Hanya dalam waktu sekitar lima menit setelah mobil yang dikendarai Rex keluar dari kampus, si gadis meminta Rex untuk menurunkannya.
“Berhenti di sini,” pinta si gadis dengan suara pelan tapi cukup jelas di telinga Rex.
Rex menginjak rem perlahan-lahan lalu melihat ke sekelilingnya dari balik kaca jendela. Ia kemudian bertanya dengan nada sedikit curiga. “Kamu yakin rumah kamu di sini?”
Si gadis mengangguk dan merespons kesangsian Rex. “Kenapa? Aku tidak boleh tinggal di sini?”
“Ya, boleh. Hanya saja ....” Mata kastanye Rex kembali memindai pemandangan di luar sana yang sedikit gelap dan creepy. Gedung kosong bekas kantor pemerintahan yang terbengkalai menciptakan sensasi horor tersendiri. Di seberang jalan, hanya ada saluran irigasi dengan deretan pohon bintaro yang rindang. Lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan itu padam. Satu-satunya penerangan di sepanjang trotoar adalah lampu yang menggantung di tiang besi kecil di sudut pertigaan. “Tempat ini kayaknya horor,” lanjut Rex.
“Horor apanya? Di belakang situ ada warung burjo.” Si gadis menyerongkan posisi duduknya lalu menoleh ke belakang. “Lihat tuh, rame. Tempat tinggalku di belakang warung itu.”
Rex turut menyerongkan posisi duduknya dan menoleh ke belakang. Benar juga.
Dahi Rex berkerut dan ia memandang dengan heran ke arah warung bubur kacang ijo yang baru dilihatnya. Rex berusaha berpikir dengan logika. Mungkin ia tidak sadar kalau beberapa meter di belakang mobilnya ada sebuah warung kecil dengan dua orang pengunjung yang sedang duduk di bangku panjang di depannya. Lampu di warung itu tidak terlalu terang tapi cukup membuat mata yang minus sekalipun bisa melihat jelas.
“Perasaan, tadi aku enggak lihat ada warung di situ.” Rex berkata sebenarnya, tidak bermaksud mengelak.
“Perasaan kamu saja. Makanya banyakin minum air putih biar konsen.” Si gadis mematahkan keraguan Rex lalu merubah kembali posisi duduknya ke arah semula. “Terima kasih sudah mengantarku.”
“Iya. Sama-sama.”
Setelah si gadis turun dari mobilnya, Rex melanjutkan perjalanan pulang. Obrolan dan kebersamaan singkat mereka telah mengisi sebagian tugas Rex di perpustakaan. Gadis itu sedikit misterius tapi cukup menyenangkan, pikir Rex.
○○○
Tidak seperti hari kemarin di mana Rex bisa datang ke kampus lebih cepat, pagi ini ia harus berpacu kembali dengan waktu agar tidak datang terlambat. Pulang larut malam dan baru bisa tidur hampir jam 03.00 pagi membuat Rex bangun telat. Alarm alaminya pun ikut telat bergolak di perutnya. Sekitar jam 07.15 panggilan alam dari perut Rex berkumandang. Rex terbangun oleh rasa melilit di perutnya. Secepat yang ia bisa, ia berlari ke toilet. Matanya masih sulit dibuka ketika ia harus duduk manis di atas toilet.
“Rex, Elu di mana?!” Suara Jon membuat melek mata Rex. “Rex!” teriak Jon lagi.
“Gue di mari,” jawab Rex dengan suara tertahan.
“Di kamar mandi lu? Jam segini elu baru mandi?” Kali ini suara Bosi yang tertangkap telinga Rex.
Kedua sobat Rex ini punya akses bebas masuk ke kamar Rex. Tidak jarang mereka berdua yang membangunkan Rex di saat-saat genting seperti pagi ini. Pengganti sementara profesor Thomas sama “killer”-nya dengan profesor bertubuh tambun itu. Untuk menghindari hal-hal yang bisa membuat Rex mendapat nilai E, pagi ini Jon dan Bosi sengaja menjemput Rex. Rex beruntung mempunyai sahabat seperti mereka walaupun jarang disadari Rex.
“Bawel, lu pada!” omel Rex dari dalam kamar mandi, “masih pagi ini.”
“Pagi pala lu peyang. Udah jam setengah delapan nih. Cepetan mandinya!” Bosi memperingatkan Rex dengan nada gemas.
“What?!!” Rex nyaris melompat dari toilet. Secepatnya ia membersihkan diri dan berpakaian.
Sejak hukuman atas dirinya diberlakukan, Rex mulai tidak konsisten dengan penampilannya. Ia jarang memadu dan memadankan warna pakaiannya. Ia selalu mengambil pakaian dalam jangkauan terdekat yang mudah ia raih. Untuk sepatu pun, Rex masih memakai sepatu yang sama sejak hukuman dimulai. Meskipun demikian, para Rex Lover menganggap hal itu sebagai tren baru. Kadang Rex cengar-cengir sendiri melihat para fans beratnya beropini demikian.
Setelah melewati perjuangan panjang selama lebih dari dua jam, akhirnya trio jojoba alias jomblo-jomblo bahagia itu terbebas dari kelas yang menegangkan. Di sela-sela jam istirahat, mereka seperti biasanya nongkrong di kantin Tuti. Tiga gelas jus dengan rasa berbeda sudah tersaji di atas meja mereka. Sambil mengobrol dan saling meledek, ketiganya membuat suasana kantin menjadi sedikit bising.
“Ntar malam nonton yuk. Sudah berapa minggu nih kita enggak nongkrong di bioskop,” cetus Jon.
“Besok aja kali, Jon. Nanti malam kan gue masih harus ngejalanin tugas negara,” jawab Rex dengan nada sedikit menyesal.
“By the way, keponakan Bu Lusi jadi ngawasin elu, Rex?” tanya Jon sebelum menyesap jus alpukatnya.
Rex mengangguk. “Jadi.”
Dari seberang meja Bosi tertawa. “Mampus lu. Enggak bisa berkutik, ada kamera CCTV hidup.”
“Seneng banget sih lu liat gue tersiksa.” Rex menurunkan kedua ujung bibirnya. “Eh, tapi gue enggak setersiksa itu kok. Yang ngawasin gue tuh cewek. Cakep lagi,” ralat Rex kemudian.
Mata Bosi langsung berbinar terang, seterang lampu neon 50 Watt. “Yang bener lu?”
“Bercanda lu, Rex. Emangnya Bu Lusi tega ngebiarin keponakan ceweknya malam-malam keluyuran ngawasin elu?” tukas Jon.
“Lu pikir gue bercanda. Suweeer! Yang ngawasin gue kerja tuh cewek.” Jari telunjuk dan jari tengah Rex membentuk huruf V untuk meyakinkan mereka.
“Ntar malam gue ikut elu ke perpus. Jadi penasaran gue sama tuh cewek. Se-savage apa sih tuh cewek sampai mau jadi pengawas perpus malam-malam.” Jon menandaskan.
“Nama tuh cewek siapa, Rex?” tanya Bosi. Rex otomatis jadi berpikir. Sudah dua hari ditemani gadis itu, tetapi ia masih belum juga menanyakan nama.
Rex menggeleng. “Gue enggak tahu. Belum nanya.”
“Jiaaah!!!” Jon dan Bosi kompak mengungkapkan kekecewaan mereka.
“Beneran. Gue emang belum nanya.” Rex kembali meyakinkan. “Nanti malam elu berdua ikut ke perpustakaan ya. Biar elu berdua tahu kalau gue enggak bohong,” pungkas Rex.
“Oke,” ucap
○○○
Malam harinya, sesuai rencana, Jon dan Bosi akan menemani Rex ke perpustakaan. Setelah meminta kunci dari satpam yang berjaga di depan gerbang, akhirnya mereka nyampe juga di perpustakaan dengan selamat tanpa ada hal-hal yang bikin jantung hampir copot.
Beberapa saat menunggu, si gadis masih belum datang juga. Rex melirik jam tangan di tangan kirinya. Sudah hampir jam 23.00. Kemungkinan besar si gadis tidak akan datang. Rex mencoba berpikir rasional dengan mengedepankan alasan masuk akal. Malam itu adalah Jumat malam, weekend. Mungkin saja si gadis sedang hangout bersama teman-teman atau pacarnya. Mungkin juga si gadis sedang mengalami masalah kesehatan. Berbagai alasan distimulasi oleh otaknya. Rex bisa berpikir dengan logika, tetapi kedua sobatnya terlihat masih meragukan kebenaran yang diucapkan Rex.