Hari yang Berat

1139 Kata
Aku termenung mencerna ucapan Ibu. Bertanya-tanya Ibu Fahri mau apa sebenarnya? Tidak biasanya seperti ini. Raut wajah Ibu juga sumringah sekali. "Apa pun itu kamu pasti akan senang dengarnya." Begitu kata Ibu yang membuatku semakin tertegun. "Nikmati aja, Bella," seloroh Marini sambil menepuk punggung tanganku. "Nikmati apanya?" Aku memutar bola mata malas. "Nikmati legowo jangan terlarut oleh kesedihan dan apalagi mengurung diri dari dunia luar. Itu salah besar, bukannya merasakan kebahagiaan justru akan sembuh terpuruk," imbuh Ibu. Aku yakin seratus persen ini Ibu menyindir. Saking malasnya mendengar ceramah Ibu yang tiba-tiba membahas soal move on. Lantas aku berdiri sambil mengibaskan rambut. "Kita kapan pulang dari sini?" "Nanti sore. Kamu nggak mau ngambil foto di Curug," jawab Marini singkat. "Nggak ah, malas." Semenjak Fahri tidak ada. Kehidupanku menjadi hitam, tidak ada lagi pelangi. Aku pun beranjak keluar ingin menikmati angin luar. Lebih baik aku jalan-jalan mengambil pemandangan dengan bidikan kamera yang kubawa. Aku pun tidak menyangka akan melihat pemandangan yang membuatku terlonjak kaget saat aku menyelusuri jalan setapak yang di sana ada rumah warga yang letaknya tidak begitu jauh dari villa yang kutempati. Bukan karena melihat rumah warga, tetapi kulihat ada Pak Alvin yang tengah membagi-bagikan sembako dengan wajah ramah dan sumringah. Apa aku salah melihat? Dosenku yang galak dan dingin itu. Saat di depan anak-anak yang tinggal di kampung tersebut begitu manis sambil membagikan tas sekolah dan amplop putih yang dia keluarkan dari tas pinggang pria. Ada acara apa ini? Dia rupanya seorang dermawan. Di bawah pohon nan rindang. Aku bersembunyi di balik pohon dengan diam-diam tanganku ini jahil ingin membidik kamera dan mengabadikan yang Pak Alvin lakukan. Aku membuang napas kasar saat objek yang kubidik kamera sedari tadi hilang di depan mata. Ah, ke mana Pak Alvin ini? Menghilang seperti jin. "Kamu ngapain ngintip-ngintip?" Ya salam, suara Pak Alvin kok, bisa ada di belakang. Aku pun langsung putar badan dan garuk-garuk kepala. "Siapa yang mengintip?" "Kamu menguntit?" Pak Alvin memicingkan mata tajam. "Ngapain ngikutin kamu?" elakku sambil mencebik. "Buktinya kamu pegang kamera itu. Jangan sampai kamu sebar apa yang tadi kamu lihat?" Ah, apa aku tidak salah mendengar? Baru pertama kali, menemukan orang semacam Pak Alvin. "Emangnya kenapa, Pak?" Duh, ini mulut tidak ada akhlak berani melontarkan pertanyaan. Otomatis aku tepuk mulutku sendiri. "Nanti kamu sebar gosip lagi. Anak-anak itu anak saya," tandasnya. Aku pun memutar bola mata malas. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu. "Maaf, Pak. Saya itu." Jawabanku terjeda. Sialan, gas alami kembali keluar. Aku pun langsung berlari menghindar. Ini sudah ke sekian kalinya aku kentut di depan dosen sekaligus kakak ipar. "Hai, Bella. Saya belum selesai ngomong!" Jelas terdengar suara bariton itu menyapa indra pendengaranku. Sambil berlari dan aku menoleh sembari menjawab, "Pak, aku mau pup dulu. Nanti dilanjut kalau kita bertemu." "Bella, dasar tukang kentut!" Masih jelas aku dengar sayup-sayup suara Pak Alvin terbawa angin. Ah, aku tidak peduli dengan ocehan dia. Lebih penting saat ini juga aku membutuhkan toilet. * Esok harinya, di rumah. Matahari sangat terik menyelusup masuk pelan-pelan. Hari apa ini? Rasanya aku seperti menginjak tanaman kaktus terlalu sakit untuk diungkapkan. Lebih baik aku mati! Begitulah kata-kata yang ingin kulontarkan saat mendengar permintaan mertuaku yang memiliki sorot mata teduh. Tangannya pun masih meremas-remas jari-jari lentikku. Namun, kalimat itu masih bergumam di dalam hatiku saja. “Bagaimana, Neng? Mau ‘kan menikah dengan si Aa Alvin,” ucapnya mengulang kembali permintaannya. Dia adalah wanita yang melahirkan suamiku. Suasana menjadi hening seketika itu juga. Kutatap lamat-lamat satu-persatu orang yang ada di sekitarku. Ada Ibu dan kedua mertuaku serta ada dua sahabatku yang ingin menjadi saksi. Tepat di depanku ada Pak Alvin dari penampilannya sungguh tampan nan rupawan. Namun sayangnya, dia terkenal pecinta wanita lebih tepatnya penjahat kelamin dari segilintir orang di sekitarku yang pernah membicarakannya di depanku. Kucoba menjawab setelah sekian detik mengumpulkan keberanian untuk membuka suara, “Kuburan Aa Fahri masih basah. Mana mungkin saya menikah dengan Pak Alvin. Dia itu kakak ipar saya.” “Neng, kita tinggal melanjutkan saja. Lagipula pernikahanmu dengan Fahri belum sampai ke malam pengantin. Kami hanya ingin menimang cucu yang comel. Kami ingin bermain dengan cucu.” Aku terbelalak saat mencerna jawaban dari Zulaiha---mertuaku. “Neng Bella, Ibu mohon,” tandasnya seraya tangannya bersedekap di depan dadaa. Kulihat sendu mertuaku. “Saya akan membahagiakanmu,” sambung Pak Alvin yang tiba-tiba berlutut di depanku. Apa ini? Dia mendadak manis sekali. Aku terbelalak dia ada di depanku. Kulihat lamat-lamat sorot matanya tampak tersirat seperti ada ketulusan, itu hanya dugaanku saja. Orang semacam dia tidak bisa dipegang omongannya, menurut sebagian yang sudah mengenal Pak Alvin. “Maaf, saya tak mau,” balasku sambil berdiri dan memasang wajah judes. “Saya tak mau naik ranjang,” lanjutku sembari berbalik badan dan beranjak keluar dari ruang tamu. Aku memilih berdiam diri di teras rumah untuk menghirup udara segar. Ingin menenangkan pikiran dengan menghibur diri sendiri. Rongga dadaku sedari tadi terasa kehilangan pasokan oksigen kala mendengar permintaan mertuaku dan ibuku. Kenapa mereka mendesakku menikah dengan Pak Alvin? Haruskah aku menikah dengan Pak Alvin, demi kebahagiaan mereka? Sebelumnya aku mendengar kata-kata Ibu yang masih basah kuingat yaitu menikah lagi, baik untuk mengusir sunyi dan agar aku tak banyak melamun. Bila ditanya tentang sunyi. Tidak usah lagi kujabarkan bagaimana rasa sunyi ini memenjarakan hatiku yang seperti ada nama Fahri di setiap aliran darah ini dan membuat hari-hariku kelabu dan sangat abu-abu sekali. Kubiarkan angin sore membelai helaian rambutku. Kuembuskan napas panjang. Ada sesuatu yang menyentuh pundakku. Spontan kulirik ternyata tangan Ibuku. Dia melempar senyum sembari berbisik lirih, “Menikahlah dengan Aa Alvin ini demi amanat Fahri.” Degh! Jantungku seakan mencelos dari tempatnya. Usai mencerna ucapan Ibu. Dia orang pertama yang terus mendesakku agar menerima Pak Alvin Sandjaya. "Apa ini, Bu? Nggak mungkin Fahri memberikan amanat seperti itu," tandasku tegas tidak terima. "Ibu nggak bohong. Kamu bisa tanyakan ini pada Pak Alvin," jelas Ibu sambil membelai lembut rambutku. "Pak Alvin. Pasti itu hanya akal-akalan dia, Bu. Kenapa dia berkata seperti itu? Pasti dia punya rencana lain. Kami itu kalau di kampus kayak Tom and Jerry, Bu," protesku sambil melipat kedua tangan. "Pokoknya Ibu mau kamu menikah dengan Pak Alvin. Tak boleh debat lagi di dalam." Tubuhku terasa mengambang, lalu merosot ke bawah. Mengutuk diriku sendiri. Tidak mungkin, Fahri memberikan amanat naik ranjang. Aku harus menikah dengan lelaki playboy cap badak bercula dua. Oh, semesta begitu jahat mempermainkan kehidupanku ini. Menjadi seorang janda itu takdir, tetapi kenapa aku harus juga menerima takdir naik ranjang dengan kakak iparku sendiri. "Bella, bagaimana?" Suara Ibu mertua menyapa indra pendengaran. Aku mau tidak mau menoleh dengan wajah sayu dan Ibu pun ikut membantuku agar berdiri. "Bella, ayo masuk!" Tuhan, aku harus bagaimana? Sementara Ibu dan mertuaku seperti mendorongku agar masuk ke dalam pelukan kakak iparku sendiri. Aku tidak pernah mencintai lelaki sombong dan pemain wanita seperti Pak Alvin. Lantas aku pun tersenyum getir sambil melangkahkan kakiku kembali masuk ke dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN