Keributan tentang penamparan Risma terhadap Yulia pun menjadi bahan perbincangan di tempat kerja. Mereka sangat menyayangkan Tindakan Risma yang tentu saja akan berbutut panjang dan merugikan Risma. Apalagi sampai saat ini Yulia masuh belum kembali ke mejanya, dan tentu saja semua sudah menduga, kalau Yulia sudang mengadukan permasalahan ini pada Baroto pamanya.
“ Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Yulia, Ris?” tanya Nurita yang merasa heran, karena semua orang merasa perhatiannya tertuju pada Risma, dan juga Nurita mendengar kalau ada kejadian besar di kantin tadi pas makan siang.
“ Aku menampar mulut kotornya si Yulia. Habisnya dia menganggak kalau aku ini cewek murahan makanya aku di talak oleh mantan suamiku,” jelas Risma sambil kembali menjalankan mesin jahitnya.
“ Astaga, pantesan perempuan itu belum masuk lagi, sepertinya sedang mengadukan hal itu pada omnya. Dasar tukang ngadu,” desis Nurita sambil mencibir.
“ Kamu seharusnya tidak melakukan itu pada Yulia, Ris. Karena akibatnya akan fatal buat kamu, dan sudah pasti pak Baroto akan memecat kamu,” ucap Fitri mengkhawatirkan nasib Risma, yang kembali mengambil lembaran kain untuk dijahit.
“ Ngomong – ngomong, tadi anakmu hampir tertabrak ya, Ris?” tanya Dewi yang juga satu grup dengan Risma dan mejanya ada dihadapan Risma.
“ Masa! Beneran, Ris?” tanya Nurita yang memang tidak mengetahui kejadian yang terjadi di kantin tadi.
Risma mengagguk sambil berkata, “ Benar, bahkan yang hampir menabrak Alkema dan aku adalah pak Donni.”
“ Ya Allah Risma, apa Anakmu gak apa – apa? Terus pak Donni tahu kalau Alkema itu anak kamu?” tanya Fitri.
“ Tentu saja, karena aku jujur mengatakan kalau Alkema itu adalah anakku,” jawab Risma santai.
“ Terus, reaksi pak Donni seperti apa? Apakah dia marah saat tahu ada karyawan pabrik yang membawa anaknya ketempat kerja?” Risma hanya menggeleng menjawab pertanyaan Nurita.
“ Tidak, pak Donni malah bilang, lain kali jaga anaknya baik – baik,” jawab Risma.
“ Jangan banyak ngobrol, kembali kerja,” ucap Beni yang berdiri disamping Risma. “ Ris, kamu disuruh keruangan pak Baroto.”
Semua terkejut mendengar kalau Risma dipanggil Baroto. Dan tentu saja semua mengetahui, mungkin ini adalah buntut dari tamparan Risma terhadap Yulia tadi dikantin. Semua sudah bisa menduga apa yang akan terjadi pada Risma. Tentu saja pemecatan yang akan dilakukan oleh Baroto. Karena walau bagaimana pun juga Yulia adalah keponakannya dan sudah pasti akan dibela oleh Baroto.
Risma hanya mengangguk, lalu berdiri dan berjalan keluar dari ruang produksi menuju kantor utama pabrik, sambil di antar tatapan banyak orang yang merasa kasihan terhadap Risma yang mungkin hari ini, hari terakhir dirinya bekerja di Gramenda Garment. Pabrik yang berada dibawah naungan dari Kharisma Grup milik mantan suaminya, walau pun Risma juga tidak pernah mengetahuinya.
Sesampainya didepan pintu ruangan Baroto, Risma langsung mengetuk pintu.
Tok Tok Tok
“ Masuk,” jawab seseorang dari dalam.
Risma pun segera masuk dan berjalan menghampiri Baroto yang tengah menatapnya dengan tajam. Tampak kemarahan diraut wajahnya, mungkin karena aduan Yulia yang membuat Baroto terhasut dengan omongan keponakannya itu.
“ Kamu tahu kenapa dipanggil kemari?” Risma menggelengkan kepala dengan pandangan terus menatap pria paruh baya yang mengenakan jasa hitam dan duduk dihadapannya.
Risma sudah bisa menduga, kalau laki – laki yang ada dihadapannya itu adalah Baroto, kepala Personalia sekaligus pamannya Yulia.
“ Apa yang kamu lakukan sudah keterlaluan, membuat keributan di kantin, menampar salah satu karyawan terbaik, dan membawa anak ketempat kerja, itu semua tidak bisa ditolerir. Kamu dipecat!” Risma hanya terdiam mendengarkan perkataan Baroto yang menganggap kalau kejadian tadi adalah murni kesalahannya hingga dirinya dipecat dari pekerjaan, dan bukan karena mulut Yulia yang memang tidak dijaga.
Risma hendak menjawab pertanyaan Baroto. Namun tiba – tiba,
Plakkk
Satu tamparan mendarat di pipinya. Sakit panas yang dirasakan Risma saat itu. tamparan keras dari Yulia tepat mengenai pipinya sebelah kiri. Risma pun memegangi pipinya, dan matanya melotot kearah Yulia dengan tajam.
“ Apa lihat – lihat? Itu balasan atas tamparan kamu tadi. Sekarang kamu mau apa? Mau membalas lagi? Ayo, ayo tampar lagi, dan kamu akan mendapatkan balasan lebih dari ini,” bentak Yulia sambil mengancam.
Risma mengangkat wajahnya, lalu menatap wajah Baroto yang hanya tersenyum melihat kejadian itu. “ Ini cara kerja bapak? Membiarkan keributan terjadi diruangan bapak sendiri? Sementara saya yang hanya membela harga diri dan dilakukan diluar jam kerja, bapak merasa saya sudah melanggar? Tapi, kenapa bapak tidak menindak Yulia dan memecatnya juga? Apa karena Yulia adalah keponakan bapak?” Risma seketika tersulut amarahnya.
“ Diam! Kamu tidak ada hak untuk protes, itu adalah balasan bagi kamu yang sudah kurang ajar pada keponakan saya. Sekarang kamu pergi dari pabrik ini, dan gak usah kembali lagi, karena kamu sudah saya pecat,” bentak Baroto sambil menunjuk kearah pintu keluar.
Risma hanya bisa terdiam tidak berkata lagi, mungkin tidak ada gunanya bagi Risma untuk melawan. Karena bagaimana pun juga Baroto adalah atasannya, dan tentu saja tidak akan ada yang membela dirinya jika melawan pun.
Risma berjalan sambil memegang pipinya, ingin rasanya Risma membalas tamparan itu, tapi sayang, diruangan itu ada CCTV yang akan merekam setiap kejadian, dan bisa saja Baroto akan menggunakannya untuk melaporkan Risma ke Polisi dengan tuduhan penganiayaan. Makanya Risma memilih untuk diam tidak membalas tamparan Yulia.
Risma kembali ketempat kerja untuk mengambil tas dan mematikan mesin jahit, dan setelah itu berjalan keluar dari tempat itu, diantar tatapan sedih semua karyawan yang sudah tahu kalau Risma pasti dipecat dari pekerjaanya.
Tanpa ada kata – kata dari semuanya, Risma keluar menuju kantin untuk menjemput Alkema.
“ Kamu kenapa sudah mau pulang, Ris?” tanya umi Sondari.
“ Risma dipecar, umi. Kejadian tadi siang itu ternyata diadukan Yulia sama pak Baroto,” jawab Risma sambil hendak menggendong Alkema.
“ Terus, itu pipi kenapa merah dan agak sedikit bengkak? Apa yang sudah terjadi?” tanya umi Sondari.
“ Risma ditampar Yulia tadi diruangan pak Baroto, dan pak Baroto hanya diam saja membiarkan hal itu terjadi.” Mendengar perkataan Risma, umi Sondari terlihat kesal. Bagaimana bisa seorang pimpinan membiarkan seseorang melakukan pemukulan didepannya.
“ Kalau begitu, Risma mau pulang duluan Umi, maaf tidak bisa bantuin umi dulu sehari ini.” Umi Sondari hanya mengangguk, sementara Risma menggandeng tangan Alkema berjalan keluar dari kantin umi Sondari,
Sesampainya diluar gerbang, Risma pun segera menaiki angkutan umum untuk pulang. Hatinya sedang bingung, karena baru saja dipecat dari pekerjaanya. ‘ Ya Allah, berikanlah hamba petunjuk agar bisa kembali mendapatkan pekerjaan biar bisa menghidupi putra hamba,’ bisiknya dalam hati yang terus berdoa memohon pada yang maha kuasa, karena hanya padanya Risna menyerahkan semua urusannya, karena hanya Allah yang pasti akan mampu memberikan pertolongan padanya.
*****
Setelah kepergian Risma, Raditya pun datang Bersama dengan Donni untuk melihat Alkema yang katanya ada di kantin umi Sondari, sementara ibunya Risma sedang bekerja.
“ Assalamualaikum,”
“ Waalaikum Salam, eh, pak Donni, apa ada yang ketinggalan?” jawab umi Sondari sambil sedikit mengeryitkan kedua Alisnya saat melihat kearah Raditya. Umi Sondari tengah berpikir, dan menoca mengingat wajah itu yang sepertinya tidak asing.
“ Kenapa, bu? Apa ada yang salah dengan teman saya?” tanya Donni sambil tersenyum.
“ Bukan, bukan begitu pak Donni, tapi wajah bapak ini, sepertinya saya pernah melihatnya, tapi dimana ya?” ucapnya sambil terus mencoba mengingat – ingat wajah Raditya yang memang sangat mirip dengan Alkema. Cuma bedanya, Raditya sudah besar sementara Alkema masih berusia tiga tahun.
“ Tentu saja bu Sondari, setiap hari juga ibu melihatnya. Seorang anak yang selalu menemani ibu di kantin, kan?” Kembali Donni tersenyu.
Mendengar perkataan Donni, umi Sondari pun baru ingat. Kalau wajahnya memang mirip dengan Alkema anaknya Risma yang sudah dianggap cucunya sendiri.
“ Oh iya, Tapi kok bisa mirip banget, atau jangan – jangan.” Umi Sondari mencoba untuk mengira – ngira.
“ Benar bu, Anak yang selalu Bersama ibu itu adalah putra saya. Sementara ibunya adalah mantan istri saya.” Umi Sondari seketika terkejut mendengar pengakuan Raditya. Umi Sondari tidak menyangka kalau mantan suaminya Risma ternyata memiliki wajah yang sangat tampan. Pantas saja Risma tidak bisa melupakannya, dan terus mencintainya sampai saat ini.
“ J-jadi, bapak ini mantan Suaminya Risma?” Raditya mengangguk sambil duduk dibangku. “ Terus, maksud kedatangan nak Adit kemari mau ketemu Alkema? Atau mau ketemu Risma?” tanyanya.
“ Dua – duanya bu. Dan kok ibu bisa tahu nama saya?” tanya Raditya.
“ Risma banyak bercerita tentang nak Adit,” jawab umi Sondari sambil duduk menghadap kearah Raditya dan Donni.
“ Jadi, ibu sudah tahu semuanya tentang apa yang sudah saya lakukan pada Risma empat tahun lalu.”
Umi Sondari mengangguk lalu menjawab, “ Tentu saja, Risma sudah menceritakan semuanya sama umi, sejak pertama kali ketemu sekitar tiga puluh enam bulan yang lalu.”
“ Saya menyesal umi, sungguh menyesal. Karena terbawa hasutan ibu tiri saya yang memang tidak menginginkan saya menikah dengan Risma, bahkan dengan Wanita manapun. Ibu tiri saya mengingankan agar saya menikahi keponakannya, agar dia mendapat bagian dari harta peninggalan Almarhum ayah saya.” Raditya menerangkan pada umi Sondari dengan wajah penuh penyesalan, dan kedua matanya berkaca – kaca menahan kesedihan.
Umi Sondari menatap wajah Raditya dan mencari kejujuran serta ketulusan dari perkataanya. Sementara Raditya menarik nafas dalam – dalam lalu membuangnya dengan kasar sambil berkata, “ Jujur saja, semenjak kejadian itu, aku sama sekali tidak Bahagia umi, setiap hari bahkan setiap detik selalu dihantui rasa bersalah. Tapi aku malu untuk mengakuinya, sehingga tidak pernah sama sekali menemui Risma semenjak malam itu.”