Enam

1974 Kata
Ardy marah! Ya siapa yang tidak marah ketika siang bolong saat dia sedang menikmati hari liburnya sendirian di rumah yang dibangun dari hasil jerih payah keringatnya berdua dengan Lea, tiba-tiba didatangi oleh petugas dari pengadilan agama. Secepat itu Lea mengurus perceraiannya, hingga baru saja beberapa hari dia meninggalkan Lea dan anak-anaknya dirumah ibu mertuanya, dia sudah mendapatkan panggilan sidang yang akan digelar minggu depan. Ardy mengurut pelipisnya kesal, baru saja dia menutup pintu rumahnya, namun seseorang tiba-tiba saja menyembul dari balik pintunya. Ya ibunya, berdandan cukup menor dengan alis yang dibentuk juga lipstik merah menyala. "Kenapa kamu? Lea belum pulang? Kan udah mama bilang dari dulu dia tuh enggak pantes buat kamu, ngapain kamu bela-belain dia, wanita ga bener itu, masa kabur-kaburan dari suami..." "Cukup Ma!" bentak Ardy dia bahkan mengepalkan tangannya keras-keras. "Tuh lihat, kamu nikah sama dia bikin sifat kamu kasar kayak gini, orangtua dibentak-bentak." Mama Ardy melipat kedua tangannya di d**a dia masih berdiri sementara Ardy yang sudah duduk di sofa pun bangkit berdiri. Wajahnya memerah karena kesal semuanya berkecamuk jadi satu. "Kalau aja mama dari dulu gak pernah jahatin dia. Mungkin rumah tangga aku masih bisa diselamatkan ma! Puas mama sekarang lihat ini?" Ardy melepaskan kertas dari pegangannya ke tubuh mamanya lalu dia keluar dari rumah sambil membanting pintunya kesal. Sementara mama Ardy membuka lipatan kertas itu dan tersenyum mendapati apa yang dia inginkan selama ini akhirnya terkabul. Sedari awal dia memang sudah menjodohkan Ardy dengan wanita lain, hal yang selalu ditolak Ardy karena lebih memilih Lea, tapi lihatlah sekarang Lea bahkan sudah meninggalkannya kan? Ardy sebenarnya berasal dari keluarga yang cukup berada, namun karena pernikahan dengan Lea tak direstui, membuat orangtuanya bahkan tak pernah sekalipun membantu mereka meskipun mereka dalam kesulitan. Padahal mama Ardy sendiri mempunyai beberapa ruko di pasar. Jelas wanita mana yang tahan di jutekin mertua terus-terusan seperti itu, ditambah sikap Ardy yang sudah keterlaluan, dan Lea meninggalkannya itu dirasa tepat. Sebelum Ardy bertindak terlalu jauh. Lain halnya dengan Lea, wanita itu siang ini sedang duduk di sebuah cafe tak jauh dari Petra FM, sedang asik menikmati secangkir kopi bermerek 'hari baik' dengan harapan siapapun yang menikmatinya akan merasakan hari yang baik. Randy berjalan dengan anggun, setelah menggoda mas penjaga stand kopi tersebut. "Til!!" teriaknya cukup keras, membuat Lea menunduk dan ingin membenamkan mukanya saja dalam gelas kopi itu kalau bisa. "Dipanggil malah nunduk nyari duit lo!" sentak Randy sambil menarik kursi dihadapan Lea dan meletakkan b****g semoknya disana. "Elo bisa gak sih manggil gue yang bener jangan tal til tal til, konotasinya negatif tau gak sih!" "Duh Cherry kaget deh Lele patil bisa marah juga sorry ya." "Cherry! Cherry? Cherrybell!" Lea menarik sudut bibirnya dengan tatapan tajam. Randy mendengus dan mengangkat bahu seolah wajar Lea seperti itu mungkin dia sedang PMS dan lelaki kemayu itu tak mau mempermasalahkannya. "Hai, udah lama?" Sapa pria tampang beranting yang kini memakai kemeja yang dilipat sampai batas siku dan celana cino berwarna krem. Tampan. Dialah Ale pria yang sejak tadi sudah mengirimi pesan kalau ingin bergabung dengan Lea dan Randy untuk makan siang bersama. "Lumayan, udah hampir habis nih kopi segelas." Lea tersenyum sementara Randy mengerling genit ke arah Ale. Ale sendiri memutuskan untuk duduk disamping Lea. "Eh Til, gue mau ke toilet bentar ya kebelet." Randy beranjak dari kursi, belum melangkah Lea sudah menarik tangannya. "Jangan lama-lama lo!" "Ish kayak gak tau aja perawan mah klo pipis lama." Randy menghempaskan tangan Lea dan berjalan cepat ke arah toilet membuat Lea dan Ale geleng-geleng gak wajar dengan sikap makhluk Tuhan yang tidak seksi satu itu. "Kok malah ngopi bukannya kesini mau makan siang?" "Ya sekalian," cengir Lea, dia memang tidak bisa lepas dari kopi instan entah sejak kapan, kopi seperti candu baginya jika tak meminum cairan itu sehari saja, kepalanya terasa cenut-cenut. Tapi jangan pikir dia menyukai kopi hitam karena dia sangat tidak tertarik dengan cairan hitam pekat tersebut. "Udah pesen makan?" Lea menggeleng, Ale pun memanggil pelayan disana dan memesan makanan untuk mereka berdua karena tidak tahu Randy ingin makan apa? Sepeninggal sang pelayan, Randy pun menghampiri mereka dengan raut khawatir yang pasti dibuat-buat. "Eh gue belum pesenin lo makan, lo mau makan apa?" tanya Lea "Duh, gue gak ikutan ya. Ada rapat dadakan nih." "Yah, gue juga balik ke kantor dong." Lea terserang panik. "Gue doang yang dipanggil pak bos, gak apa-apa gue udah siap oky jelly drink sama promagh kok di mobil hehe, duluan ya Til, Bo... eh itu Ale." Hampir saja Randy memanggil Ale dengan sebutan Bos seperti yang sering dia dan teman lainnya panggil. Ale mengangguk, "Lo entar ke kantor sama gue aja Le." Ucap Ale. Akhirnya Lea mengangguk pasrah dan melepaskan sahabatnya pergi dan mungkin tak kembali untuk hari ini. Lea melihat ke Ale yang terlihat sangat intens menatap wajahnya. Dia sudah mencoba berdehem agar Ale mengalihkan pandangannya tapi Ale masih terus memperhatikannya membuat Lea salah tingkah, karena jujur saja berduaan dengan Ale seperti ini rasanya agak canggung entah kenapa? "Jangan liatin terus entar naksir berabe lho." Cicit Lea sambil menenggak habis kopinya. Ale hanya tertawa dan berkata dalam hatinya 'udah naksir kok.' Suara hati yang mungkin tak akan diucapkannya setidaknya untuk saat ini. "Eh gue dikasih magic card sama klien gue." Ale membuka dompetnya dan mengeluarkan kartu seperti kartu ATM berwarna pink dengan tulisan Mawar Salon. "Nih buat elo aja, bisa dipake sepuasnya." Lea mengambil kartu itu memperhatikannya sejenak sambil membolak balikan, tertera angka-angka di kartu itu ya persis seperti ATM. "Ini fungsinya buat apa?" "Lo punya credit card?" Lea menggeleng dan Ale mendesah lalu menggaruk pangkal hidungnya. "Hmm, anggap ini credit card bisa digesek ke mesin p********n gak usah pake password lo bisa threatment apa aja di Mawar Salon, kapanpun dan dicabang manapun yang lo mau." Lea membelalakkan mata dan memperlakukan kartu itu dengan spesial setelah mengetahui kegunaannya. Ya sudah lama sekali sepertinya dia tidak melakukan perawatan ke salon, lihat saja kulitnya yang kusam dan seolah tidak terawat. "Jadi gue bisa ambil paket pemutih juga?" Ale mengangguk, "Warnain rambut juga bisa?" tanya Lea lagi yang dibalas anggukan lengkap dengan senyuman geli melihat Lea yang sorot matanya berubah jadi antusias. "Asik, thanks ya Al," Lea memasukan kartu itu ke dompet, bertepatan dengan pelayan yang datang membawakan makan siang mereka. Sambil menyantap makan siang Ale menanyakan proses perceraian Lea yang memang sebentar lagi akan menuju sidang pertama, percakapan berlanjut ke pekerjaan Lea, juga Ale yang menceritakan pekerjaannya sebagai fotografer. Tak sedikitpun dia menyinggung mengenai pekerjaannya yang sesungguhnya yaitu sebagai dewan direksi Radians group yang juga anak dari pemiliknya. "Hmm masalah keuangan bagaimana?" tanya Ale agak tidak enak membahas hal yang cukup sensitif tersebut. "Minggu lalu dia gajian, tapi dia bilang dia gak mau lagi kasih sepeserpun untuk anak-anak, dia kekeuh mau ambil anak-anak dari gue. Ya gue gak maulah. Biar aja gue nanti cari sampingan buat kebutuhan mereka." Hati Ale terenyuh, disaat dia yang bahkan sering bingung membelanjakan uangnya karena rekeningnya selalu terisi, di sisi lain, Lea, wanita yang ditaksirnya justru sedang bingung mencari sampingan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Dia salut dengan Lea yang tidak mengeluh meski sedang tertimpa ujian seperti ini. Jka bisa, ingin sekali Ale memberikan dana ke rekeningnya tapi dia tahu Lea pasti menolak dan tak ingin dikasihani. Karena itu cara satu-satunya adalah menawarinya pekerjaan. "Dua minggu lagi ikut pemotretan lagi mau gak?" Lea mendongak menatap mata Ale yang nampak serius. Tambahnya , "Lumayan kan uangnya buat tambahan nanti," Lea nampak berfikir. Ale meletakkan sendoknya dan meminum air mineral di hadapannya, "Baju kerja semi formal gitu cocok lah buat dipakai kerja santai seperti di kantor lo, dan... kata pemiliknya baju-baju itu nanti dihadiahin buat modelnya." "Serius?" mata Lea berbinar diangguki oleh Ale, "Beruntung banget gue kenal lo, udah dapet kartu sakti buat salon, nanti bakal dapet baju kerja plus uang pula,, asik asik. gue mau Al." "Udah makan dulu," Kekeh Ale membuat senyum Lea tak pudar dari wajahnya, hatinya tentu ikut senang bisa melihat senyum itu, senyum yang terlihat sangat tulus dan natural. Ale bahkan rela menukar apa saja demi bisa melihat senyum Lea yang seperti ini. Apa saja. *** Lea memperhatikan mobil Pajero hitam di hadapannya, baru dia membuka pintu ketika Ale sudah duduk di kursi kemudi. "Ini bukannya mobil yang dibawa ke Bandung? Ini punya lo? Gue pikir punya Erik." Lea tak menyadari raut wajah Ale yang seperti orang panik karena dia sibuk menarik seat belt untuk menjaga tubuhnya. "Hmm,, bukan ini punya bos gue. Mobil kantor." Lea hanya mengangguk sambil memperhatikan interior mobilnya yang terkesan mewah. Dia tak perduli dengan jenis mobil dan perusahaan seperti apa yang mempunyai mobil kantor bermerk Pajero? Karena pada umumnya perusahaan biasa menggunakan mobil mini bus seperti Avanza, atau Xenia dan yang setipe seperti itu, bukan mobil sport macam ini. Lea memfokuskan pandangan menatap layar yang menampilkan chat antaranya dengan ibunya, disitu ternyata Justin mengiriminya Video tentang mobil Van mewah yang menampilkan seluruh fasilitas dan kelebihan dari mobil tersebut. Justin yang memang sangat menyukai berbagai mainan dan tontonan alat transportasi itupun terlihat tertarik dan ingin menunjukkan ke mamahnya kalau ada mobil yang sangat mewah. Lea tersenyum melihat video itu tanpa disadari Ale melirik wajahnya, dan ketika lampu merah, Ale tak bisa menahan diri untuk bertanya apa yang membuat Lea tersenyum seperti itu? "Justin suka banget sama mobil, bus, pesawat ya pokoknya alat transportasi, tadi dia ngirimin Video mobil Van gitu," "Oh, pa... hmm ehem pak Bos gue punya satu, kalau mau kapan-kapan kita ajak Justin naik itu, nanti gue pinjemin." Maksudnya papanya, tapi enggak mungkin dia ngaku sekarang kan?! "Jangan jangan! Gue tau mobil kayak gitu mahal banget pasti nanti kalau lecet, gaji lo bisa dipotong." Ale hampir menyembur karena kata-kata konyol Lea barusan, dia berusaha sekuat tenaga menahan tawa. "Hmm sorry.. jadi gue itu anak kesayangan. Anak buah kesayangan maksudnya, gaji gue gak bakalan dipotong, gue jamin. Gimana?" Lea menatap langit mobil seolah berfikir, lalu dia mengangguk menyetujui ide Ale, lumayan kan bisa jalan-jalan naik mobil mewah, diambah Justin pasti senang banget mengingat dia yang terlihat murung akhir-akhir ini karena tidak bertemu ayahnya. Ya sejak hubungan mereka kandas beberapa waktu silam, Ardy tak pernah lagi mengunjungi atau sekedar menanyakan kabar tentang anak-anaknya ke Lea, Lea pun merasa belum siap menceritakan yang sebenarnya ke Justin, yang dia bisa lakukan hanyalah membujuk Justin dan Kay untuk tak terlalu mengharapkan kehadiran ayahnya saat ini, dengan berbagai alasan. *** Ale memarkirkan kendaraan tepat di depan rumah Lea, yang mana halaman depannya dipakai untuk warung kecil-kecilan ibunya. Wanita itu meminta Ale untuk duduk di teras rumah, sementara dia menyiapkan minuman. Tampaklah seorang anak berusia tujuh tahun yang meletakkan sepedanya asal di dekat mobil Ale, anak itu memutari mobil Ale sambil berdecak kagum, dengan takut-takut dia menyentuh ban mobil besar tersebut dan bertepuk tangan sendiri. Membuat perhatian Ale tak luput darinya. Lea keluar membawa secangkir teh dan biskuit, lalu meletakkan di meja depan Ale, pandangannya teralih ke arah pandangan mata Ale yang lekat menatap anak kecil. Anaknya! "Justin," panggil Lea, Justin menoleh dan tersenyum lebar. "Mamah udah pulang? Ini mobil siapa mah? Bagus banget." Justin berlarian dan langsung menghambur memeluk perut Lea. "Ini punya Omnya, kasih salam sayang." Lea mengusap rambut Justin, dan anak itu menyalami Ale dengan mencium punggung tangannya. "Jadi nama kamu Justin?" tanya Ale "Iya om, nama Om siapa?" "Nama Om Ale," Justin tertawa lalu menutup mulutnya, "Mah namanya kayak minuman ya yang dijual di warung nenek," bisik Justin namun Ale dapat mendengarnya, hingga dia merasa salah tingkah dan menyugar rambut belakangnya. "Panggil Om Al aja, biar gak kayak minuman." Kekeh Ale membuat Justin tertawa. "Sini duduk samping Om," Justin menurut dan duduk di kursi samping Ale. "Kata mamah kamu, kamu tadi kirim video mobil ya?" Justin mengangguk antusias. "Mau naik mobil itu enggak? Kalau mau besok Om bawain." "Beneran om?" mata Justin membelalak terkejut dan gembira menjadi satu. "Iya, besok ya Om janji." Ale mengusap puncak kepala Justin, dan anak kecil itu melonjak girang lalu berlarian ke dalam rumah. Membuat Lea geleng-geleng dengan tingkahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN