Hujan begitu deras malam itu. Penyakit Oliver kambuh. Semua keluarga panik. para pelayan bergantian berjaga di kamar Oliver. Bibinya, Nyonya Magie, mondar mandir tak karuan. Mengepalkan tangannya cemas. Oliver satu-satunya keturunan terakhir bangsawan Hill. Tak boleh terjadi sesuatu padanya atau garis keturunan itu akan punah.
"Bagaimana? dia masih kedinginan?" Tanya Nyonya Magie kepada pelayannya.
"Nyonya jika begini terus Tuan Muda akan celaka!" Joice. Pengasuh Oliver ikut cemas. Selain ibunya, Joice adalah orang yang paling dekat dengan Oliver. Joice membantu Nyonya Hill, merawat Oliver dari bayi. Itu sebabnya dia paham benar dengan penyakit Oliver.
Entah bagaimana penyakit ini bisa bersarang di tubuh Tuan Muda itu. Saat malam, tubuhnya akan menggigil kedinginan, bibir dan kukunya membiru, keadaan itu akan memburuk jika hujan turun, dia akan meronta kesakitan dan melukai dirinya sendiri. Dokter keluargapun tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya menyarankan agar setiap bagian rumah dipasang pemanas ruangan, dan suasana hati Oliver harus dijaga agar dia tidak sering kumat.
"Sial! Apa pemanas ruangan sudah hidupkan semua?” Nyonya Magie semakin cemas.
“Sudah Nyonya. Bahkan yang di ruang bawah tanahpun semua sudah menyala.” Jawab salah satu pelayannya.
“Mengapa tidak mempan juga? Biasanya dia bisa tenang setelah dihidupkan semua pemanas.”
“Akhh!” Terdengar rintihan Oliver dari dalam kamar. Salah satu pelayan terengah-engah berlari ke luar kamar.
“Nyonya. Tuan Muda makin kesakitan, dan dia sekarang memegang gunting!” Pelayan itu panik. Keringat bercucuran di dahinya. Tangannya gemataran dan terluka karena di serang oleh Oliver.
“Apa yang harus aku lakukan?” Nyonya Magie mengusap dahinya yang kini juga bercucuran keringat. Efek dari semua pemanas yang dihidupkan.
"Nyonya, saat hujan begini biasanya ... Nyonya Besar memeluk Tuan Muda.” Joice mengepalkan kedua tangan di dadanya.
"Kakak iparku sekarang sudah tiada. Aku harus bagaimana? Jangankan memeluknya, Aku bahkan tidak bisa mendekatinya! Brengsekk!”
Kekacauan makin menjadi-jadi. Oliver berlari keluar kamar, sambil melukai dirinya. Darah bercucuran di mana-mana.
“Tangkap dia! Jangan biarkan dia keluar rumah!” Nyonya Magie berteriak. Para pelayan berusaha mengejar Oliver. Entah dari mana anak berusia tiga belas tahun itu mendapatkan kekuatan. Para pelayan tidak berhasil menangkapnya. Dia mendobrak pintu dan berlari keluar. Di bawah hujan lebat. Sepanjang pelarian, dia menyayat lengan dan wajahnya dengan gunting di tangannya. Bruk! Oliver menabrak seseorang. Bunga Anyelir Merah berserakan di tanah. Di bawah hujan itu, seorang gadis terpaku menatap Oliver. Oliver terpana sejenak. Ditatapnya mata gadis kecil itu lekat. Hampir lima detik lamanya. Oliver dengan tiba tiba memeluk gadis tersebut. Rasa takut, kesedihan, dan cemas berbaur menjadi satu. Tubuh gadis itu tak sanggup menahan berat badan Oliver. Oliver pingsan, dan mereka berdua tumbang bersamaan dengan dentuman petir serta hujan yang semakin deras.
***
Keesokan harinya. Nyonya Magie mondar mandir tak keruan. Kejadian malam itu masih mengagetkan seisi rumah. Oliver akhirnya bisa tidur, dan si gadis kecil di kurung di kamar tamu.
"Dia anak tukang kebun?"
"Benar Nyonya. Namanya Baekie.” Joice yang telah tinggal di rumah keluarga Hill begitu lama, tahu pasti semua latar belakang para pelayan di rumah itu.
“Tapi, sebelumnya aku tak pernah melihatnya.”
“Dia seperti hantu Nonya, tidak ramah, tak ada ekspresi, dan aku tak pernah mendengarnya bicara." Joice menjelaskan lebih lanjut. Nyonya Magie berpikir sejenak.
"Kenapa dia bisa ada di rumah ini?"
"Menurut penjaga, Ayahnya memintanya datang untuk membawakan bibit Anyelir. Bunga kesukaan Nyonya Besar, karena di kebun, bunga tersebut sebagian mati.”
"Panggilkan tukang kebun !"
"Baik Nyonya."
****
Tukang kebun itu terperangah. Hal gila apa yang baru saja dia dengar? Saat Nyonya Besar masih ada, keluarga ini masih bisa terlihat damai. Tapi sekarang, keluarga ini sangat kacau. Nyonya Magie tidak seperti Nyonya besar yang berwibawa dan lemah lembut. Wanita satu ini bisa dibilang monster yang tak punya perasaan.
"M-maaf, maksud Nyonya? Baekie harus tinggal disini?"
"Kau harus memutuskan hubunganmu. Jual Baekie padaku, dia harus menjadi teman Tuan Muda!"
"Tidak mungkin kami menjual anak kami ..."
Plak! Nyonya Magie menampar Tuan Rosewood "Kau mau membantah? Kau pikir kau sedang bicara dengan siapa!”
"M-maaf Nyonya, tapi tolong jangan ambil Baekie."
"Kau ingin anakmu itu mati? Kau tau, Aku bisa membungkam kalian semua!"
"N-Nyonya ..."
"Penjaga! Jangan biarkan gadis itu keluar, jika orang tuanya bertingkah, segera bunuh dia!"
Tuan Rosewood menangis, Nyonya Magie melemparkan beberapa lembar cek, lalu setumpuk uang tepat ke wajah Tuan Rosewood.
“Pergi dari sini! Jika kau tak bertingkah anakmu akan selamat. Tapi, jika kau melakukan hal aneh sedikit saja, Aku akan membunuh anakmu, dan memburu semua anggota keluargamu!”
Tuan Rosewood terpaksa merelakan anaknya. Perkataan Nyonya Magie bukan sembarangan. Dia benar-benar akan membunuh Baekie jika terpaksa. Melenyapkan orang miskin seperti mereka sangatlah mudah.
"Nyonya apa sebaiknya kita bilang terus terang saja ..." Joice merasa bersalah.
"Kau gila? kau ingin dia tau anaknya dijadikan wanita Tuan Muda? kau ingin merusak nama bangsawan keluarga Hill?"
"M-maaf nyonya. Saya tidak berfikir sampai ke sana.”
"Oliver sangat tenang, saat bertemu gadis itu, jadi dia harus di sini! suatu saat pasti hal ini terjadi lagi, dan saat itu dia dibutuhkan.”
****
Bertahun-tahun berlalu, Kini usia Oliver sudah tiga puluh dua tahun. Berkat didikan Bibinya yang jauh dari kata mendidik, Oliver berubah menjadi laki-laki liar, pemarah dan kasar. Berkali-kali Oliver merepotkan keluarga dengan ulahnya. Dia berkelahi, mengebut, dan sering pergi ke club.
Malam ini Oliver pulang dalam keadaan mabuk, tubuhnya mulai menggigil, tangannya gemetaran. Dengan terhuyung dia memasuki kamar di ujung lorong. Di kamar itu Baekie berada. Baekie yang kini telah menjadi wanita dewasa dengan kulit pucat. Karena tak pernah tersentuh matahari. Wanita yang memiliki wajah datar tanpa ekspresi. Wanita dengan suhu tubuh yang hangat. Sehingga mampu menenangkan jiwa Oliver yang sakit.
Baekie duduk di kasurnya. Agak tersentak ketika Oliver membuka pintu.
"Aku kedinginan ..." Erang Oliver, dia berusaha menatap Baekie, namun pandangannya samar, kepalanya berat akibat alkohol dan dingin yang menusuk tulangnya.
Baekie mulai membuka pakaiannya satu persatu. Tanpa ekspresi. Menjatuhkan semua yang melekat di tubuhnya ke lantai, dan kini tubuh t*lanjang nya terpampang di depan Oliver. seperti biasa, tanpa bicara, seolah dia bukan manusia. Baekie berbaring di tempat tidur, lalu Oliver langsung ikut berbaring. Baekie memeluk Oliver seolah memberikan semua energi di tubuhnya ke tubuh laki-laki tersebut. Begitulah setiap penyakit itu kambuh. Oliver selalu tidur dalam pelukan Baekie. Tak melakukan apapun, hanya tidur. Dan jika pagi datang, Oliver akan pergi lalu Baekie memakai kembali pakaiannya, dan melakukan kesehariannya di kamar, tak keluar sedikitpun, yang dia lakukan hanya merangkai Anyelir Merah. sambil menatap pintu kamar dan menunggu pintu itu di buka Tuan Muda yang membutuhkan dirinya.
To Be Continue