BAB 1

329 Kata
Dea menahan perih, tangan kiri dan kanan menekan perut, rasa sakit menusuk kini tak tertahankan. Membungkukkan pinggang untuk meredakan sakit, keringat dingin sudah membanjiri pelipis dan kening. Sakit seperti ini awalnya dianggap biasa saja, tapi lama kelamaan semakin sering terjadi. Obat ulu hati yang di belinya di apotek, hanya mampu meredakan sementara. Mencoba memberanikan diri pergi ke dokter praktek letaknya tidak jauh dari kantornya. Antrian masih dua orang lagi sebelum namanya di panggil, dengan kesekian kalinya orang memandangnya aneh. Dea merubah posisi kanan, dan merubah sekian menit ke kiri lagi, begitu selanjutnya selama tiga puluh menit. Sampai saatnya, ibu tepat di sebelah kirinya menepuk bahunya. "Sakit banget perutnya embak?". Dea mengangguk, masih bertahan dengan posisi membungkuk. Suasana ruangan serba putih, kini mulai sepi. "Sakit apa embak?" Tanyanya lagi. Dea menggeleng, jika saja ia sudah tau tidak mungkin ia ke dokter peraktek ini untuk memeriksanya. "Belum tau bu, kalau pun saya tahu saya tidak mungkin periksa kesini, saya pasti akan langsung ke dokter ahlinya". "Iya juga sih" sahut ibu itu, Dea tidak mengetahui nama ibu itu sebenarnya dan baginya tidak begitu penting untuk berkenalan, karena menahan rasa sakit sudah menguras energi dan tenaganya. Tepukan bahu di sebelah kirinya terjadi lagi. Dea menoleh otomatis ke arah ibu yang menegurnya tadi. "Ada apa lagi bu". "Nama embak Dea Diandra ya?". Dea mengerutkan dahi tidak percaya bahwa ibu itu mengetahui nama lengkapnya. "Ibu tau dari mana nama lengkap saya?" Mulai menaruh rasa curiga , masalahnya ia tidak pernah menyebutkan namanya kepada sembarangan orang yang tidak dikenal. "Itu di panggil sama perawatnya" tunjuk ibu itu ke arah perawat di meja counter. Dea baru menyadari dan mencoba berdiri, tidak lupa menyengir, memberikan senyum terbaiknya. "Makasih ya bu, saya duluan ya". Dea berjalan kearah perawat, dan duduk di depan perawat yang terlihat ramah menyambutnya. Ramahnya tidak kalah dengan teller di Bank yang sering di kunjunginya. "Nama ibu, Dea Diandra silahkan masuk, mari saya antar" ucapnya ramah dan lembut. Dea mengikutinya dari belakang, menuju pintu berwarna putih. Pintu terbuka suasana di dalam sungguh mencekam. Dea akui, ia tidak suka suasana yang berbau medis seperti ini, apapun namanya klinik dan rumah sakit tetap terlihat horor. Dea mengamati tiap tata letak ruangan yang di susun sangat rapi dan bersih. Dea duduk tepat di depan meja kosong tidak berpenghuni. Suara pintu dari belakang terbuka, Dea menoleh ke belakang. Pria berjas putih, dengan rambut pendek yang sedikit dibiarkan berantakkan, tubuh atletis, kulit sawo matang, bagian dagunya terlihat di tumbuhi bulu-bulu halus yang sepertinya sengaja dibiarkan tumbuh. Jika di pandang ia lebih cocok berprofesi sebagai host di acara My Trip My Adventure yang sering di tontonnya setiap minggu. Dea memposisikan duduknya kembali. Entah kenapa rasa sakit perutnya berkurang hanya memandang dokter itu. Name tag tertera huruf vokal Dr. Raka Pratama Sp.PD. Dokter itu tersenyum ramah, memamerkan deretan gigi putihnya. Dea menelan ludah, mencoba tidak gerogi. "Sore Ibu Dea Diandra" ucapnya ramah, suaranya sedikit berat khas laki-laki. "Sore juga Dok" jawab Dea dengan suara pelan. "Keluhan ibu apa?" Tanyanya lagi. "Hemm dokter, jangan panggil ibu dong, soalnya saya belum menikah" ucap Dea. Sumpah demi bumi dan langit , ia bukan mempromosikan setatus dirinya yang masih lajang, kesannya seperti ingin memikat dokter ganteng di hadapannya, tetapi hanya tidak enak di panggil ibu, cukup di kantor saja ia di panggil ibu oleh anak buahnya, kesannya seperti memiliki anak dua. "Maaf jadi sebaiknya, saya panggil embak Dea saja". "Itu lebih baik dok". Dokter Raka tersenyum ke arahnya. "Apa keluhan embak Dea?". Dea kembali menahan perutnya dengan tangan, ia baru sadar bahwa rasa sakitnya kembali datang. "Perut saya sakit banget dok" ucap Dea. "Sudah berapa lama?"Tanyanya lagi. "Sudah hampir dua bulan ini dok, saya pikir sakit perut biasa, tapi belakangan ini hampir setiap hari sakitnya kumat". Dokter Raka berdiri, memegang dahi dan lehernya dengan kedua jarinya. Sepertinya ia sudah mencurigai sakit yang di deritanya. "Boleh berbaring, saya akan memeriksa anda" ucapnya serius. Dea menuruti dokter raka, dan berbaring di tempat tidur persegi panjang khusus untuk memeriksa pasien. Dokter Raka mulai dengan stetoskopnya, memeriksa lidahnya dan terakhir menepuk perutnya. "Saya sakit apa dok" ucap Dea penasaran. "Hasil saya menunjukkan anda terkena usus buntu, sebaiknya segera di lakukan operasi, karena sudah cukup parah, jika dibiarkan akan berakibat fatal". Dea masih terdiam dan kini menyadari "apa !!! Saya usus buntu dok? Operasi?" Dea syhock apa yang di dengarnya. Air mata tidak bisa di bendung lagi, ia lebih baik mengulang mata kuliah statistika satu tahuan dari pada ia harus mendengar operasi. Tidak bisa membayangkan bagian tubuhnya di sayat dengan pisau bedah. "Hikz...hikz...hikz saya tidak mau operasi dok" air matanya mulai jatuh di pipinya, ingusnya mulai berair, Dea mengelap dengan tangan kanannya, untung saja ia mengenakan jas hitamnya. "Jangan menangis, ini hanya operasi kecil kok, peralatan juga sudah canggih, tidak bakalan ada bekas sayatan operasi nantinya" dokter Raka mulai menenangkannya. "Ta...pi saya takut dok, saya tidak bisa" ucap Dea sesugukan di banjiri air matanya. Dokter Raka memberinya tisu, Dea mengambilnya dan mengelap air matanya. "Saya takut dok". "Jangan takut, saya akan memberikan yang terbaik". Dea masih menangis menjadi jadi, dokter Raka membiarkan Dea melepas tangisnya sampai reda. "Dokter, orang tua saya tidak ada, saya sendiri disini, gimana saya akan menjalani ini? saya tidak ingin membuat mereka khawatir dok, saya tidak ingin mati muda, saya masih belum bisa membahagiakan orang tua saya, saya belum memberikan mereka kebahagiaan, saya juga belum pergi ke Budapest" Dea mulai menangis lagi, pikirannya mulai kacau, masih sempat ia memikirkan Budapest kota romantis yang ingin di kunjunginya. Dokter Raka menarik nafas, baru pertama kalinya ia menemukan pasien seperti ini. "Yakin lah, operasi ini tidak menyebabkan anda mati, saya yakin itu" ucap Raka. "Orang tua anda kemana sebenarnya?" Tanya Raka penasaran. "Orang tua saya honeymoon ke Paris selama sebulan, baru saja mereka pergi kemarin dok, saya tidak ingin mengganggu kebahagian mereka, dokter jangan memberitahu kedua orang tua saya tentang penyakit saya ini, saya takut mereka khawatir, biar saya saja merasakan sakit yang saya derita" ucap Dea masih dengan tangisnya, wajahnya memerah dan matanya bengkak menahan tangis. "Iya saya tidak memberitahu mereka, mungkin teman , saudara, yang bisa kami beritahu? Untuk menjadi wali anda?". Dea menggelengkan wajah, "sebaiknya jangan dok, cukup dokter saja yang tahu"ucapnya pelan. Dea bangun, di bantu dokter Raka, Dea dapat mencium harum tubuh Raka yang khas dan menenangkan. "Dokter..." "Ia embak Dea". "Bisakah dokter saja yang mengoperasi saya" pinta Dea. Dokter Raka tersenyum mendengar permintaan Dea, dan mengangguk. "Saya yang akan mengoperasi anda" ucapnya, sambil memberikan surat rujukan. "Seharusnya saat ini anda langsung di rujuk ke rumah sakit, karena besok pagi saya akan menjadwalkan operasinya". Dea cukup lama terdiam, secepat itukah dia harus dilarikan ke rumah sakit. Ia masih takut dengan nasibnya. "Dokter jujur saya masih takut". "Jangan takut, saya akan menjaga anda selama operasi berlangsung, saya akan mempertanggung jawabkan semuanya". Dea merasa lega mendengar kata-kata dokter Raka barusan. "Dok, bisa tidak mengantar saya kerumah terlebih dahulu, mengambil perlengkapan saya, sebelum ke rumah sakit". Dan lagi lagi dokter Raka mengangguk demi tanggung jawab dokter kepada pasien. "Makasih ya dok". "Ia sama-sama". "Oiya dok, saya panggil mas Raka boleh?". Dan Dokter Raka pun mengangguk. Dea tersipu malu meminta dirinya untuk memanggil dokter Raka dengan sebutan Mas Raka. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN