Lea sampai rumah orangtuanya sudah larut malam, diantar oleh ketiga pria itu sampai depan rumah. Namun Lea meminta mereka meninggalkannya.
Sampai dalam Lea melihat ibunya yang tertidur memeluk Kay, kening Kay ditempel kompres putih yang biasa dijual di minimarket. Sementara Justin yang berusia tujuh tahun tidur di sisi sebelah ibunya.
Lea tak kuasa menahan haru ketika bibir mungil Kay putrinya yang berusia tiga tahun itu terlihat pucat dan menggigil kedinginan. Dia memang sangat dekat dengan kedua anaknya hal yang sebenarnya selalu menyakitinya sendiri lantaran dia tak kuat jauh dari mereka namun dia tak kuasa jika terus bersama Ardy.
Pernah Lea berniat bunuh diri tiga tahun silam, berjalan di atas jembatan penyebrangan seorang diri, tak lama setelah Kay lahir dan dia pun kehilangan sahabat tempatnya bersandar dan berkeluh kesah.
Rasanya saat itu berat sekali baginya. Ditambah Ardy yang terus saja berkata kasar karena Lea dengan ibunya Ardy mengalami satu konflik dan terus saja Ardy menyalahi Lea tanpa mau mendengar penjelasan yang sebenarnya.
Baby blues dan berbagai masalah yang menerpanya membuat dia nekat ingin bunuh diri. Kalau saja aksi konyolnya itu tidak ketahuan pemuda yang sedang nongkrong disana yang dengan cepat berdiri di dekatnya seolah tahu apa yang dia inginkan? Mungkin namanya kini menjadi almarhumah.
Dan jangan berfikir setelah mengetahui hal itu Ardy menjadi berubah. Tidak! Dia semakin mempersulit Lea dengan berkata tak akan mau menceraikan Lea sampai maut memisahkan mereka. Padahal Lea tahu mungkin jauh dilubuk hati pria itu sudah tidak mencintainya lagi, tapi demi nama baik keluarganya dia tak mau menjadi duda karena perceraian. Selalu dia berkata lebih baik menduda karena istri meninggal dibanding bercerai, bukankah itu sumpah namanya?
"Sudah pulang Lea?" tanya mama yang mengucek mata dan duduk di ranjang, Lea tak tahan untuk tidak memeluk wanita yang telah melahirkannya dua puluh delapan tahun silam tersebut. Wanita yang bahkan sampai saat ini belum bisa dibahagiakannya.
Lea bekerja demi kedua orangtuanya yang sudah tidak bekerja, mama hanya punya toko kelontong kecil untuk membiayai hidup. Dia masih punya satu adik perempuan yang juga sudah menikah dan mereka terlihat harmonis saja mungkin karena menikah di usia yang pas dua puluh lima tahun.
"Gimana Kay ma?"
"Sudah mendingan, mama ke kamar ya, kamu istirahat." Lea mengangguk dan membiarkan ibunya berjalan keluar. Dicium kening Kay yang masih agak hangat lalu ciumannya pindah ke kening Justin. Tangannya merengkuh kedua anak itu sekaligus.
"Mamah akan berjuang demi kalian mendapatkan hak asuh kalian, percaya sama mamah," bisik Lea sebelum terlelap.
***
Kepala Lea terasa berat sekali, baru tidur dua jam namun suara berat dan kasar membangunkannya, entah sejak kapan Ardy sudah berada di kamar itu.
"Ngapain lo?" Lea sudah tak sungkan lagi menggunakan kata lo-gue dengan pria itu karena memang Ardy lah yang sejak awal memulai panggilan itu.
"Ngapain lo bilang? Kemana aja lo? Selingkuh?"
"Elo udah gak ada hak ya atur hidup gue inget lo udah nalak gue!" Lea mencoba menahan suaranya, tak ingin anaknya terbangun. Bibirnya sampai bergemeletuk menahan geram.
Bapak membuka pintu kamar dan cukup terkejut mendapati Ardy masih ada disana, bukankah tadi mereka telah sepakat kalau Ardy tak akan mengganggu hidup Lea lagi. Bukankah sudah banyak nasihat yang bapak sampaikan? Tapi si kepala batu itu terus saja dengan keegoisannya ingin mempertahankan hubungan yang telah lama hancur tersebut.
"Cukup Ardy, sudah larut malam. Kamu sudah sepakat menceraikan Lea tadi, kamu sudah tidak ada hak masuk ke kamarnya lagi."
"Saya belum menceraikannya pa!" Ardy selalu saja m******t ludah sendiri hal yang semakin membuat Lea benci.
"Kalau gitu gue yang akan gugat cerai lo. Tunggu aja!"
"s****n!!" tangan Ardy terangkat ingin menampar Lea tapi dengan cepat dihalau oleh bapak dia dengan sisa tenaganya mendorong tubuh Ardy keluar dan meminta Lea mengunci pintu kamar.
Entah apa yang mereka bicarakan diluar karena setelah itu Lea dapat mendengar deru suara motonya meninggalkan rumah.
Setelah itu Lea keluar, dipeluknya tubuh bapak yang terlihat lelah.
"Maafin Lea pa."
"Sudah enggak apa-apa sekarang kamu istirahat. Bapak juga mau tidur." Bapak mengusap kepala Lea dan menunggu Lea sampai masuk kamar, lalu dia mengunci pintu depan dan masuk kembali ke kamarnya.
***
Andai bisa, ingin Lea izin kerja saja hari ini, tapi karena sudah pertengahan bulan dan pekerjaan dia sebagai HRD yang harus menyerahkan data karyawan untuk penggajian di akhir bulan nanti membuatnya terpaksa datang ke kantor saat matahari sudah meninggi.
Dia harus merayu Justin dahulu sebelum kerja bahkan Lea menungguinya sampai pulang sekolah. Pun dengan Kay yang tak mau turun dari gendongannya membuat Lea semakin sulit.
Setelah mengirim data ke Finance, Lea menutup wajah ke meja kerjanya. Lelah sedih jadi satu sampai kapan ini akan berakhir.
"Beb, kenapa? Sekong?" suara Randy mengagetkannya, Lea mendongak dan menatap lelaki bergaya kemayu itu sudah duduk di kursi sampingnya.
"Kemarin eke calling yey kemana sih? Gak bisa-bisa."
"Randy.....huhuhuhu," Lea memeluk sahabat kentalnya itu lalu menangis di tubuh Randy ya jika Randy lelaki biasa dia tak akan mungkin mau menangis dalam pelukannya, tapi ini Randy lelaki berhati melankolis yang selalu mau menampung segala unek-uneknya. Setelah tangisnya agak reda, Lea menceritakan semuanya. Termasuk pertemuannya dengan Ale, Niko dan Erik.
"Sorry ya lele patil, selama ini gue selalu nyaranin elo untuk sabar-sabar ngadepin laki lo yang arrogan itu, gue Cuma gak pengen liat anak-anak lo menderita, tapi setelah mendengar cerita lo dan setelah baca-baca bahan untuk siaran hari ini. gue sadar anak korban perceraian juga masih bisa kok tumbuh dengan baik dan bahagia, enggak kayak gue yang kelam begini." Lea mengangguk pasrah sudah biasa menerima berbagai panggilan dari Randy dari mulai mak, beb, cin, lele patil dan apalah tergantung moodnya.
Sahabatnya ini yang selalu menguatkan untuk bertahan karena Randy tahu rasanya menghadapi perpisahan kedua orangtuanya sampai mereka berdua tak ada yang menginginkannya apalagi setelah Randy merubah haluan menjadi seperti sekarang ini. tak banyak yang bisa menerimanya. Tapi jangan pernah ragukan solidaritas Randy karena sahabat satu ini selalu membela dan mendampinginya.
Dan sebagai producer Asistance, Randy tak pernah merasa sombong meskipun bisa dibilang pangkatnya cukup tinggi di kantor stasiun radio ini. dia tetap saja mudah bergaul sama semua kalangan termasuk polisi cepe alias tukang parkir di depan.
Lea berpamitan pada Randy, dia sudah izin pada bosnya untuk pulang lebih cepat karena Kay sakit. Maka sesaat setelah Lea keluar ruangan. Randy langsung menekan satu kontak di handphonnya. 'Niko Kodak Jelita' entah julukan yang aneh memang.
"Ada apa nelpon ay? Gak tau Ay lagi nemenin yayang beb pemotretan?" suara centil Niko terdengar mendesah manja di telepon membuat yang mendengar ingin muntah sebenarnya.
"Elah gak usah banyak cingcong lah ya, kemarin lo pemotretan di Bandung ketemu Lea kan temen gue?"
"Iya cyn, dese rame orangnya tapi kayak lagi ada masalah gitu, gue sama bos and ayang beb disana."
"Jadi beneran Ale yang diceritain Lea itu si Bos?"
"Oiya,, duh hampir eke lupita kalau yey gak nelpon. Bos pesen jangan ungkapin itu biodata si bos, jangan ampe keceplosan ya yey! Si bos enggak mau. Jangan panggil bos juga kalo yey di depan Lea. Nanti eke omongin lagi ya beb bay." Randy memandang handphonenya yang telah diputus sepihak oleh Niko si kodak itu.
Kepalanya cukup pusing dengan semua ini, ditambah akhir-akhir ini rating penyiaran sudah mulai turun membuat produser memintanya lembur untuk menyiapkan materi siaran yang lebih baik lagi.
"Lea? Ale? Mudah-mudahan kalian jodoh ya beb, biar elo bisa bahagia Lele patil." Randy dengan tulus berdoa sambil mengusap meja kerja Lea, lalu dia memilih pergi dari ruangan tersebut.
***
Lea bersandar di tepi tempat tidur sementara Kay sudah tiduran di atas tubuhnya, ketika sakit anak itu pasti akan berkali lipat lebih manja padanya sementara Justin sedang menonton tivi acara kartun favoritnya.
Dia masih menatap pada ponselnya yang menampilkan pesan dari Ale beberapa saat lalu.
Ale : Gimana kabar anak lo? Udah sembuh?
Me : Udah mendingan kok, thanks
Ale : trus hubungan lo sama laki lo gimana? Kalian udah baikan kan?
Me : Enggak, gue mau ngurus perceraian. Belum tahu caranya sih mau browsing dulu biar gak bolak balik.
Ale : Yakin mau Divorce?
Me : Ya, udah enam tahun lebih mikirin ini masa enggak yakin.
Ale : gue punya kenalan pengacara kalau lo mau, bisa dibantu dia.
Me : Ah mahal pasti ngurus sendiri lebih murah biayanya, sekarang kan gue nanggung semua sendiri gak akan sama lagi Al.
Lama tak ada balasan dari Ale hingga kemudian Lea tersentak mendapat telepon dari pria itu. Pelan-pelan diturunkan tubuh Kay dan dia mengusap Kay agar tidak terbangun.
"Temen gue mau kasih jasa gratis lo siapin aja persyaratannya. Kalau mau gue kasih kontak lo ke dia." Ucapan Ale nyaris tanpa jeda, bahkan tanpa salam.
"Masa sih ada yang gratis?"
"Ya mungkin karena gue yang minta tolong." Suara kekehan Ale terdengar jelas. Lea mendongak nampak berfikir lalu menyetujui ide Ale tersebut.
Dia memang sudah merundingkan ini matang-matang dengan kedua orangtuanya. Di depan bapak saja dia berani ingin menampar Lea bagaimana jika tak ada bapak? Mungkin dia akan mengalami kasus KDRT. Hal yang sangat dibencinya.
***