong lengan Alisha pelan. "Diih ngusir banget sih?" gerutu Alisha mencebik sebal. "Tadi bilangnya hampir telat? jangan lupa makan siang." Danesh masih sempat mengacak rambut Alisha yang hari ini ia gerai. "Iiish, tangannya. Pagi-pagi jangan bikin baper anak orang deh," keluh Alisha kembali merapikan rambut yang baru ia potong sebatas bahu. "Ya kali bisa baper sama aku," senyum. lebar Danesh belum pudar. "Udah sana buruan naik, keburu disemprot big boss nanti." Kali ini Danesh mengibaskan satu tangannya. Perempuan manis di depan Danesh sontak nyengir lebar. "Iya juga sih, ya udah aku naik dulu, Mas. Bye, thank you udah dianterin plus ditraktir sarapan juga." "Eh tunggu," sela Danesh membuat Alisha menghentikan langkah. "Nanti jadi lembur?" tanya Danesh saat Alisha menoleh. "Kayaknya sih gitu, Mas. Udah deket banget sama deadline nih, gambarku harus cepet kelar," jawab Alisha sedikit manyun. Mengingat betapa banyak pekerjaannya belakangan ini membuat perempuan itu sedikit kesal karena kepayahan. "Ya udah nanti telpon aja, biar aku jemput." "Emangnya Mas Danesh belum masuk kantor?" Danesh menggeleng masih dengan senyumnya yang lebar. "Aku pengangguran selama dua minggu ini, jadi kamu bebas manfaatin," jawab Danesh membuat Alisha tertawa lepas. Alisha lantas mengangkat ibu jari sambil tergelak riang. "Oke deh, nanti malam aku kabari." Menyunggingkan senyum lebar, Alisha masih sempat melambaikan tangan ke arah Danesh sesaat sebelum ia masuk ke dalam lift. Danesh pun membalas lambaian Alisha dan tetap berdiri di tempatnya sampai perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangan. Danesh tahu Alisha bekerja di salah satu studio animasi ternama hampir satu tahun ini. Tapi baru kali ini ia mengantarkan Alisha ke tempat kerjanya. Berkat kegigihan dan dukungan orang-orang sekitar, Alisha akhirnya mau melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai. Dan begitu dinyatakan lulus dengan predikat summa cumlaude ia langsung bekerja di Less Giant sebagai salah satu ilustrator. Pekerjaan yang begitu Alisha impikan selama ini. Tinggal puluhan tahun di Jakarta membuat Danesh tahu betul tentang gedung perkantoran bergengsi ini. Tak hanya sekedar tahu, tapi ia juga mengenal baik salah satu keluarga dari pemilik gedung ini. Namun hal itu justru membuat Danesh dilanda khawatir. Apalagi ketika semesta bekerja sama dengan pikirannya untuk membuat kekhawatirannya menjadi nyata. Terlebih lagi saat telinganya mendengar suara familiar yang lama tak ia dengar. "Danesh," seru seorang pria lengkap dengan tepukan di bahu. "Heii, Bro. Kebetulan banget pagi-pagi ketemu di sini." "Ternyata beneran elo, takut salah orang gue,” kelakar teman Danesh sejak di masa kuliah itu. Pria tinggi itu mengulurkan tangan ke arah Danesh. “Gimana kabar?” "Ya, gini-gini aja, nggak buruk-buruk amat lah. Lo sendiri gimana, Wan? kirain masih stay di Surabaya," balas Danesh menerima uluran tangan pria yang biasa dipanggil Irawan itu. "Memang di Surabaya, kadang bolak-balik ke Batam juga habis ada insiden." Irawan menepuk bahu Danesh lantas mengarahkan langkah ke sofa besar di sudut lobby. Berbincang sambil berdiri di tengah ruangan tentu tak akan nyaman. "Ndi, lo ke atas duluan deh, gue reuni bentar sama sohib gue. Toh, masih lama juga kan meeting-nya," ujar Irawan pada asisten pribadi yang sedari tadi berjalan mengiringinya. "Oke, Boss. Gue cek persiapan di atas juga." Irawan mengangguk lantas kembali bercengkerama dengan sahabat lamanya begitu sang asisten menaiki lift khusus para petinggi. "Gimana, gimana?" "Terus lo ngapain di Jakarta?" Danesh melanjutkan tanya. "Biasalah, kesehatan bokap kan lagi ngedrop, jadi gue terpaksa handle di pusat juga meski perusahaan gue sendiri lagi kacau," kekehnya pelan. "Waah, sibuknya sultan emang beda ya?" balas Danesh ikut terkekeh. "Nggak lah, bentar lagi yang di sini gue lepas, Arya udah balik kok, jadi dia yang bakal gantiin mulai minggu depan. Makanya gue ke sini pagi-pagi karena ada serah terima sama tuh cecunguk Arya." Danesh mengatupkan bibir setelah menghembuskan napas panjang. Karena ternyata apa yang ia khawatirkan memang sedang terjadi. Ya, Irawan yang ada di hadapannya kini adalah kakak kandung dari Arya. Pria yang pernah menjalin kisah kasih dengan Alisha di masa silam. Tak hanya kisah biasa, namun disertai drama dan banyak lelehan air mata lantaran... "Lo ngapain pagi-pagi di sini, Dan? ada perlu sama orang sini?" Kalimat Irawan memutus lamunan Danesh yang sempat mengembara ke awal mula perkenalannya dengan Alisha hampir tiga tahun lalu. "Nganter temen aja tadi, baru tau kalau kantornya di sini." "Cewek rambut pendek tadi?" Irawan memastikan lagi. Tadi, dari kejauhan ia sempat melihat seorang perempuan yang nampak akrab dengan Danesh. Hanya saja ia tak sempat melihat wajahnya karena perempuan itu membelakanginya. "Iya," balas Danesh singkat. "Istri lo kerja di gedung ini?" Irawan nampak antusias. "Kerja di mana?" "Hussh, bukan istri juga kali. Temen." Danesh terkekeh menanggapi Irawan. "Dia kerja di Less Giant." "Kantor animasi itu?" tanya Irawan langsung diangguki Danesh. "Kirain udah nikah, baru juga mau gue protes karena nggak undang." Danesh menggeleng setelah meredakan gelak tawanya. "Lo duluan aja lah yang nikah gue masih repot ngurus kerjaan." "Doain ajalah, biar yang ini cepet luluh. Takut ketikung gue," sahut Irawan ikut tergelak. "Adek lo... " Danesh menelan ludah terlihat rikuh. "Arya maksudnya, dia yang gantiin gantiin posisi lo di sini?" Irawan mendadak mengeluarkan ponselnya yang bergetar di dalam saku celana. "Yoi, sebenernya dia gantiin posisi bokap. Udah dipersiapkan sejak lama, cuma yaa... bandel gitulah, jadi kuliahnya molor. Untungnya sekarang udah nyadar. Baru juga balik dari New York kemarin lusa dia." Raut wajah Danesh berubah serius. "Jadi dia bakalan kerja di gedung ini?" Irawan mengangguk lalu meminta ijin sejenak untuk membalas pesan di ponselnya. Setelah sekian detik barulah Irawan kembali berujar. "Iyalah, lagian dia belum berani pulang ke Surabaya sejak diusir bokap." Sudah cukup, Danesh enggan membahas tentang Arya. Jadi ia sengaja mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain sebelum Irawan menyadari kalau sebenarnya Danesh sengaja menanyakan perihal Arya. Sampai akhirnya Irawan terlebih dahulu berpamitan karena rapatnya akan segera dimulai, kedua sahabat itu berpisah di lobby. Irawan segera melenggang pergi setelah mendapat panggilan dari asistennya, sedangkan Danesh menuju tempatnya memarkir mobil. Tak langsung melaju pulang, karena begitu duduk di balik kemudi Danesh segera menghubungi perempuan yang baru beberapa menit berpisah dengannya. Alisha. "Sha," "Kenapa, Mas? udah kangen ya?" tanya Alisha sengaja menggoda Danesh. "Nanti malam boleh aku temani lembur?" Entah kenapa, tapi hanya pertanyaan spontan itu yang terlintas di benak Danesh. "Hah? gimana, Mas?" Alisha terpekik dari seberang sana. "Nanti malam aku temani lembur. Mau dibawain apa? martabak? kebab atau burger kesukaan kamu?" "Mas... " Suara Alisha terjeda sejenak. "Gedung ini beneran angker ya? Mas Danesh kayaknya kerasukan salah satu hantunya deh," imbuh Alisha selang beberapa detik setelahnya. "Anggap gitu juga boleh deh," "Hah?" pekik Alisha semakin memekakkan telinga. "Kamu nggak ada niat resign gitu, Sha?" Bukan bermasuk jelek untuk membuat Alisha menjadi pengangguran padahal ia sudah menemukan pekerjaan impiannya. Jujur saja, Danesh hanya merasa khawatir hati Alisha yang rapuh dan baru saja sembuh bisa terguncang lagi jika suatu saat nanti bertemu lagi dengan Arya. Apalagi mereka berdua kini bekerja di gedung yang sama. Meskipun berada di lantai yang berbeda tak menutup kemungkinan keduanya akan bertemu. "Mas... " seruan Alisha yang terdengar khawatir membuat Danesh mengerjap seketika. "Hmm?" "Kayaknya sekarang Mas Danesh deh yang perlu konsultasi ke psikiater. Kesurupannya mulai mengkhawatirkan. Udah ya, Mas, bye, lama-lama ngeri juga ngobrol sama Mas Danesh." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN