Sapuan kuas pada kanvas menjadi gerakan satu-satunya di ruangan dengan interior bergaya vintage Eropa tahun 90-an. Easel yang didirikan di samping jendela tersebut sudah berdiri bertahun-tahun lamanya. Alunan musik dari gramofon terdengar ramah di telinga. Nyaman dan damai. Gadis itu menghentikan gerakannya. Melirik sejenak ke arah luar jendela, lalu kembali melukiskan cat minyak pada kanvas. Begitu terus sejak lima menit lalu.
Lelaki bermata biru dengan rambut pirang duduk setia di sofa santai. Dia memperhatikan gadis berambut sepunggung itu lamat-lamat. "What are you looking for behind the window? Apa yang kamu cari di balik jendela?"
"He's coming. Dia datang."
Entah karena penasaran atau apa, lelaki dengan banyak tato di tubuh itu berjalan menuju jendela. Setelah mengerti apa maksud sang gadis, dia tersenyum. "Oh, Auriga. So, he's our neighbor now, Lov? Jadi, dia tetangga kita sekarang, Lov?"
Gadis yang dipanggil "Lov" itu mengangkat satu alisnya, mengiakan. "It looks like you have other neighbors from Indonesia, Jensen. Sepertinya kamu punya tetangga lain dari Indonesia, Jensen," ucapnya.
"Yep, kinda sus this town would own by Indonesian. Yah, agak curiga kota ini akan dimiliki oleh orang-orang Indonesia."
Gadis berambut hitam dengan sedikit biru tua di ujungnya memutar bola mata. "Don't start the drama, you know everyone owns London. C'mon, we have to say hello to our new neighbor. Jangan memulai drama, kamu tahu semua orang memiliki London. Ayo, kita harus menyapa tetangga baru kita."
Ketika si gadis selesai mencuci tangan yang terkena cat minyak, dia langsung memutar kenop pintu, hendak keluar rumah. Namun, Jensen—lelaki berbola mata biru tadi—berteriak, "Lovarie, you forgot something! Lovarie, kamu melupakan sesuatu!"
Lovarie menoleh, dahinya mengernyit. "What's that? Apa itu?"
Jensen mengangkat keranjang bulat yang berisi kue. "Your parent's chocolate cake. Kue cokelat orang tuamu."
"As always, Mr. Remember Everything, you saved me. I literally forgot that I have to give this for him. Seperti biasa, Tuan Ingat Segalanya, kamu menyelamatkanku. Aku benar-benar lupa harus memberi ini padanya," kata Lovarie sembari menepuk jidat.
Keranjang sudah diambil alih. Keduanya keluar dari rumah Lovarie, berjalan kecil sebanyak sepuluh langkah ke kiri. Pintu rumah bergaya minimalis yang terlihat kontras dengan rumah Lovarie itu tertutup. Jensen menekan bel.
"Wait a moment! Tunggu sebentar!" sahut suara laki-laki dari dalam.
Lovarie mengusap-usap bajunya yang ternyata terkena cipratan cat minyak. Pintu dibuka tak lama kemudian. Lelaki berwajah Asia dengan pakaian rapi muncul.
"Welcome to London! I'm your neighbor, Jensen. That's my home. Selamat datang di London! Aku tetanggamu, Jensen. Itu rumahku," tutur Jensen sembari menunjuk rumah yang ada di seberang.
Dengan wajah sedikit bingung, si pemilik rumah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Um, thanks. My name is Auriga. Um, terima kasih. Namaku Auriga."
Bukannya mengulurkan tangan kanan untuk bersalaman, Lovarie justru menyodorkan keranjang kue yang terdapat tulisan "Wisconsin's Bakery". "Hai, orang Indonesia, 'kan? Ini dari orang tua gue."
Unik, Auriga justru mundur selangkah sembari melayangkan tatapan aneh. "Lo stalker?"
Jensen yang tidak mengerti bahasa Indonesia dan mulai frustasi segera menengahi, "Use English, okay? I don't know exactly what's your question, but she isn't a stalker. Pakai bahasa Inggris, oke? Aku tidak tahu persis apa pertanyaanmu, tetapi dia bukan penguntit."
Melihat air muka serius Jensen dan seringai kecil di wajah Lovarie membuat Auriga akhirnya menerima keranjang berisi kue. "Sorry, my bad. Thank you for this. Maaf, salahku. Terima kasih untuk ini," ujar Auriga sembari mengangkat keranjang.
Barulah tangan kanan Lovarie terulur. "Lovarie Wisconsin, lo bisa panggil gue Lova."
Jabat tangan terjadi. "Auriga Aprilio. Panggil apa aja asal jangan April."
Tawa kecil terdengar. Lovarie menebak, "Pasti lahir bulan April."
"I don't wanna waste my time to listen you two talk in Indonesian. Seriously, that's sounds weird in my ears. Aku tidak mau membuang waktuku untuk mendengarkan kalian bicara dalam bahasa Indonesia. Serious, itu terdengar aneh di telingaku," keluh Jensen yang lagi-lagi protes tentang bahasa.
Lovarie menyikut perut Jensen. "You must adapt and learn Indonesian. Kamu harus beradaptasi dan belajar bahasa Indonesia."
Auriga mundur dua langkah, melebarkan pintu rumahnya. "Come in and talk in living room. Take a seat, please. Mari masuk dan mengobrol di ruang tamu. Silakan duduk."
Ketiganya duduk di ruang tamu. Jensen kembali membuka percakapan. "You're moving today, but your stuffs doesn't looks at the slightest. Kamu pindah hari ini, tetapi barang-barangmu tidak terlihat sedikit pun."
"I think you two already knows that this is my uncle's home. So, yeah, this isn't my own house and I don't have too many stuffs. Aku pikir kalian sudah tahu kalau ini adalah rumah pamanku. Jadi, ya, ini bukan rumahku sendiri dan aku tidak punya banyak barang," jawab Auriga, "by the way, I don't have any drinks. Sorry. Ngomong-ngomong, aku tidak punya minuman. Maaf."
Jensen melambaikan tangan dengan bersahabat, tanda tidak perlu dirisaukan. Dia bangkit sembari berkata, "Every celebrate need some drinks. I'll bring mine. Wait a bit. Setiap perayaan membutuhkan minuman. Aku akan membawa milikku. Tunggu sebentar."
"No alcohol, Jensen! Jangan alkohol, Jensen!" seru Lovarie sembari memicingkan matanya. Sudah paham betul tabiat Jensen jika sudah menyebut kata "minuman".
Bahu Jensen terangkat. "Let's see am I have any other kind of drinks. Mari kita lihat apakah aku punya jenis minuman lain."
Kepala Lovarie menggeleng tegas. "Seriously, don't. Auriga could be wouldn't comfortable with that. Serius, jangan. Auriga bisa tidak nyaman dengan itu."
Dengan rambut pirangnya, Jensen menghela napas. Dia keluar rumah dengan wajah tidak puas. "If you say so, then welcome to the London, Auriga the Innocent Boy. Kalau kamu bilang begitu, maka selamat datang di London, Auriga si Laki-Laki Polos."
Sudah biasa dengan sikap Jensen, Lovarie hanya menarik napas sesaat. Dia melayangkan tatapan maaf pada Auriga. "Sori, dia emang gitu. Pergaulan dia enggak kekontrol."
"Enggak papa, kok. Gue open minded. Ya, paling enggak, gue bisa beradaptasi dengan sikap dan sifat orang-orang," balas Auriga, "eh, tapi serius. Gue kaget pas tau lo orang Indonesia. Muka lo bule banget, meski matanya emang kayak kebanyakan orang Asia."
Lovarie terkekeh. "Kayak lo, dong? Gue juga sempet ngira lo bule. Tampang lo lumayanlah kalo dibandingin orang lokal sini."
Auriga menatap Lovarie beberapa saat, lalu menggaruk tengkuknya sendiri. "Gue mau nanya, boleh?" Mendapat anggukan, Auriga bertanya lagi. Kali ini pertanyaan sungguhan yang muncul ketika melihat dua orang berdiri di depan pintunya tadi. "Kalian ... pacaran?"
***