Ibu kota kembali diguyur gerimis. Alisha baru saja keluar dari taksi online yang mengantarkannya sampai depan pagar lantas berlarian sambil mengangkat tas laptop miliknya di kepala. Begitu sampai di teras, perempuan berambut pendek itu gegas mengetuk pintu tak sabaran. Berharap penghuni rumah yang hampir menjadi tujuannya setiap kali galau ini segera muncul membukakan pintu.
Begitu daun pintu terbuka, Alisha langsung menerjang masuk karena tak mau diserang kedinginan. "Mas lama banget, sih buka pintunya?" gerutu Alisha langsung berjalan menuju dapur setelah meletakkan begitu saja jaket dan tas laptop di sofa ruang tengah. Setelah mencuci tangan hingga bersih, perempuan cantik itu meletakkan paper bag yang ia bawa di atas kitchen table.
Sudah hapal dengan letak peralatan dapur yang ada, Alisha mengambil panci yang tergantung di dekat rak lantas memasak air hendak membuat cokelat panas. Sangat mudah 'mengacak-acak' dapur minimalis dengan aksen hitam putih itu bagi Alisha. Hal tersebut dikarenakan peralatan yang ada sangat sedikit dan isi dari lemari makanan juga seadanya. Khas sekali dengan citra kehidupan pria lajang yang hidup sendirian dan kesepian.
"Baru kelar mandi di kamar atas. Kamu sendirian?"
Alisha mengangguk pelan. Kedua tangannya sigap mengambil piring untuk menata makanan yang ia bawa dari rumah. Tak hanya satu, tapi ia mengambil tiga piring sekaligus.
"Nggak bawa motor?"
"Nggak, tadi sengaja naik taksi online ke sini," jawab Alisha lantas nyengir lebar.
"Kenapa nggak telpon biar bisa aku jemput?"
Alisha mendebas napas panjang lantas menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang menekab tepian meja. "Mas Danesh kan baru tadi subuh dari Bukittinggi. Pasti capek, mana mungkin aku suruh jemput ke rumah," jawab Alisha apa adanya.
"Aku udah nggak capek kok, harusnya telpon aja biar kamu nggak kehujanan gini."
"Cuma gerimis kok," elak Alisha mendorong piring berisi pastel ke tengah meja.
"Tapi gerimisnya lebat itu, Sha."
"Nggak masalah, aku tahan banting kok. Nggak akan tumbang juga kalau kena tetesan air doang," balas Alisha lantas terkekeh.
"Motor kamu ke mana emangnya?"
Melirik sekilas ke arah Danesh yang menuntut jawaban darinya, Alisha lantas berkata, "tadi pagi aku tinggal di bengkel. Kayaknya ada yang beres sama roda belakangnya setelah kemaren jat—, hmmm... perlu dicek berkala aja sih?" Alisha cepat-cepat meralat kalimatnya.
"Kamu habis jatuh dari motor?!" cecar Danesh sontak bangkit dari duduknya.
"Hmm... " Alisha mengatupkan bibirnya rapat-rapat karena sadar ia telah kelepasan bicara.
"Anggap aja Mas Danesh nggak denger. Lidahku lagi keseleo aja," ujar Alisha meringis lebar. "Nih, dicoba dulu pastelnya, Mbak Erin sendiri yang bikin. Sate ayamnya juga enak, kalau yang sandwich ini aku yang bikin." Alisha mencoba mengalihkan pembicaraan dengan mendekatkan ketiga piring tersebut ke depan Danesh.
"Sha," Danesh memutari kitchen table lantas menatap Alisha dengan seksama.
"Mas Danesh mau kopi? cokelat panas? atau teh hangat? sekalian aja aku bikini nih,"
Berpura-pura tak menggubris Danesh, Alisha memutar tubuh untuk mematikan kompor karena air yang ia masak sudah mendidih. Mengambil cokelat instan kemasan sachet dari lemari makan, perempuan itu lantas menyeduhnya perlahan. Seakan-akan tak terganggu dengan tatapan Danesh yang belum lepas dari gerak-geriknya.
"Kopi aja boleh," jawab Danesh dengan wajah datar namun penuh selidik.
"Oke siap, aku buatkan." Alisha hendak mengambil kopi instan dari rak di atas kepalanya, namun lengannya segera dicekal oleh Danesh.
"Tapi jawab dulu, pertanyaan yang tadi," seru Danesh mau tak mau membuat Alisha menunduk. "Kamu habis jatuh motor?"
Akhirnya Alisha mengangguk tanpa suara.
"Kapan?" kejar Danesh tak memberi jeda.
"Kemarin lusa, malam-malam pas mau beli camilan buat Naka."
Naka adalah keponakan Alisha satu-satunya. Putra dari Angga dan Erin yang kemarin sengaja mengunjunginya ke ibu kota. Kunjungan rutin yang selalu dilakukan Angga serta istrinya sejak Alisha mendapatkan ijin untuk kembali ke Jakarta dan hidup mandiri setelah mendapatkan pekerjaan di salah satu stasiun televisi swasta.
"Bagian mana yang sakit?"
Alisha memutar bola matanya sesaat, lalu menarik kaki kirinya ke belakang dengan gerakan sangat pelan. "Nggak ada yang sakit, jatuh biasa kok. Motornya aja yang jadi sedikit ringsek," jawab Alisha dengan suara pelan bak anak kecil yang tengah dimarahi oleh orang tuanya.
"Astaga, Sha..." desah Danesh lantas mengambil ponselnya dari saku celana. Menggulir layar sejenak untuk menemukan satu nama.
"Heh, Mas Danesh ngapain itu? jangan ember ke Mas Angga ya!" Alisha menunjuk Danesh menggunakan telunjuk dengan raut wajah panik.
"Jadi, Angga nggak tau?"
Alisha menggeleng lantas dengan gerakan cepat merebut ponsel Danesh. Dan benar saja, saat Alisha melirik layar gawai tersebut terpampang jelas nama Angga di sana. "Jangan kasih tau makanya," rengek Alisha memelas
"Tapi kan—"
"Mas Danesh lupa gimana lebaynya Mas Angga?" Alisha mengerucutkan bibir tak suka. "Aku digigit nyamuk aja dia heboh sok pengen bawa aku medical check up segala. Takut DBD atau apalah katanya," sambungnya masih manyun.
"Itu karena Angga sayang banget sama kamu, Sha." Danesh kembali duduk di kitchen stool dengan tatapan masih fokus pada Alisha.
"Please kali ini jangan kasih tau dia. Mas Angga pasti capek banget nyetir PP dari Banten ke sini. Ya kali aku bikin panik lagi sekarang."
"Serius nggak mau Angga tau?"
Alisha mengangguk yakin. "Please. Kali ini jangan, dia lagi banyak pikiran karena Mbak Erin lagi hamil muda. Belum lagi dia baru aja lanjutin bangun rumah belajar kan?"
Wajah Alisha yang tadinya ceria kini berubah sendu. Lantas bagaimana sanggup Danesh tak memenuhi permintaannya yang sederhana.
"Oke, kali ini aku keep. Tapi lain kali nggak ya..." Danesh mencubit ujubg hidung Alisha. "Cuma kamu yang dimiliki Angga, jangan sampai dia sedih karena adiknya kesakitan tapi malah nggak mau ngabarin."
"Aku nggak kesakitan!" sergah Alisha tak mau mengaku.
"Halah mbel, itu kakimu spontan kamu sembunyiin satu pasti ada yang nggak beres." Danesh mengendik ke bawah, merujuk pada salah satu kaki Alisha.
"Sok tau,"
"Taulah..." ejek Danesh terkekeh pelan. "Ya udah sana bikinin kopi dulu. Aku tunggu di ruang tengah, nanti aku periksa kakimu," pungkas Danesh lantas membawa piring-piring berisi kudapan yang Alisha bawa menuju ruang tengah. Tempat favoritnya menghabiskan waktu dengan menonton chanel National Geographic.
Menghela napas pelan, Alisha tak punya alasan lain untuk menghindar. Pria yang lebih tua delapan tahun di atasnya itu tetap saja tak bisa ia bohongi dengan mudah. Karena kata Danesh, menebak pikiran Alisha itu sama mudahnya dengan membaca lembaran buku yang terbuka sempurna. Tak ada yang bisa ditutupi. Jadi setelah selesai membuat kopi dan cokelat panas, Alisha membawa minuman tersebut ke ruang tengah dengan hati-hati.
"Thank you," ucap Danesh gegas meletakkan tabletnya saat menerima secangkir kopi dari Alisha.
“Hmm…”Alisha hanya berdeham singkat lantas ikut duduk melantai di karpet luas sambil merebahkan punggung ke kaki sofa di belakangnya.
"Proyek Mas Danesh yang di Bukittinggi beneran udah selesai?"
Danesh mengangguk. "Pengerjaannya memang sempat molor karena curah hujan yang tinggi. Tapi kali ini udah beneran beres kok, aku nggak perlu kroscek lagi karena kemarin udah diresmikan sama wali kota."
“Widiiih, mantap.” Alisha ikut mengangguk-anggukan kepala seolah paham. Padahal ia sama sekali tak mengerti dengan proses panjang yang harus dilalui Danesh sebagai seorang arsitek. Alisha hanya tahu tentang proyek-proyek besar yang dikerjakan Danesh selalu berakhir dengan hasil yang mencengangkan.
“Kakimu mana yang sakit? yang ini kan?" Belum sempat menjawab, Danesh sudah menarik kaki kiri Alisha sampai perempuan itu membelalakkan mata.
"Udah dibilang nggak ada yang saki—, aaauuww!!!" jerit Alisha tak bisa mengelak lagi saat Danesh dengan sengaja menekan mata kakinya.
"Masih bilang nggak ada yang sakit juga?" Danesh tergelak kencang dengan posisi kedua tangan masih mengurut telapak kaki Alisha dengan perlahan.
"Mas Danesh nekannya keterlaluan sih, makanya aku teriak," gerutu Alisha kembali mencebik.
"Kalau kamu tahan terus malah bahaya, Sha. Kalau ada otot yang tegang atau tulangnya geser gimana?"
"Mas Danesh nggak usah nakut-nakutin deh," cibir Alisha lagi.
"Bukannya nakut-nakutin. Aku dulu pas kuliah udah sering naik turun gunung, udah nggak kaget sama cidera ringan kayak gini. Kelihatannya sepele, tapi nggak bisa disepelekan juga." Danesh mengucapkannya dengan tenang. Bahkan dengan satu tangan ia bisa mengoleskan minyak urut ke telapak kaki Alisha.
"Tapi masih bisa dipake jalan kok, Mas."
"Tapi barusan teriak," ledek Danesh tak mau kalah.
Alisha menyerah karena tak bisa membalas kalimat Danesh lagi. Memperhatikan jemari Danesh yang terampil mengurut kakinya, membuat Alisha percaya kalau Danesh memang berpengalaman mengatasi cidera ringan seperti ini.
"Kalau ke kantor jangan pakai high heels dulu selama beberapa hari ke depan," pesan Danesh begitu selesai memijat kaki Alisha.
"Aku kan emang nggak pernah sepatu hak tinggi kalau kerja." Alisha terkekeh saat menjawab.
"Kalau masih nyeri, sering-sering dikompres air hangat. Nggak sampe seminggu biasanya udah baikan kok." Danesh menutup botol minyak urut dan mengembalikannya ke atas meja kecil di bawah televisi.
"Selain jadi arsitek, Mas Danesh punya sampingan jadi tukang urut ya?" canda Alisha kembali beringsut mundur dan menegakkan punggung di kaki sofa.
"Kadang sampingan jadi dukun atau pawang hujan juga sih, lumayan hasilnya." Danesh sengaja menimpali hingga membuat Alisha terbahak seketika.
“Kalau jadi pawang hatiku mau juga?” tanya Alisha masih melengkungkan senyum.
"Beuugh... berat pertanyaannya." Danesh menekan d**a kirinya hiperbolis. "Nggak usah tanya yang macem-macem deh, adek kecil," sambung Danesh lantas mengacak rambut Alisha.
"Aku nggak tanya macem-macem kok, cuma satu macem aja kan, Mas?"
Danesh mengambil satu buah pastel lantas melahapnya penuh nikmat. Setelah menyisakan hingga separuh bagian, Danesh menoleh dan membalas tatapan Alisha. "Ayo, kamu makan juga dong, masa makanan sebanyak ini cuma aku yang habisin. Kamu yang kurus gini harusnya makan lebih banyak, biar sehat, biar fokus juga kalau bawa motor, biar nggak jatuh. Eh... tapi jangan bawa motor dulu deh kalau kakimu cedera gitu, biar aku antar jemput aja sementara ini ya," ujar Danesh panjang lebar sengaja mengganti topik pembicaraan.
Alisha tersenyum manis saat mendengar kalimat Danesh yang sarat akan perhatian.
"Mas Danesh mah ... sok perhatian mulu, tapi diajak pacaran malah nggak mau." Alisha melayangkan protesnya dengan wajah kesal.
"Yakin mau dipacarin?" tantang Danesh memicingkan mata. "Yakinin dulu perasaanmu, jangan asal ngajak orang pacaran."
"Emang perasaanku nggak meyakinkan?"
Danesh mengangguk sambil mencebik. "Mau bukti?"
"Coba buktiin!" tantang Alisha mengangkat dagunya pongah.
Namun yang tak ia duga adalah, Danesh maju dengan cepat lantas memegang dagu Alisha dengan seksama. Jarak keduanya yang sangat dekat sampai Alisha bisa merasakan desir halus napas Danesh. Selang sedetik setelahnya Alisha dibuat membelalakkan mata lantaran Danesh sudah menempelkan bibirnya pada bibir Alisha.
Awalnya hanya sekedar menempel, namun saat menyadari Alisha membeku, Danesh sengaja menggigit bibir bawah Alisha hingga terbuka lantas melumatnya semakin dalam. Danesh baru melepas tautan bibirnya ketika merasakan keduanya nyaris kehabisan oksigen.
"See? perasaanmu nggak di sini, Alisha. Lalu bagaimana mungkin aku menerima seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya." Danesh mengucapkannya begitu tenang, dengan satu ibu jarinya mengusap pipi Alisha dengan perlahan.
"Mas..."
"Maaf kalau bikin kamu kaget, tapi aku nggak akan minta maaf untuk ciuman yang barusan," sela Danesh menyunggingkan senyum.
***