Lea merapikan rambutnya akibat tertekan helm melalui spion motornya. Dia sudah berada di depan cafe yang cukup terkenal di bilangan kota Jakarta. Malam ini setelah pulang kerja dia langsung berangkat ke cafe. Karena ada temu janji dengan Nathan.
Ya Nathan, kekasihnya semasa SMA, pria yang ditinggal menikah olehnya, pria yang sama yang berjanji akan menunggunya.
Dan pria itu pula yang memang tak pernah ditemuinya selama beberapa tahun terakhir. Pertemuan terakhir mereka tepat ketika Nathan pulang setelah kuliah dan tinggal di asrama di luar negeri enam tahun lalu.
Lea masih selalu teringat sorot mata penuh kekecewaan dari pria itu. Meskipun Nathan berjanji akan menunggunya tapi dia tidak pernah mengganggu hubungan Lea dengan suaminya.
Terkadang ada suatu waktu mereka terlibat satu obrolan dan selalu saja Lea memintanya untuk menikah dengan wanita lain dan melanjutkan hidupnya sendiri dengan bahagia.
Hal yang selalu tak ingin dibahas oleh Nathan, karena baginya hati dia seutuhnya milik Lea, kala itu.
Pesan terakhir mereka terjadi enam bulan lalu dengan permintaan yang sama dari Lea. Dan setelahnya mereka seakan putus hubungan. Lea menghapus kontaknya pun dengan Nathan.
Namun beberapa hari belakangan ini seseorang teman menginvite nya untuk bergabung di grup w******p alumni SMA, hal yang membuatnya kembali melihat nama Nathan. Dan menyimpan kontaknya, lalu memutuskan untuk bertemu dengan pria itu setelah sekian lama.
Sejujurnya Lea masih berharap banyak pada pria itu, pria yang pernah disakitinya. Terkadang Lea merasa kehidupan pernikahannya yang berliku dan terasa menyedihkan itu karena dia diserang karma, karma karena telah menyakiti hati Nathan.
Lea memedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe, nampak Nathan sudah duduk di pojok kafe sambil sibuk memainkan ponselnya.
Lea berdiri depan nathan dengan wajah kaku, namun Nathan segera menyambutnya dengan senyum itu, ya senyum dan sorot mata hangat yang selalu membuat Lea rindu.
"Hai udah lama?" Lea menarik kursi dan duduk disana, lalu Nathan menyodorkan segelas es coklat untuknya.
"Sepuluh menit lalu. Ada apa? Tumben kamu hubungin aku duluan?" kekeh Nathan, ditatap seperti itu sejujurnya membuat Lea salah tingkah.
"Aku.."
"Aku," ucap mereka berbarengan. Lea menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.
"Kamu duluan," ujar Nathan.
"Aku udah berpisah sama ayahnya anak-anak," Lea menggigit bibir di sela ucapannya. Alis Nathan terangkat nampak terkejut.
"Gak mungkin,"
"Apanya yang gak mungkin?"
"Maksudku,, kamu..." Nathan tergagap membuat Lea mengerutkan alisnya karena terlalu bingung dengan perubahan ekpresinya. Bukan yang seperti ini yang dia harapkan.
"Kamu belum ketuk palu kan? Belum sidang kan?" Lea menggeleng, lanjutnya, "Kalau begitu kamu urungkan niat kamu itu, kembali sama dia."
"Ya tapi kenapa?"
"Karena," Nathan nampak bimbang, dia bahkan menghela nafas frustasi.
"Than, kamu baik-baik aja kan?"
"Aku, udah ketemu perempuan yang aku cintai dan itu bikin perasaan aku ke kamu sejujurnya jadi memudar. Aku ketemu dia, Seperti yang kamu minta ke aku selama ini."
"Kamu bohong kan?" Lea memundurkan tubuhnya, membentur sandaran kursi. Lalu dia tersenyum miring.
"Ternyata memang kita enggak jodoh Than, its oke." Putus Lea, mencoba tersenyum di getir hatinya, sekarang dia tahu rasanya jadi Nathan saat itu. Saat sudah amat sangat berharap namun dihempaskan begitu saja.
"Iya, menyedihkan banget ya takdir kita."
"Aku harap kamu bahagia sama dia Than." Nathan mengangguk, tak lama Lea pamit. Awalnya Nathan ingin mengantar Lea pulang, tapi Lea menjelaskan kalau dia bawa kendaraan sendiri ke sini, membuat Nathan akhirnya hanya bisa menatapnya pasrah dan melambai dalam diam. Tertawa atas takdir yang telah mempermainkan mereka berdua.
Dan disinilah Lea sekarang, diatas sepeda motor matic butut yang selama lima tahun ini setia mengantar dirinya bekerja dan kemanapun.
Lea merentangkan tangan kirinya, berharap bahwa semilir angin dapat menerbangkan keresahan hatinya akan apa yang baru saja dia alami.
***
Setelah anak-anak pulas tertidur, Lea melihat kedua orangtuanya yang sedang menonton televisi. Tak buang waktu lama dia segera merebahkan kepalanya di pangkuan mamanya. Tangan mama terulur untuk membelai rambut anak sulungnya yang telah mempunyai dua anak dan sedang dilanda masalah tersebut.
Sementara Bapak mengambil gelas ukuran besar miliknya dan meminum teh manis yang tersedia disana.
"Sudah sampai mana proses perceraian kamu Le?" suara ibu membuat mata Lea yang tadi sempat terpejam kembali terbuka.
"Udah diurusin pengacara, aku terima beres aja."
"Kan mama udah bilang dari jauh-jauh hari sebelum pernikahan kalian dulu. Pernikahan tanpa restu itu tak akan berjalan mulus. Kamu ngeyel jadinya begini kan?" ya memang pernikahan Lea dahulu tidak direstui ibu Ardy, hal yang membuatnya sering berlaku tak sepantasnya pada Lea.
"Sudahlah Ma, sudah berlalu. Bagus Lea pisah sama dia kalau dipertahanin mau liat anak kamu pulang tinggal nama." Kali ini suara bapak yang menimpali
"Amit-amit jabang bayi, bapak kok pikirannya sampai begitu."
"Ya di depan bapak saja dia berani mau nampar Lea, bagaimana kalau dibelakang kita?" Lea menarik nafas panjang dia bangkit dari tidurnya dan berjalan ke kamar. Sudah lelah dengan semuanya ditambah mendengar perdebatan kedua orangtuanya bisa membuat moodnya semakin hancur berantakan.
"Mau kemana Le?"
"Kamar ma, tidur aku capek." Lea menutup pintu dengan pelan, lalu duduk di pojokan kamar. Tangannya terulur meraih ponsel yang barusan sempat ditinggalnya. Ada pesan dari Ale yang mengiriminya foto-foto saat di Bandung beserta meminta nomor rekening Lea karena uang yang dijanjikan sudah masuk ke rekeningnya, dari client.
Lea tersenyum menatap dirinya dalam balutan gaun nikah mahal, juga betapa bagusnya hasil jepretan Ale, sehingga dia yang wajahnya biasa-biasa saja menurutnya, bisa tampak secantik dan seprofesional itu. Tunggu saja sampai dia share foto-foto itu nanti dan sebelumnya dia memilih satu foto untuk dikirim ke Randiana a.k.a Randy sahabat gokilnya.
Dan dalam hitungan detik setelah Randy menerima foto itu, dia langsung menelepon Lea,
"Lele Patilllll..." teriaknya, memekakkan telinga Lea dan meluncurlah kata-kata ajaib dari bibir Randy yang mampu membuat Lea tersenyum bahkan tertawa. Lea merasa beruntung dipertemukan dengan Randy, sahabatnya itu, dia selalu terhibur dengan segalanya yang ada pada diri Randy. Bahkan tak pernah Randy menjudge dia atas segala yang dilakukannya.
Setelah janjian akan bergosip besok, barulah Randy memutuskan untuk menutup sambungan teleponnya. Sementara Lea terlelap setelah mengecup kedua kening buah hatinya.
***
"Gila! Elo cerai aja belum resmi udah nemuin Nathan!!" sembur Randy saat mereka berdua berada di pantry. Beruntung pagi ini masih sepi karena beberapa staff lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya.
"Gatel banget ya gue?" Lea tertunduk lesu, diaduknya kopi instan sekali seduh tersebut di dalam gelas yang baru saja dituangi air panas. Sementara matanya tak fokus. Randy mengangkat dagunya.
"Sekarang bagaimana? Dia, cowok yang bilang mau nunggu lo aja, tiba-tiba udah ada pasangan. Lo mau rebut dia dari cewek itu? Atau bagaimana?" Lea mendorong jari lentik Randy yang masih memegang dagunya, lalu dia berjalan ke arah kursi, menghempaskan bokongnya disana.
"Enggaklah, lagian dia terlalu baik buat perempuan jahat seperti gue. Gue bahkan gak pantes buat dia. See dia bekerja di instansi pemerintah, PNS gajinya gede. Keluarganya meskipun gue yakin bakalan nerima gue karena orangtuanya memang baik banget sama gue. Tetep aja pasti gak akan mudah. Gue juga gak mau dia rasain apa yang gue rasain. Menyesal dengan pernikahan kita." Lea masih mengaduk kopinya seolah gundahnya ikut tercampur disana dan meleleh bersamaan dengan air panas yang memutar itu.
"Trus lo mau balik lagi sama Ardy?"
"Enggaklah, ngaco lo!" Lea menatap Randy dengan tatapan kesal.
"Anak lo, Justice udah dikasih tau?"
"Justin!" sengit Lea, "Yah itulah namanya," Randy menyahut malas. Sementara Lea sebal dengan Randy yang seenaknya mengganti nama orang dia pikir anaknya Avenger apa? Justice League gitu?
"Udah, gue jelasin pelan-pelan dia sih keliatan sedih tapi mau gimana lagi, bisa karena terbiasa. Gue yakin lama-lama dia bisa."
"Sabar ya Til," Randy mengusap bahu Lea, yang dibalas Lea dengan hempasan nafas panjangnya. Lalu dia memilih larut pada minuman di gelasnya.
Sementara Randy sibuk menggeser layar handphonenya yang menampilkan akun Ale dengan banyak foto Lea di dalamnya. Foto yang sama yang ada di galeri handphone Lea.
"Lo udah follow IG Ale?" Lea menggeleng, ya dia memang jarang sekali menggunakan i********: paling jika sedang iseng aja. Tidak seperti Randy yang kesehariannya lebih sering nongkrong di IG dibandingkan di toilet.
Randy mengambil ponsel Lea dan membuka akun i********:, dilihatnya notice dari dua hari lalu kalau Ale, Niko dan Eric sudah memfollownya diapun mengklik pilihan 'ikuti' tanda Lea juga mengikuti akun mereka.
Tak butuh waktu lama, semenjak Ale men-tag akun Lea membuat follower Lea semakin bertambah bahkan dalam hitungan hari saja sudah bertambah ratusan orang. Karena akun Ale memang cukup terkenal apalagi foto-foto yang diambilnya sangat bagus. Dan jika dilihat di seluruh insta storynya, Ale hanya tiga kali meletakkan foto pribadinya. Yang nyempil diantara puluhan fotonya yang lain.
Bahkan foto Lea ada lima di insta storynya. Yang di update semalam olehnya.
"Sering-sering liat i********: mak, follower lo udah nambah banyak tuh." Lea memutar bola matanya malas, dan mengambil handphone dari genggaman Randy lalu melesakkannya ke saku celana.
Fikirannya menerawang ke berbagai hal yang dialami belakangan ini. Perpisahannya dengan Ardy, pertemuannya dengan Nathan dan hal-hal yang berputar diantara dua pria itu. Bahkan saat ini Lea tak ada sedikitpun menaruh perhatian pada Ale. Tak ada atau mungkin belum ada nama Ale terpatri di hatinya.
Beberapa kalipun mereka saling berkirim pesan namun hanya pesan biasa saja layaknya teman. Tak ada yang spesial.
Meskipun Lea merasa sangat beruntung dipertemukan dengan teman baru yang siap membantunya, setidaknya itulah kata yang belakangan ini selalu diucapkan Ale padanya.
***