Small Talk

1096 Kata
"Eh, eh, maksud gue--aduh anjir kayak orang kepo banget. Sori, Lova, skip aja," ujar Auriga gelagapan. Hening. Sedetik. Dua detik. Lovarie mengakak lebar. Tawanya kencang sampai membuat Jensen yang kembali dari rumah sambil membawa minuman pun mengernyit. "Hei, what happened? Hei, ada apa?" tanya Jensen bingung. Minuman sudah diletakkan di meja. Hanya tiga kaleng kopi dingin. Tanpa alkohol sesuai perintah Lovarie. Ketika Jensen hendak melempar sekaleng pada Auriga, lelaki itu menggeleng cepat. "Sorry, I don't drink coffee, but thanks. I'll keep it in my refrigerator. Maaf, aku tidak minum kopi, tetapi terima kasih. Aku akan simpan di kulkasku." Kernyitan di dahi Jensen makin dalam. "Are you kidding me? You don't like coffee? Bercanda? Kamu tidak suka kopi?" Kepala Auriga menggeleng. "Just don't really like. Coffee isn't my vibe, I prefer tea. Hanya tidak terlalu suka. Kopi bukan gayaku, aku lebih suka teh." "Yuhu, tea lovers! High five, Bro!" seru Lovarie sembari ber-high five dengan Auriga. Jensen berdecak heran. "Okay, now I wonder about something. Whether every Indonesian doesn't like coffee? Oke, sekarang aku bertanya-tanya tentang sesuatu.  Apakah semua orang Indonesia tidak suka kopi?" Sembari membuka kaleng kopinya dan menyeruput sedikit, Lovarie menjawab, "I think that's something normal. People has their own favorites, right? This has nothing to do with origin. Many Indonesian who loves coffee, there's prefer tea, or not of both. Kupikir itu sesuatu yang normal. Orang-orang punya favorit mereka sendiri, 'kan? Ini tidak ada hubungannya degan asal-usul. Banyak orang Indonesia yang suka kopi, ada lebih suka teh, atau tidak suka keduanya." Kepala Jensen mengangguk-angguk dan bergumam, "Hm, make sense. Hm, masuk akal." Auriga malah bertanya pada Lovarie. "Lo sendiri ngapain minum kopi? Katanya enggak suka?" Senyum Lovarie mengembang lebar. "Rezeki jangan ditolak, 'kan?" "Dasar." Auriga ikut terkekeh. "Lo belum jawab pertanyaan gue." Lovarie melirik Jensen. "He asked are we dating, Jen? Dia bertanya apa kita pacaran, Jen?" Kali ini, Jensen yang tertawa. Namun, tidak lama karena dia segera tersedak ludahnya sendiri. Setelah terbatuk-batuk, Jensen membalas, "Are we seems in love each other? Apakah kami tampak saling mencintai?" Auriga yang tidak tahu jawabannya menatap sangsi. "I don't really sure. Aku tidak yakin." Jensen merangkul leher Lovarie. "We're best friends since day one she've arrived in London three years ago. Kami adalah sahabat sejak hari pertama dia tiba di London tiga tahun lalu." "Yep, we are. Yep, benar," sahut Lovarie. Ada sesuatu yang aneh dan mengganjal, tetapi Auriga tidak yakin itu apa. Maka, dia hanya membulatkan mulut. "O, okay. Then recruit me too! I wanna be your best friends. O, oke. Lalu rekrut aku juga! Aku mau jadi sahabat kalian." Rangkulan di leher Lovarie sudah lepas. Jensen mengusap-usap dahu dan menatap Auriga dari atas sampai bawah. Lovarie pun sama, dia bersedekap d**a. Auriga menelan ludah karena gugup dan bingung. "It takes a little while along should through many test and questions. Are you sure wanna join us? Butuh sedikit waktu dengan melewati banyak tes dan pertanyaan. Kamu yakin mau bergabung dengan kami?" Pertanyaan Jensen membuat Lovarie menabok lengannya. "We have to make tension, but not like that! You are a drama king! Kita harus membuat ketegangan, tetapi bukan seperti itu! Kamu raja drama!" Raut serius di wajah Jensen hilang. Berganti senyum lebar. "Hehe, are you a little bit scared, Auriga? Hehe, apakah kamu sedikit takut, Auriga?" Auriga tertawa kecil. "Nope. I knew you two just acting. Tidak. Aku tahu kalian hanya pura-pura." "Tau dari mana?" sahut Lovarie. "Basic keluarga gue psikolog. Enggak susah buat bedain. Gue udah belajar baca gestur manusia." Lovarie menyeruput kopinya lagi. "Wih, keren. Gue kira lo anak ekonomi, bisnis, atau hukum gitu. Ternyata anak psikolog." Alis Auriga yang cukup tebal mengerut. "Kenapa nebak gitu?" "Tampilan lo rapi banget." Auriga jadi menilik penampilannya sendiri. Celana panjang bahan warna hitam, kemeja putih panjang yang lengannya digulung sebahu, serta sepatu kets putih. "Well, gue rasa sedikit. Lebih mirip SPB (Sales Promotion Boy) yang jual kosmetik di mall, ya?" Lovarie tertawa ngakak. Kopinya sampai tumpah sedikit karena terguncang. Dia menambahi, "No, no. Lo kayak sales rokok!" Kini, dua remaja Indonesia itulah yang tertawa bersama. Meninggalkan Jensen yang diam menonton dengan wajah tertekuk karena tidak tahu pembicaraan. Lovarie sampai memegangi perut dan mengusap matanya yang berair. "Seriously, I'll leave now if you don't tell me what just happened and what are you laughing for. Serius, aku akan pergi sekarang kalau kalian tidak memberitahuku apa yang terjadi dan apa yang kalian tertawakan," ucap Jensen keki. Baik Lovarie maupun Auriga sama-sama menetralkan napas. Lovarie pun menjelaskan apa yang mereka bicarakan. Jensen mengangguk paham. "So, we gonna study at the same college? Jadi, kita akan belajar di kampus yang sama?" tanya Jensen. Auriga mengangguk. "I'm at psychology. And you two? Aku di psikologi. Kalian berdua?" Lovarie menunjuk diri sendiri. "Mine is business management. Uh, boring as hell. Punyaku manajemen bisnis. Aduh, membosankan sekali." Jensen mengatakan, "As a high school musical graduate, of course I choose music. Sebagai lulusan sekolah musik, tentu aku memilih jurusan musik." "I thought you're an artist, Lova. Kupikir kamu seniman, Lova," kata Auriga sembari menunjuk cipratan cat minyak di baju Lovarie. "Yeah, she's so talented, but hm ... something's going wrong. Ya, dia sangat berbakat, tetapi hm ... ada sesuatu yang salah," timpal Jensen. Meski tidak tahu persis, tampaknya Auriga paham. Dia mengangguk sekilas. "Sori, gue emang kepo banget jadi orang." Lovarie menggeleng kecil. "Santai." Jensen menepuk jidatnya setelah melihat jam dinding di ruang tamu. "Oh my God! I forgot I have to perform! My band must have been waiting. Sorry, but I have to go. It's nice to meet you, Auriga. Ya Tuhan! Aku lupa harus tampil! Bandku pasti sudah menunggu. Maaf, tetapi saya harus pergi. Senang bertemu denganmu, Auriga." Sembari melambaikan tangan, Jensen buru-buru keluar rumah Auriga. Lovarie meringis melihat tingkah sahabatnya. "Duh, sori, Jensen emang seenaknya. Jangan kapok ketemu dia, ya. Gitu-gitu dia temen yang baik." Auriga mengangguk takzim. "Tenang aja, temen gue di Indo modelannya juga enggak jauh beda." Lovarie bangkit dan berkata, "Kayaknya gue juga mau balik, deh. Lo pasti capek abis naik pesawat. Kalo butuh apa-apa panggil aja, ya. Kamar gue ada di lantai atas, kalo enggak salah jendelanya sebelahan sama punya lo." "Okay. Makasih kuenya, Lova." "Itu baru satu. Besok-besok pasti mama bikinin banyak kue buat lo. Dia suka banget sama hal gituan. Jangan heran kalo tiap hari ada bau kue." Auriga tersenyum dan memegangi gagang pintu. "Kayaknya hidup baru gue di London enggak seburuk yang dikira. Tetangga gue baik semua." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN