6. Aku Antar Pulang

1115 Kata
“Kenapa kamu ngeliatin aku kayak gitu?” selidik Rex saat si gadis sudah berada tepat di samping meja. “Enggak nyangka aja seorang Rex yang terkenal karena “damage”-nya, ternyata rajin banget. Mau juga jadi cleaning service di perpustakaan.” Si gadis mengulum senyum, tapi Rex menganggap itu sebagai sindiran. Rex menatap gadis itu dengan sedikit geram. “Nyindir nih?” Si gadis menyilangkan tangan di atas perut ratanya lalu berdecak. “Kamu tidak bisa membedakan mana sindiran mana pujian?” Rex kembali menatap si gadis. “Terserah kamu deh. Maaf, aku sedang melakukan tugasku. Rasanya aneh kalau diawasi dari dekat.” Si gadis kembali tersenyum. “Jangan bilang kamu Ge-Er.” What? Gede rasa karena gadis itu? Oh, big no! pikir Rex sambil cemberut dan menatap tajam ke arah si gadis. “Hm, kamu jutek juga ya ternyata.” Gadis itu beneran menyindir Rex kali ini. “Mendingan kamu balik aja ke meja Bu Lusi kalau ke sini cuma membuatku jadi kepengen nelen orang.” Rex membalas dengan geram. Si gadis menatap Rex. Tatapannya tidak tajam tapi menusuk relung hati Rex. Rex seperti sedang membaca sesuatu dalam tatapan aneh itu. Sesuatu yang kelam dan hitam yang tersimpan di dalamnya. Jantung Rex kembali berdebar kencang. Hawa dingin diam-diam menyelusup dan mengalir ke seluruh pembuluh nadi. Anak muda itu tiba-tiba merasa seperti sedang berada di Alaska. Kedinginan. Beberapa detik saling mengunci tatapan, si gadis akhirnya berbalik dan meninggalkan Rex. Rex menurunkan kedua ujung bibirnya berekspresi tidak peduli, padahal suara debaran jantungnya telah membiaskan seluruh suara yang ada. Dag-dig-dug duaaar! Berusaha keras menguapkan segala rasa aneh yang menyapa, Rex kembali menggosok meja dengan kain lap. Gerakannya semakin cepat, dipercepat tepatnya, lantaran ia ingin segera terbebas dari ruang perpustakaan dan si gadis berblus merah. Sebelum jam 23.30, Rex sudah menyelesaikan seluruh tugasnya. Si gadis berblus merah masih menunggu dengan setia di kursi Lusi sambil membaca n****+ Sherlock Holmes. “Ehem.” Rex berdeham bermaksud mengumumkan berakhirnya tugas negara yang diembannya malam ini. Si gadis menutup bukunya dan membiarkan tergeletak di atas meja. Si gadis lalu melihat Rex dengan seksama seperti sedang mempelajari pria muda itu. Pastinya, Rex ge-er diperhatikan seperti itu. ia jadi salah tingkah. Bermaksud mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja  di samping buku n****+, ia justru meraih n****+ si gadis. Kadung malu kalau ia sudah salah ambil, Rex berpura-pura membolak-balik n****+ tersebut seolah-olah sedang menelaahnya. “Isi ceritanya bagus?” tanya Rex basa-basi. Si gadis mengangguk mengiakan. “Suka membaca cerita misteri ya?” tanya Rex lagi. Si gadis mengangguk kembali. “Anak Ekonomi doyan baca cerita misteri, sedangkan anak hukum doyannya nonton drama seri orang ketiga. Lucu ya.” Rex tertawa mengingat Emily tadi pagi sampai mencubiti dirinya gara-gara kesal dengan tokoh pria di drama seri yang tayang di salah satu aplikasi video. Si gadis tersenyum tipis. “Cerita misteri bisa membuat otak kita berolahraga karena kita dituntut untuk berpikir dan mencari tahu apa tujuan si tokoh protagonis dan antagonis. Dalam cerita misteri pun, kita seolah diikutsertakan ke dalamnya. Sama dengan menonton sebuah film thriller, kita dituntut mencari tahu dan menduga sendiri penyelesaian konfliknya sebelum si tokoh utama benar-benar mengetahui dan menyelesaikan. Banyak juga pelajaran yang bisa ambil dari sana. Salah satunya adalah jangan memercayai orang yang kita anggap paling tidak bersalah dan terlibat.” “Karena pelaku kejahatan yang sebenarnya akan menutupi semua tindakan jahatnya dengan berpura-pura menjadi yang paling tidak berdosa,” sambar Rex. Si gadis tersenyum senang Rex memahami maksud yang tersirat dalam uraiannya, begitupun dengan Rex. Anak muda itu merasa obrolannya mulai nyambung dengan si gadis. “Kamu juga suka membaca cerita misteri?” tanya si gadis. Rex menggeleng. “Aku tidak suka membaca.” Rex berkata jujur. Ia memang tidak suka membaca. Ia masuk ke jurusan hukum lantaran ia tidak mau ketemu lagi dengan angka-angka penjumlahan, pengurangan, perkalian, akar kuadrat, dan saudara-saudara mereka yang lain. Santy yang menyarankannya mengambil jurusan ini. Meskipun begitu, Rex tidak mau mengecewakan ayah dan tantenya. Ia tetap berusaha menjadi yang terbaik walaupun cara belajarnya setiap kali ujian adalah dengan cara SKS alias Sistem Kebut Semalam. Hasilnya cukup lumayan dan seimbang. Indeks Prestasi Rex mematahkan pendapat mereka yang insecure bahwa orang yang berpenampilan atraktif dan lovable hanya menang di tampang doang, otaknya kosong. “Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya kita pulang. Pak Car juga sudah mengintai dari taman.” Pandangan Rex menunjuk pada Satpam yang sedang berpatroli di sekeliling kampus. Si gadis bangkit berdiri. Rex pun melakukan hal yang sama. Setelah menyampirkan tas ke pundaknya, ia masih diam menunggu si gadis. “Aku antar pulang ya. Sudah larut malam,” imbuh Rex. “Terima kasih. Tempat tinggalku dekat dari sini. Kamu tidak usah repot-repot, Rex.” “Jika kamu menganggap tawaranku sebagai “usaha”, niatku tidak begitu.” Rex menjelaskan niat tulusnya untuk mengantar gadis itu. “Aku enggak bisa ngebiarin cewek jalan sendirian di tengah malam, sementara aku pakai kendaraan. Tanggung jawab aku sebagai cowok di mana?” “Tapi, kamu kan bukan cowokku. So, enggak perlu pakai acara tanggung jawab segala,” bantah si gadis. “Emang bukan,” geram Rex, “aku orang yang diawasi kamu. Kalau kamu ada apa-apa, tetap aku juga yang disalahkan sama Bu Lusi. Nambah lagi deh hukumanku.” Si gadis terdiam beberapa saat memperhatikan Rex. Ia paling bisa membuat Rex salah tingkah entah untuk yang keberapakalinya. “Don’t study me! Kamu enggak akan lulus,” singgung Rex menguapkan ke-“saltingan”-nya dan sontak membuat si gadis melotot. Tidak ambil pusing si gadis nyaris marah, Rex  menarik tangan si gadis. “Enggak usah pake protes. Pokoknya aku akan antar kamu pulang.” Tanpa sadar Rex berjalan keluar dari perpustakaan sambil mencekal tangan si gadis. Ia tidak melepaskan cekalannya bahkan saat mengunci pintu. Di tengah perjalanan menuju tempat parkir, mereka bertemu Carnata. Satpam itu masih berkeliling memeriksa keamanan di sana. “Tumben pulangnya malam banget, Bang?” selidik Carnata dengan nada sedikit kebingungan. “Ngobrol dulu tadi, Pak Car. Oh iya, saya titip kuncinya sekalian ya, Pak.” Rex memberikan kunci dalam genggamannya kepada Carnata yang tiba-tiba melongo setelah mendengar jawaban Rex. “I-iya, Bang.” Carnata merespons dengan gugup. Aneh. Namun, Rex tidak peduli. Ia dan si gadis meneruskan langkah mereka hingga tiba di belakang mobil Rex. “Masuklah.” Rex meminta si gadis masuk ke mobilnya setelah ia membuka kunci melalui pengendali jarak jauh. “Jangan takut, aku enggak gigit kok,” candanya melihat si gadis yang bengong dan mematung. “Ayolah, sudah malam. Lagi pula, aku bukan—“ Si gadis meninggalkan Rex dan memaksa mahasiswa ganteng maksimal itu berhenti bicara. “Tidak sopan. Ada orang lagi ngomong, malah ditinggal pergi,” gerutu Rex pelan-pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN