Dea berjalan pelan, membuka knop pintu, menghela nafas panjang, menatap miris ruangan berwarna putih dengan gorden berwarna biru suasana ruangan begitu kontras. Dea meletak tas di tempat tidur. Kepala mulai pusing, efek menangis terlalu lama. Menatap pria berjas putih di hadapannya, dan wajahnya masih terlihat segar.
"Makasih ya mas, sudah ngantarin".
"Iya sama-sama, Itu sudah tugas saya sebagai seorang dokter".
"Kesannya saya ngerepotin mas". Dea merebahkan badannya di kasur.
"Besok operasinya jam 10.00 pagi, jadi mulai sekarang kamu di anjurkan berpuasa, sampai operasi berlangsung".
"Iya mas" ucapnya pelan, hampir tidak terdengar.
Raka cukup lama terdiam, menatap pilu wanita berparas cantik di hadapannya, alis terukir sempurna alami, mata hitam yang indah, hidung kecil mancung, bibir tipisnya, menggoda untuk di cicipi. Entah kenapa wanita di hadapannya sedikit berlebihan. Menangis semenjak ia bertemu di klinik prakteknya dan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Dua kotak tisu sudah habis dalam beberapa jam.
"Mas saya takut" ucap Dea kesekian kalinya. Raka sudah puluhan kali mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Dea. Raka hanya mendiaminya, memilih duduk di tepi ranjang.
"Mas, boleh tanya?".
"Mau tanya apa?".
"Mas umurnya berapa?".
"Enam tahun lebih tua dari kamu".
Dea, mengerutkan dahi, berpikir keras, enam tua dari dirinya? Berarti Raka sudah mengetahui umurnya. Dea melirik sela-sela jari Raka, tidak ada cincin bertahtah disana. Dea merasa lega, masih ada kesempatan untuk dirinya. Dea merutuki pikirannya, dirinya kenapa ia mempermasalahkan cincin?.
Wanita mana yang tidak menginginkan menjadi calon pendamping hidup Raka? Raka calon suami masa depan yang benefit dan potensial. Pinter, jelas ia seorang dokter, ganteng, keren , cukup bangga jika di bawa ke acara pernikahan, dan tak kalah penting tanggung jawab. Mungkin ia sekarang tidak percaya, ia sudah jatuh cinta kepada laki-laki di hadapanya ini.
"Mas tau dari mana umur saya?".
"Dari data pasien tadi, umur kamu 25 tahun bukan?".
Dea mengangguk, berpikir jika umurnya di tambah enam, berarti umur dokter Raka 31 tahun. Di umur yang ke 31 tahun sudah cukup matang untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Demi apapun sikap tenang dokter Raka, membuatnya tenang.
"Mas , boleh minta satu permohonan sebelum saya di operasi besok?" Ucap Dea pelan.
Raka menatap serius, memasukan tanganya di saku jas putihnya "Apa permohonan kamu?".
"Sebenarnya saya malu mengatakannya mas".
"Malu? Kenapa harus malu?".
Dea merubah posisi tidurnya menyamping, agar lebih dekat, mencium aroma tubuh Raka yang menenangkan.
"Saya ingin mas mencium saya sebelum operasi besok".
Hah??? Cium? Permohonan macam apa itu? Raka terperangah, tidak habis pikir apa yang ada di dalam otak wanita di hadapannya ini. Sungguh jika ingin menciumnya, sudah ia lakukan dari tadi, bahkan ingin melepas seluruh pakaian yang ia kenakan. Wanita di hadapanya ini otaknya telah diracuni pikiran m***m dan kotor, sangat menggoda imannya.
Menyandang Image pria tenang dan cool bertahun-tahun runtuh seketika. Oh Tuhan, tolong rubah pola pikir wanita di hadapannya ini, meminta cium kepada laki-laki yang baru di kenalnya.
"Yakin? Itu permintaan kamu?" Raka memastikan sekali lagi.
Dea mengangguk, "iya".
"Alasanya?".
"Karna saya ingin tenang untuk terakhir kalinya, saya takut tidak bisa bangun lagi pasca operasi nanti, saya ingin dokter melakukannya, hidup dan matiku sekarang ada di tangan dokter".
Raka mengusap kepala Dea dengan lembut, mencoba menenangkannya. Sudah berkali-kali ia mengatakan usus buntu hanya operasi kecil, setelah operasi ia pasti akan sembuh dari penyakitnya. Wanita di hadapanya ini seakan ia terserang penyakit cencer stadium akhir.
"Sudah jangan menangis lagi, saya akan mengabulkan permintaanmu".
Raka menangkup wajah Dea, merapikan anak-anak rambut yang menutupi mata. Saling menatap, tidak ada saling menghindar. Raka menundukkan wajah, mencium kening Dea cukup lama. Raka melepaskan kening masih bertemu, deru nafas terasa di permukaan wajah, menatap wajah pucat yang masih terlihat cantik.
"Makasih mas".
Raka mengelus dagu Dea, membelai bibir ranum dengan jari jempolnya. Dan kali ini ia lepas kendali, entah siapa yang memulai, bibirnya sudah memanggut bibir tipis ini. Rasanya sangat manis, lebih manis apa yang ada dalam pikirannya, hanya kecupan kecil, yang menenangkan. Kecupan kecil itu tidak ingin berhenti. Dengan susah payah, Raka menghentikan aksinya, ia takut lepas kendali.
"Tidurlah".
Raka dengan cepat meninggalkan ruangan, tanpa memandang wanita yang baru saja di ciumnya, sementara Dea memandang heran terhadapnya.
***
"Dok, siapa tadi? Pacar baru ya?" Tanya suster Mila, posisinya tepat di meja counter. Sepertinya gosip tentang dirinya sudah menyebar di rumah sakit ini.
"Bukan, itu pasien saya".
"Kok mesra amat dok? Ngaku deh, pasti gebetan baru ya".
"Saya sudah bilang dia, pasien saya yang akan operasi besok".
"Iya deh maaf jangan marah, kapan menikah dok sama dokter Ana?".
Raka melipat tanganya di d**a, "secepatnya".
"Amin, semoga cepet menikah ya dok, tapi pasien dokter tadi cantik juga, masih seger di banding dokter Ana".
"Dari pada gosip yang tidak jelas, sebaiknya kerjakan pekerjaan suster".
Raka dengan cepat meninggalkan suster Mila, emang dasar suster-suster disini senang bergosip.
Mengingat dokter Ana, Anatasia adalah pacar yang satu tahun ini di dipacarinya, kini sedang mengenyam pendidikan spesialis Anak di Melbourne. Raka akan menjaga hati untuknya. Ia berjanji akan menikahi Ana jika telah menyelesaikan kuliahnya. Ana wanita dewasa, cantik, dan pintar. Hanya Ana yang mampu mencuri hatinya.
Kesekian kalinya Raka mengubah posisi tidur, matanya sulit terpejam, lagi-lagi memikirkan ciuman, yang berefek maha dahsyat.
***
Raka menatap Dea, ia baru saja keluar dari wc. Wajah tanpa polesan make up ia masih terlihat manis. Ia tersenyum dengan kedatangan dirinya.
"Mas, sudah lama disini?".
"Baru kok".
Dea membaringkan tubuhnya kembali.
"Sudah siap?".
"Siap apa mas?".
"Siap di operasi".
"Owh itu, saya pasrah aja mas, mas kok belum siap-siap?".
"Saya hanya ingin memastikan kamu terlebih dahulu".
"Iya mas, saya sudah siap kok".
Selang berapa lama dua orang perawat datang.
"Selamat pagi ibu Dea, selamat pagi juga dokter Raka" ucap suster Mila.
"Selamat pagi juga suster".
"Gimana, masih sakit perutnya?" Tanya suster Mila.
"Sudah tidak sakit lagi suster".
"Pasti berkat dokter Raka".
Dea mengangguk, "ah,suster bisa aja".
Raka berdehem mencoba menegur suster Mila yang mulai, menciptakan susana panas.
"Sudah siap ibu Dea".
"Sudah sus".
Dea berbaring di ranjang yang telah di siapkan. Menatap Raka, Raka membalas tatapannya. Dea menyentuh jarinya seperti ada aliran listrik masuk didirinya.
"Mas, selama saya tidak sadarkan diri, jangan pernah meninggalkan saya".
Raka menatap cukup lama, membalas menggenggam jarinya.
"Iya, saya tidak akan meninggalkanmu"
***