Setelah beberapa jam mereka sampai di sebuah Villa di Bandung, tak terlalu besar hanya nampak seperti rumah minimalis. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Niko membawa dua koper sekaligus sementara Erik bawa satu koper. Ale pun sama membawa satu koper ukuran kecil sementara Lea hanya membawa tas punggungnya yang sebenarnya terlihat sudah cukup usang karena kancing penutupnya copot satu.
Villa itu hanya terdapat dua kamar, dengan kamar mandi di dalam setiap kamar, dapur yang menyatu dengan ruang tamu, serta televisi berukuran besar dengan sofa yang terlihat nyaman.
Niko dan Erik berjalan ke dalam satu kamar, sementara Ale sudah mendorong kamar yang lain, Lea masih mematung di ruang tamu ketika Ale melongokkan kepala ke luar dan mengedikkan dagunya agar Lea ikut masuk ke dalam.
Lea menoleh ke kanan dan kiri sepi, berjalan pelan diapun ikut masuk ke kamar. Bagaimana bisa dia yang masih berstatus istri orang tidur sekamar dengan laki-laki lain.
Ale sudah menata barang bawaannya, kasurnya memang berukuran king, tapi tetap saja kan tidak nyaman. Ada sofa panjang disana. Lea berfikir mungkin dia yang harus tidur di sofa itu. Cuaca sangat dingin saat ini, tidur di luar sama saja bunuh diri perlahan bagi wanita yang sudah biasa dengan cuaca panas Jakarta.
Seolah tahu apa yang ada di benak Lea, Ale pun membuka lemari dan mengeluarkan bed cover besar dari sana. Dia meletakannya di atas sofa.
"Gue yang tidur disini, seperti janji gue tadi kan?" Ale tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi membuat Lea menutup mulut dan berjalan santai ke arah kasur. Ale memang bisa dipercaya, benaknya.
'Tapi sumpah kalau lo ajak gue tidur dikasur empuk nan hangat itu, gue juga gak akan nolak.' Batin Ale.
Meskipun yang terjadi adalah Lea sudah tertidur di ranjang sendirian, sementara Ale harus menahan diri dengan tidur di sofa panjang yang bahkan kakinya saja menjuntai melewati pegangan sofa.
Keesokan harinya mereka berempat menuju tempat studio foto yang memang sudah tersedia disana Lea tak ambil pusing studio itu punya siapa? Setelah menemukan spot untuk duduk di pinggir jendela yang mengarah pada pemandangan indah di depannya. Lea segera mengeluarkan handphone yang sudah dimatikan sejak kepergiannya kemarin sore.
Perlahan dengan tangan gemetar dinyalakan ponsel itu, langsung saja ratusan notif membuat getaran yang dikeluarkan handphone keluaran Cina bertulis logo mi itu tak mau berhenti. Jarinya mengusap sebuah nama , Ardy suaminya.
Ardy : Lo dimana?
Ardy : pulang sekarang!!
Ardy : Lo gak nurut apa kata gue! Pulang dasar istri Durhaka!
Ardy : eh Jing, pulang gak lo!
Lea mengangkat kaki dan menunduk di lututnya sementara handphone di tangan dijauhkan, tak kuat membaca kata-kata kebun binatang yang keluar dari ketikan pria yang selama delapan tahun ini resmi menjadi suaminya. Kalau saja dulu dia tak terbujuk rayu oleh Ardy, pria yang lima tahun lebih tua darinya itu. Dia mungkin akan hidup bahagia dengan Nathan. Siapa Nathan?
Sekilas tentang Nathan, Nathan dan Lea itu satu sekolah sejak SMA, semua orang tahu kalau mereka berdua berpacaran. Hingga akhirnya Nathan kuliah di luar negeri dan menempati asrama disana, Nathan mengambil jalur beasiswa hal yang mengharuskannya mempertahankan prestasi hingga menjauhi alat telekomunikasi apapun. Membuat Lea yang saat itu masih memiliki darah muda melepasnya begitu saja dan berkenalan dengan Ardy.
Pria yang memikatnya dengan segala rayuan maut, membuat Lea bertekuk lutut dan menerima lamarannya. Dan belakangan Lea tahu hal itu yang membuatnya sangat menyesal.
Ketika lulus kuliah Nathan kembali ke Jakarta menemuinya yang ternyata telah berganti status menjadi istri dengan satu anak kala itu.
Lea ingat raut kecewa Nathan, tatapan mata terluka Nathan yang sampai kini selalu menghantuinya. Nathan datang disaat Lea sudah mulai terjerembab dalam masalah keluarga.
Beberapa kali menjadi pendengar setia hingga Lea ingat satu perkataannya.
"Aku rela kamu sama dia asal kamu bahagia, tapi aku gak pernah rela melihat kamu menderita seperti ini. Aku akan selalu nunggu kamu sampai kapanpun, karena rasa disini masih sama sampai sekarang, meski aku udah kecewa sama kamu." Lea berusaha menghindar dari Nathan, ya mereka memutuskan komunikasi.
Tapi di tahun berikutnya selalu saja ada moment dimana mereka berkirim kabar meski hanya basa basi. Tak pernah berlanjut. Mereka chat hanya sesekali tak ada yang menjurus ke perselingkuhan, meski benci dengan suaminya, tapi Lea masih mencoba menjaga harga dirinya. pun dengan Nathan meskipun cinta, tak pernah berniat mengajak Lea lari atau merebutnya begitu saja.
Lea yang berkali-kali meminta Nathan mencari wanita penggantinya. Nathan yang berkali-kali menolak Lea dengan alasan tak pernah ada wanita yang bisa menempati hatinya selain Lea.
Ah bagaimana kabar pria itu? Sudah enam bulan mereka tak berkomunikasi. Mungkin Lea akan menghubunginya nanti, setelah Ardy mengabulkan permintaan cerainya.
Lea mendengar suara gaduh di ruang sebelah, Ale mengurut pangkal hidungnya, sementara Niko terus saja menelepon seseorang. Erik yang sudah rapi mengenakan setelan jas hitam. Berkali-kali nampak melirik jam tangan.
"Ada apa?" tanya Lea.
"Modelnya gak bisa dateng, kecelakaan. Sementara klien kita udah mau sampai, mau lihat pemotretannya." Jawab Ale, kini mereka bertiga menatap Lea yang rambutnya sudah digulung dengan tusuk konde ke atas. Memamerkan lehernya yang terkespos bebas.
Ale memiringkan kepala ke kanan dan kiri, Niko memutar tubuh Lea dan Erik menopang dagunya. Mereka bertiga saling tatap dan mengangguk.
"Gue bisa," ucap Niko penuh percaya diri.
"Lo jadi model kita sehari ini ya Le, nanti gue arahin gayanya. Dan yang pasti gue bakal bayar." Seringai Ale.
"Gue setuju," tambah Erik.
"Model apaan? Baju apaan?"
"Nih gaun nikah," ucap Niko sambil menyodorkan gaun putih yang roknya menjuntai ke arah Lea. Lea menggeleng tapi tiga pria di hadapannya mengangguk dengan tatapan memohon. Hingga akhirnya dia luluh dan menyetujuinya.
Niko segera membawa Lea ke ruang ganti, dia harus memasangkan jarum pentul di punggung Lea karena ukuran d**a wanita itu tak terlalu besar, baju itu akan melorot jika tidak kencang. Selanjutnya Lea di make up oleh Niko dengan sangat profesional. Tubuhnya dibaluri oleh cream yang membuat warna kulitnya lebih putih dan bersih, Lea bahkan memandang takjub melihat perubahan di dirinya.
Perfect.
Dan bertepatan itu pula seorang pria berwajah asing berjalan masuk dengan istrinya yang berwajah asli indonesia. Menyalami Ale dan Erik lalu ikut menunggu Lea di tempat pemotretan.
Lea masuk di bantu Niko yang memegangi ujung gaun putihnya. Ya gaun itu dirancang oleh istri si bule tersebut. Mereka mengangguk dan karena ada urusan mendesak mereka berdua mempercayakan sepenuhnya pada Ale, membuat semua mendesah lega.
Sepanjang pemotretan Erik bertingkah sangat profesional dia mengajari gerakan natural dan senam wajah pada Lea. Agar Lea tidak terlihat tegang. Meski harus beberapa kali cut namun Niko dan Erik tahu sekali kalau tak pernah sekalipun Ale marah dengan Lea yang terlihat tidak profesional dari menginjak kaki Erik atau terjatuh, tidak mau memeluk Erik ataupun bertingkah romantis layaknya sepasang suami istri.
Ternyata pemotretan tidak hanya pada gaun pengantin saja, keesokan harinya mereka melanjutkan pemotretan di kawasan kawah putih, untuk baju-baju musim dingin seperti jaket, celana panjang dan aksesoris lainnya tentu Lea masih menjadi modelnya juga dengan Erik.
Pemotretan sudah selesai namun Lea masih duduk-duduk di sekitar kawah, menikmati cuaca disekitarnya meskipun aromanya tidak terlalu enak di penciuman. Tapi dengan memandang ciptaan Tuhan seperti ini membuat sedikit rasa sesak didadanya perlahan memudar.
Dia pun teringat kembali dengan ponselnya. Dinyalakan ponsel itu dan lagi-lagi Lea mendapati puluhan notice ke handphone. Kali ini dia buka pesan dari ibunya.
Mama : Le, Pulang sayang mama setuju kalau kalian akan berpisah, mama sadar mama terlalu maksa kamu dengan pernikahan ini.
Mama : Lea, Kay sakit dari semalam badannya panas, manggil nama kamu terus. Pulang ya nak. Nanti mama dan bapak yang akan bujuk Ardy untuk melepaskan ikatan kamu.
Selanjutnya Lea mendengar rekaman suara Justin anaknya yang menanyakan dia dimana? Lalu suara Kay putrinya yang berusia tiga tahun sedang menangis memanggilnya. Tangis Lea luruh tak kuat lagi, diapun sangat rindu. Ya diakui dia memang egois, tapi bagaimana lagi cara dia untuk menghindar dari Ardy? Tujuan utama dia menikah adalah untuk bahagia, namun dia tak mendapatkan itu, lantas untuk apa dia bertahan? Untuk terus menyakitinya?
Lea membuka chat dari Ardy terlihat pesannya beberapa jam lalu.
Me : Gue baru mau pulang, kalo lo mau ceraiin gue. Titik!
Ardy : Anak lo sakit dan elo masih tetep kabur dari rumah?! Ibu macam apa lo!
Ardy : Tega lo liat Kay nangisin lo tiap hari Jing!
Lagi kata-kata itu yang keluar sumpah serapah yang seolah menjadi makanannya sehari-hari bukankah itu sudah termasuk KDRT Verbal?
Ale melihat Lea lagi-lagi menangis, dia segera membereskan kamera dan laptopnya lalu memasukannya dalam tempat khusus dan menghampiri Lea.
"Mau pulang sekarang?"
"Anak gue sakit. Tapi kalau lo masih ada kegiatan gue pulang naik mobil travel aja. Gue gak mau repotin lo lagi Al." Ale menggeleng dan tersenyum getir.
"Gue udah selesai kok, lagian besok gue harus masuk kerja." Ale berdiri dan mengulurkan tangan untuk membantu Lea yang juga ikut berdiri. Lea merapikan bajunya yang terlipat dan berjalan di samping Ale.
"Selain fotografer lo juga kerja? Jadi apa?"
"Karyawan biasa, yuk bentar lagi malam." Ale mempercepat langkah diikuti Lea yang mengekornya, sementara Niko dan Eric sudah lebih dulu masuk mobil karena cuaca mendadak semakin dingin.
Ale meminta Eric dan Nico bersiap sesampainya di Vila karena dia akan langsung pulang dengan alasan ada kerjaan mendadak di Jakarta. Meski awalnya mereka terlihat sebal namun ketika Ale bilang ada kerjaan mendadak membuat mereka bisa berlapang d**a menghabiskan liburan singkat itu.
Lea membuka lagi chat dari Ardy.
Ardy : Lo lagi melacur dimana hah! Jal*ng!
Ardy : Oke klo lo mau gue ceraiin lo! Saat ini juga kita bercerai!
Lea mendesah frustasi. Dia pun tak kehabisan akal untuk menscreen shot pesan dari Ardy karena dia membutuhkan itu untuk barang bukti.
Lalu tangannya mengetik pesan untuk mama.
"Aku pulang ma, Kay kasih obat dulu atau bawa ke klinik terdekat yaa, dan tolong pastikan Ardy sudah pergi dari rumah kita. Aku gak mau liat dia lagi. Makasih ma." Tulis Lea sebelum mematikan kembali ponselnya.
Ale menyodorkan handphonenya ke Lea, agar wanita itu mengetik kontaknya karena Ale merasa perlu untuk membayar jasa Lea menjadi modelnya dan juga untuk kelangsungan perasaannya yang masih tidak menentu, dia bingung apa yang dia rasakan pasti salah. Bolehkah dia berharap kalau Lea berpisah dengan suaminya? Dan bisa menjadi miliknya kelak.
Selama ini Lea diam tak menceritakan sepenuhnya kisahnya dia hanya bilang kalau dia sedang menginginkan perpisahan. Dan Ale yang tidak terlalu tahu permasalahan rumah tangga itu hanya bisa memberi saran pada Lea, kapanpun dia butuh bantuan, dia siap membantunya. Sebagai teman tentunya.
***