Tanpa menjawab pertanyaan Pak dosen yang menyebalkan ini. Aku mendongak ke atas lalu memukul balon air yang menggantung di atas kepala sekuat tenaga. Otomatis itu air langsung mengguyur tubuh pacar Pak Alvin.
"Arghh, Sayang. Bajuku basah!" pekiknya.
Aku mengerlingkan mata sambil memeletkan lidah. Lantas aku balik badan, tetapi tangan kekar mencengkram erat lenganku. Jelas sekali dari nada suaranya ada nada marah. "Minta maaf, nggak? Malah kamu basahi Asana!"
"Apa? Sasa. Nama pacar Pak Alvin Sasa mecin," ejekku sambil berbalik badan dan kami pun berhadapan.
"Hai, namaku Asana, bukan Sasa!" protes si wanita yang bajunya basah kuyup tepat berdiri di samping Pak Alvin.
"Aku nggak peduli. Namamu mau Sasa atau Sisi atau Soso. Intinya aku nggak akan minta maaf karena aku itu nggak salah." Aku menjelaskan ini agar wanita itu tidak sombong dan arogan.
Rupanya aku berucap seperti itu. Kemungkinan membuat wanita kucir satu tersebut marah tampak sekali mendelik karena kulihat dia memutar bola matanya sebal.
"Sayang, aku mau ganti baju dulu. Kamu datang ke vila aja."
"Oke, saya akan ke sana."
Kemudian pacar Pak Alvin yang bernama Asana balik badan dan berjalan lebar dengan langkah terburu-buru. Kulihat sampai dia menghilang dari pandangan. Pandanganku masih mengedar sekelilingnya, ternyata memang vila Marini juga tidak begitu jauh dengan tempat di mana acara ini berlangsung.
Aku termenung berpikir sejenak. Adiba dan Marini serta Ibu mengajakku ke tempat yang sama tidak jauh dengan acara kampus di dekat air terjun.
Sontak aku merasakan sakit di bagian lengan, membuyarkan lamunan. Rupanya Pak Alvin dengan sorot mata tajam menambah tekanan cengkraman tangannya. Jelas di depan mataku.
"Aduh, Pak. Sakit tau, nggak bisa halus sama sekali."
"Sakit, minta maaf dulu sama pacar saya."
"Nggak mau. Jadi Pak Alvin bawa saya ke sini mau beri pelajaran apa?"
"Oh, kamu mau diberi pelajaran, nantangin."
Aku memicingkan mata saat Pak Alvin menyeretku ke salah satu tenda. Lalu dia mendorongku masuk ke tenda itu. Spontan aku pun terjatuh dan langsung pasang mode waspada.
Tampak Pak Alvin tersenyum lebar lalu dia pun menyodorkan aku kostum squid game berwarna oranye dan kuning cerah mencolok. Jelas aku tercengang melihat kostum squid game itu.
"Apa ini?" cetusku judes.
"Bisa lihat nggak itu apa?"
"Kamu mau aku pakai baju ini?"
"Iya, pakai. Dan kamu berlari tujuh keliling. Mengelilingi tenda kami. Lalu kamu jaga di luar nggak boleh tidur. Itu pelajaran pertama agar kamu bisa tahu sopan santun. Apa kamu mau saya ajarkan pelajaran yang lain?" Pak Alvin menarik tubuhku dan sontak aku pun masuk ke pelukannya. Otomatis aku menghirup aroma parfum maskulin menguar kuat. Hidungku menempel di dadaa bidangnya. Aku terpaku saat menciium aroma parfum ini seperti Fahri. Oh, ya Tuhan. Aku rindu Fahri.
Getaran jantungku seperti cepat. Aku memejamkan mata membeku dan tak menyadari bahwa ada sesuatu yang ingin kulampiaskan. Tingginya yang lebih tinggi dariku yang membuat aku sejajar dengan dadaa bidangnya dan dapat kudengar detak jantung Pak Alvin kemungkinan tengah berdendang ria.
"Betah saya peluk?" bisiknya.
Otomatis aku pun mengurai pelukannya dan mulai gugup sambil meremas-remas kostum squid game. Aku pun menunduk menyembunyikan perasaan yang bergejolak karena rindu yang membuncah hebat.
"Baru dipeluk aja udah kayak patung."
"Jangan messum!" bentakku sambil mengangkat wajah. Aku baru menyadari bahwa Pak Alvin ini ingin menyebarkan benih ke aku. Langsung aku menutup bagian depanku dengan kostum squid game.
"Kamu tadi pelukku. Aset gunung kembarku ternoda nempel ama Pak Alvin."
Brett!
Kentutku kembali membahana besar sekali dengan baunya jangan ditanya lagi. Tut, ngapain keluar di waktu yang tidak tepat? Aku garuk-garuk kepala menatap Pak dosen sambil tersenyum getir. Jelas malu sekali, bisa-bisanya ini kentut mau keluar tidak izin dulu. Rasanya itu kuingin menghilang dari depan kakak ipar yang menyebalkan. Tadinya mau marah-marah jadinya aku itu seperti kerupuk yang disiram air panas, menciut.
"Hemz, baru nempel. Belum saya pegang, lain kali itu kentut sekolahin. Saya itu dosenmu,"jawabnya singkat memasang wajah datar dan tegas dengan rahang yang kokoh dengan jarinya menutup hidung.
Menyebalkan sekali, mendengar ucapan dia. Pak Alvin di depanku masih berdiri tegak dan menutup hidung.
"Cepat ganti bajunya atau kamu mau saya beri hukuman di ranjang?"
Apa? Dosen ini otaknya kotor sekali. Ingin rasanya kusapu dan kubersihkan pikiran dia agar positif. Lekas aku mengendikkan bahu sembari menjawab, "Aku pakai kostum squid game aja, Pak. Mendingan bergadang diciuum nyamuk daripada harus diciuum, Pak Alvin."
"Nah, jadi kamu memilih mau sama nyamuk." Lelaki itu mengukir senyum lalu dia balik kanan dan beranjak keluar dari tenda.
Sambil membuang napas panjang. Aku pun mematuhi perintah Pak Alvin. Langsung kubuka baju dan mengganti kostum squid game. Dia kira aku ini cabe-cabean pakai baju seperti ini di atas lutut. Menyebalkan.
Lantas aku keluar dari tenda. Benar dugaanku. Aku merasakan semua mata menatapku tajam dengan pakaianku yang aneh. Aku memastikan lagi, sambil mengedarkan pandangannya juga.
Terdengar suara gelak tawa dengan disusul ejekan. "Miss kentut, tiang bendera!"
"Miss kentut, tiang bendera!"
Begitu yang kudengar. Teman-temanku tidak ada akhlak. Mereka anggap aku itu boneka squid game. Asem, malam cepat berlalu. Aku enggan di sini.
"Bagaimana, Bella? Asyik nggak bajunya?"
Kulirik Pak Alvin yang tengah tertawa renyah. Lelaki itu menutupi mulutnya dengan tangannya. Senang banget lihat orang menderita.
"Lari!" perintahnya.
Tanpa protes lagi. Aku mengangguk pelan lalu langsung berlari keliling. Ini terbalik, sungguh terbalik. Kalau di filem orang-orang yang berlari. Eh, malah aku yang berlari mengelilingi tenda. Napasku tersengal dan sudah memburu setelah enam putaran. Sampai di tujuh putaran, kedua kaki seperti lemas. Akhirnya, aku luruh juga jatuh dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh.
"Minum dulu!" Sebuah tangan kekar sudah tepat berada di depan mukaku.
Jelas kutolak setelah melihat orang yang menyodorkan botol mineral.
"Aku nggak haus."
"Beneran, nggak haus."
"Iya, Pak."
"Baiklah kalau begitu, saya aja yang minum."
Bisa-bisanya Pak Alvin duduk di depanku sambil kedua kakinya selonjoran dan dia langsung meneguk air botol mineral itu.
Aku hanya menelan ludah sambil buang muka. Bereengsek emang, nih. Punya kakak ipar otaknya kebanyakan digadaikan di pegadaian.
"Katanya tadi nawarin. Tapi, malah diminum!"
"Kamu protes?" Pak Alvin mencondongkan tubuhnya lalu dia menyodorkan botol mineral itu. Jelas di depan muka, kami sangat dekat tanpa sekat.
Mau mengambil aku malu. Padahal sudah haus sekali. Aku pun mendelik sambil memeletkan lidah. Tiba-tiba air yang di botol itu langsung masuk ke tenggorokanku karena itu botol ada di depan bibirku.
"Wah, kita secara tak langsung udah ciumaaan!" seru Pak Alvin terkekeh kecil lalu dia berdiri. Berjalan lebar beranjak pergi dan menjauh dari pandanganku.
Sementara aku masih duduk membeku dengan raut wajah kesal. "Awas, yah! Kalau kayak gitu lagi. Aku pastikan rudalmu kukeringkan jadi kerupuk!" teriakku berharap kalau Pak Alvin mendengar celotehan geramku ini.
*
Acara kampus pun selesai dengan lancar dan sukses. Aku bisa mengikuti dengan bernapas lega. Pasca kejadian semalam Pak Alvin tidak menggangguku lagi. Setidaknya aku bisa bebas dan bisa mengikuti kegiatan acara sampai selesai.
Berhubung villa yang ditempati Ibu berdampingan dengan pacar Pak Alvin. Otomatis setiap aku ke villa pasti berpapasan dengan Pak Alvin yang keluar dari villa itu. Aku tak pernah peduli apa yang dilakukan oleh dosen galak itu dengan Asana.
Menjelang sore, aku yang tengah menikmati udara segar di teras Villa. Tiba-tiba saja mendengar suara Ibu yang memanggilku.
"Bella, sini!"
"Iya, Bu. Kenapa?" Aku langsung balik badan dan melangkah lebar mendekati Ibu yang berdiri di depan pintu dengan tatapan berbinar.
"Sini, Ibu mau bicara." Ibu pun menarik tanganku.
Lalu kami duduk di ruang tamu. Di sana juga ada Marini dan Adiba. Aku sedikit terkejut melihat mereka berdua mendadak pucat.
"Ada apa ini?" tanyaku keheranan sambil mengeluarkan gas alami. Aku merasa tidak enak hati. Sebenarnya apa yang mau Ibu ucapkan?
"Belaaaa, bisa nggak kalau ngomong jangan bawa kentut!" protes Marini sambil tutup hidung.
"Oke, sorry. Udah nggak bisa nahan." Aku memberikan alasan sambil terkekeh. Ditambah semalam aku kebanyakan makan, belum dapat panggilan darurat ke kamar mandi. Gara-gara makan sambal kentutku menjadi kerap bunyi seperti ini tiap tiga puluh menit sekali, bila dihitung.
"Ibu Fahri mau bertemu. Katanya ada yang mau dibicarakan."
Sontak aku termenung mencerna ucapan Ibu. "Bertemu, emangnya ada apa?"