31 Januari 2017, 2 tahun kepergian Putriku. Hari ini genap dua tahun ia pergi, gadis cantik yang selalu hidup bak di drama romantis itu. Namun, masih kuingat semua tentangnya. Senyum manisnya, suara cerianya, tingkah imutnya, aroma wanginya, dan segala tentang Putri. Ingatan indah yang kubingkai utuh itu juga yang membuatku tak kunjung bertemu dengan wanita baru. Maaf Putri, aku belum bisa mewujudkan amanatmu yang satu itu. Aku belum bisa bertemu dengan wanita baru dan masih betah menduda.
Jadi duda yang ditinggal wafat istri itu tak enak, sama sekali tak enak. Aku harus tetap tersenyum semangat kendati hatiku remuk redam. Siapa yang mau dan tahan jadi duda di saat pernikahan masih berumur 2 hari. Apalagi itu kutanggung di usia yang lumayan muda saat itu, 27 tahun. Lebih dari itu, aku masih sangat mencintai istriku. Di lain sisi, aku sedang berharap ia punya semangat hidup yang tinggi saat itu. Namun, takdir berkata yang sebaliknya, Putri pergi begitu saja bak semprotan parfum, meninggalkan kenangan manis di udara yang tak segera menghilang, tapi ia harus menghilang.
Jadi duda juga membuat orang di sekitarku bingung sendiri. Tentu saja bingung ingin menjodohkanku dengan wanita baik dari golongan manapun. Terkadang mereka merancang kencan buta atau perjodohan paksa. Orang di sekitarku itu tentu saja kedua orang tuaku yang tak ingin anaknya terus terpuruk. Tak hanya itu, kedua mertuaku tak tinggal diam. Mereka seolah berhak mengatur ending percintaanku. Seperti saat ini, aku sedang duduk berhadapan dengan seorang gadis tanggung berumur 26 tahun.
“Mas Angkasa suka makan apa?” pertanyaan klasik yang selalu mereka lontarkan padaku, biasanya di 5 menit perjumpaan.
“Panggil Aksa saja,” ucapku dingin pada wanita yang katanya bernama Elia itu.
“Ya, Mas Aksa suka makan apa?” aku menyeruput kopi pahit di depanku.
“Memangnya pertanyaan itu masih umum ya untuk perkenalan orang dewasa seperti kita,” jawabku judes. Dia tersentak.
“Ya? Maaf Mas…” dia menunduk ketakutan.
“Saya sudah tahu semua profil anda. Nama Elia Karunia Sari. Usia 26 tahun. Pekerjaan dokter muda. Alamat Jemursari Surabaya. Orang tua pengusaha properti. Makanan kesukaaan masakan cina. Minuman kesukaan jus kemasan. Sudah, itu saja kan?” cerocosku sambil menatapnya lurus. Aku menggaruk dahiku yang terasa gatal. Badan juga terasa gerah karena AC kafe tak bisa menembus tebalnya seragam lorengku.
“Sepertinya mas tidak suka dengan saya ya?” tampaknya dia langsung merasa. Aku mesem tipis, berdehem kecil, dan mengendorkan kerah bajuku.
Menghela napas dan mendekati wajahnya, “Elia, saya ini duda. Ditinggal meninggal lagi. Susah bagi saya untuk melupakan mendiang istri. Apa anda bisa menerima syarat itu?”
“Susah melupakan tapi bukan berarti tidak bisa melupakan kan?” ia terlihat kukuh.
“Saya tidak berencana untuk melupakannya, Elia. Kalaupun saya menikah lagi, wanita itu harus mau saya duakan dengan mendiang.” Aku tersenyum sinis, “oh iya, saya juga punya syarat kalau calon istri saya harus 100% sehat. Tidak punya penyakit apapun sekalipun itu batuk pilek.”
“Hah,” ia membuang tawa sinis ke udara, “batuk pilek itu bisa sembuh, Mas. Tenang saja, saya tidak penyakitan kok.”
“Bukan anda yang menentukan, tapi dokter di rumah sakit yang memeriksa,” bantahku alot.
“Saya juga dokter, Mas,” katanya sabar. Aku menggeleng sambil memeriksa layar ponsel, pukul 3 sore.
“Maksudnya saya harus melakukan general check-up sebelum dekat dengan Mas?” tegasnya.
“Yap!” mengangguk tegas, “maaf sepertinya pertemuan kita kali ini cukup ya?” aku mengakhiri pertemuan konyol yang sering terjadi ini seperti biasa.
Aku tersenyum tipis sambil mengeluarkan uang tunai dari dompet. Menaruhnya di dompet panjang di atas meja di dekat nota. Mengemasi ponsel dan kunci mobil sambil disaksikan wajah bingung perempuan di depanku itu. Sesekali ia berdiri dan duduk lagi seolah tak percaya kalau aku akan beranjak dari kursi di depannya. Seolah ia tak percaya kalau aku meninggalkan dokter muda cantik sepertinya. Tapi, ini memang terjadi.
“Mas!” panggilnya sekali lagi yang tak kuhiraukan. Seluruh perhatian pengunjung tertuju pada kami, tapi aku tak peduli. Itu sudah biasa terjadi pada setiap pertemuan konyol perjodohan atau kencan buta yang kujalani.
Aku kejam ya? Sedikit banyak memang benar. Semenjak kepergian Putri, aku jadi galak pada perempuan lain. Terutama pada perempuan yang hendak didekatkan, dijodohkan, atau dipasangkan denganku. Bukan tanpa alasan. Satu, aku belum siap mencintai perempuan selain Putri. Dua, aku tak suka cara pertemuan seaneh itu. Tiga, aku tak suka perempuan yang hanya suka pada seragam dan pangkatku. Empat, lebih baik bersikap b******k daripada sok baik tapi ujung-ujungnya menolak. Masuk akal kan ya? Sekali lagi, maafkan mas ya Dek?
Terlepas dari itu, aku bukanlah lelaki kejam. Aku tetap si supel dan si ceria Angkasa kok. Di kalangan teman, aku masih dikenal sebagai lelaki yang suka tertawa dan bercanda riang. Di kalangan anggotaku, aku masih dikenal dengan danton yang keras, dekat dengan anggota, dan disiplin. Di depan orang tuaku, aku masih anak lelaki bungsunya yang berbakti walau kadang sedikit membangkang. Di depan mertuaku, aku masih menantu yang setia dan bertanggung jawab. Aku baik-baik saja demi cintaku pada Putri.
“Kamu pasti suka hyacinth itu, Dek?” gumamku sambil menatap vas kecil di jok samping.
Bunga hyacinthus warna biru dan merah muda dengan aroma semerbak itu terlihat segar. Kelopak kecilnya tak henti menyebarkan aroma harum ke seisi mobil sama seperti cinta Putri. Sore ini, aku cukup cepat mengakhiri pertemuan aneh dengan dokter muda itu. Demi segera bertemu Putri dan merayakan 2 tahun perpisahan kami. Seperti biasa, aku akan datang ke tempat itu dan melepas rindu padanya.
---
“Hai Rembulanku, 2 tahun kita terpisah Sayang. Terasa baru kemarin kamu pergi. Air mata Mas saja masih basah,” gumamku sambil memainkan rumput hijau yang perdu di atas tanah makamnya, “apa kabarmu?”
Kusebarkan kelopak bunga mawar merah dan putih ke atas rumput hijau itu. Aroma wangi menyeruak segar dan memperbaiki moodku. Sejenak kutengadahkan tangan dan k****a doa ziarah kubur. Berharap dengan doa ini ia tenang dan tak kegelapan di bawah sana. Kuharap ia selalu bahagia dalam pelukan Tuhan. Dan kuharap hatiku segera dapat obatnya, sedikit saja agar aku bisa meneruskan hidup.
Kubuka mataku perlahan, sinar dunia mulai merasuk ke dalamnya. Air mataku basah, lagi. Tangis itu tak sadar telah mengalir karena aku terlalu merindukannya. Dua tahun ini bukan waktu yang mudah. Terasa lama sekali kuhabiskan waktu demi waktu ini. Bertingkah seolah baik saja walau sebenarnya tak pernah baik sejak kepergiannya. Kuelus nisan bertulis ‘Putri Purnamaria Kirana’ itu. Sepertinya ia sedang berkata, “sudah bertemu wanita baik lagi belum?”.
“Ah, belum Sayang. Belum ada yang bisa menggantikanmu, mungkin tak ada yang bisa,” gumamku seolah menjawab pertanyaan yang entah datang darimana itu.
“Tapi tenang saja, janji tetap janji kok. Mungkin 10 tahun lagi mas baru ketemu perempuan baik seperti yang kamu inginkan itu, Dek,” timpalku lagi.
“Payung hitam?” sebuah suara mampir ke telingaku.
Aku mendongak dan mendapati seorang gadis berambut lurus hitam sepunggung. Berkulit putih. Bermata bulat. Berwajah tirus. Bergaun katun warna kuning dengan cardigan coklat. Bersepatu flat warna hitam. Ketika mendekati posisi jongkokku, aroma magnolia vanila menyeruak dari tubuh mungilnya. Ya Tuhan, gadis ini punya aroma tubuh yang sama dengan Putri? Gadis ini kan…
“Kue ulang tahun!” balasku heran. Ia tersenyum dan menunjukkan lesung pipinya yang dalam.
“Akhirnya kita ketemu. Sudah lama saya ingin mengembalikan payung ini pada Bapak,” ucapnya pelan. Ia menyodorkan payung. Aku hanya tertegun, tak bisa menjawab.
Angin sepoi meniup sore yang redup. Meniup tubuh tinggiku yang sedang duduk di sebuah bangku beton di dekat parkiran pemakaman. Aku tak sendiri, di sebelahku ada dia. Dia adalah gadis bergaun kuning yang selalu membawa kue ulang tahun itu. Dua tahun yang lalu, aku juga bertemu dengannya. Bahkan, aku memberikan payung milikku karena iba. Siapa yang tahu kalau kami bertemu lagi di jam dan tempat yang sama.
“Jadi ulang tahunmu 31 Januari?” bukaku pelan sambil meminum air mineral dari gelas.
Tanpa menatapku, “iya, tanggal kematian mama. Hari kelahiran saya adalah hari kematian mama.”
“Ini bukan pertemuan pertama kita kan, Pak?” imbuhnya lagi dengan suara yang hangat.
“Iya memang bukan. Lantas selama 2 tahun ini kamu selalu membawa payung itu?” ia mengangguk kuat. Masih tanpa menatapku, padahal aku tak henti menatap wajahnya. Hidung mancungnya mirip Putri.
“Hari kelahiranmu juga hari kematian istriku,” imbuhku pelan. Ia akhirnya menatapku lurus, kami saling berpandangan.
“Maaf…” ucapnya tak enak, “jadi yang terbaring di situ istri Bapak?”
“Ya!” aku mengangguk tegas.
“Jadi Bapak duda,” simpulnya polos. Anehnya, aku merasa geli mendengar kesimpulan gadis yang baru kukenal itu.
“Kurasa itu bukan kalimat yang sopan untuk orang yang baru 5 menit ngobrol,” ucapku sinis.
“Maaf lagi deh, Pak. Maaf kalau saya tidak sopan,” ia merasa tak enak lagi lantas meminum cepat air mineral gelasnya.
“Uhuk!” ia terbatuk. Bingung sendiri sambil memukul kecil dadanya. Aku hanya meliriknya dingin. Cukup lucu melihat tingkahnya.
Aku tak bisa menahan getar bibirku, “siapa namamu?”
“Huffft, akhirnya tanya juga,” ia terbebas dari sedakan air itu dan membuatku aneh, “Arsylla, nama saya Arsylla.”
“Arsylla?” ulangku yang dibalasnya dengan anggukan.
“Arsylla Bulan Purnamaria,” ungkapnya lagi yang membuatku terkesiap.
Siapa yang tak kaget mendengar nama lengkapnya barusan. Pertama, namanya sangat indah. Kedua, ia punya nama seperti rembulan, rembulan dalam duniaku adalah Putri. Ketiga, nama akhirnya adalah nama Putri, ‘Purnamaria’. Keempat, ia punya hari lahir yang merupakan hari kematian Putri. Apa ini sebuah kebetulan atau memang sebuah takdir. Ia punya banyak kesamaan dengan istriku, Putri. Siapa gadis asing ini sebenarnya? Ia berhasil membuatku penasaran di 7 menit pertemuan kami.
“Kenapa setiap ulang tahun kamu selalu ke sini?” tanyaku begitu saja.
“Sama seperti Bapak. Saya merindukan mama setiap ulang tahun,” jawabnya singkat. Dia terlihat santai dan tenang kendati kalimatnya menyedihkan.
“Saya sering ke makam istri saya kok. Tidak setahun sekali sepertimu,” kilahku berusaha dingin kendati hatiku masih penasaran dengannya.
“Setiap hari saya sibuk bekerja demi bertahan hidup. Saya harus tetap hidup demi mama. Wasiat beliau, cukup ingat mama setahun sekali saja. Saya tidak boleh terlalu terpuruk dan susah,” deg, penuturannya membuatku tersindir.
“Bukan karena kamu tidak menyayangi mamamu?” ia menggeleng tegas.
“Saya sayang sama mama, makanya saya hidup baik-baik saja. Hidup tetap berjalan setelah kematian orang yang kita cintai. Bapak juga harus begitu ya?” ucap dan pesannya sambil berdiri dan mengibaskan roknya yang kusut.
Aku mencegahnya pergi, “mau kemana?”
“Saya harus bekerja,” ia tersenyum manis, senyuman yang mirip dengan Putri. Senyum tulus dan menenangkan.
“Saya ingin bertanya!” cegahku yang membuatnya menoleh sedikit, “kamu tidak punya pakaian lagi? Bukankah dua tahun yang lalu bajumu juga seperti itu?”
“Ini baju mama, khusus saya pakai setiap merayakan ulang tahun di sini. Sehari ini saya ingin hidup dengan mengingatnya,” jawabnya sambil berjalan pelan.
Ia semakin menjauh hingga hanya punggungnya yang tampak kecil. Siapa gadis bernama Arsylla barusan itu? Ia meninggalkanku di sini dan membuat hati ini berdebar kencang. Baru kali ini berdebar lagi setelah 2 tahun mati. Kurasa bukan karena hal semacam cinta, tetapi lebih pada rasa penasaran. Darimana datangnya gadis penuh filosofi itu? Darimana datangnya gadis bernama mirip istriku itu? Darimana datangnya gadis pemilik aroma tubuh yang sama dengan istriku itu? Kenapa ia selalu ada di setiap hari kematian Putri?
Ah, tidak-tidak. Tahun lalu, ia tak datang bersamaan denganku. Mungkin waktu kami tak sama. Tapi tahun kedua ini, kami kembali bertemu secara tak sengaja. Setiap tahun bahkan ia selalu menungguku untuk mengembalikan payung hitam itu. Apa memang ia selalu menungguku, hanya untuk sekedar mengembalikan payung itu? Semua terasa aneh saat ini, terutama dengan kesamaan yang ia miliki dengan Putri. Memusingkan. Ah, mungkin hanya sekedar sama. Sudahlah, aku terlalu melebihkan.
---
“Pulanglah ke rumah, Sa?” pinta suara pelan di depanku.
Aku hanya menatap wajah ayunya dengan hampa. Tanpa semangat yang kuat seperti dulu. Semua telah berubah antara aku dan beliau, ibu kandungku. Barusan mama memintaku untuk pulang ke rumah karena memang 2 tahun aku jarang pulang. Aku lebih suka menghabiskan waktu di rumah dinas. Rumah dinas terasa lebih lega daripada rumahku sendiri.
Bukan tanpa alasan, tapi bertemu dengan mama membuat hatiku tersudut bara rokok, sakit. Entah kenapa aku merasakan sakitnya kematian Putri setiap melihat wajah mama. Mungkin karena mama yang menyatakan kepergian Putri untuk selamanya karena memang mama dokternya. Kutahu itu bukan salah beliau, sama sekali bukan. Tapi, hatiku terasa hampa saja. Aku malas kembali ke rumah dan dipaksa baik-baik saja.
“Saya punya rumah dinas, Ma. Komandan menyuruh saya untuk stay di batalyon,” jawabku sambil menyeruput kopi pahit. Mama menyentuh tanganku hangat.
“Sa, kamu kurus sekali Nak? Mama tahu, kamu sakit setiap melihat wajah mama. Tapi, mama mohon pulanglah ke rumah. Mari kita berkumpul seperti dulu,” bujuk ibuku alot.
Aku tersenyum dingin, “Ma, berikan saya waktu sejenak lagi. Saya benar-benar suka tinggal di asrama.”
“Bukan karena kamu membenci mama?” tanya ibuku lekat.
“Untuk apa membenci mama. Kepergian Putri bukan kesalahan mama,” simpulku sakit.
“Mama memang salah tidak memberitahumu sejak awal. Tapi semua karena permintaan Putri,” ujarnya lagi. Aku menahan tangan ke udara.
“Stop Ma, tidak usah membahas itu lagi,” cegahku tak suka.
“Lalu kenapa kamu menolak Elia, Sa? Dia kurang apa?” beliau mulai membahas perjodohan konyol itu.
“Mama sudah tahu jawabannya kan? Tidak usah susah payah menjodohkan saya, Ma,” ucapku pelan.
“Dia sehat, Sa. Mama sudah memeriksanya sendiri,” aku tersenyum sinis.
“Ah, sudahlah Ma,” tutupku tak suka.
Ibuku menyerah. Akhirnya, dokter senior itu terdiam dan menghapus air matanya. Memang benar, penyakit yang merenggut nyawa Putri itu telah ia ketahui sejak lama. Bukan hanya ia yang tahu melainkan mama juga. Mereka berdua menyimpan rahasia menyakitkan itu sejak aku dan Putri pengajuan nikah di kesatuan. Bak orang t***l, aku baru diberitahu di saat yang lambat, di saat kepergian Putri sudah dekat. Alasan itupula yang membuatku dingin pada beliau. Aku merasa sakit.
Tak hanya itu, kepergian Putri menyisakan luka trauma padaku. Sebelum pada akhirnya membuka diri pada perjodohan, aku punya syarat. Perempuan yang dijodohkan denganku harus perempuan yang sehat. Ia harus menjalani general check-up sebelum dikenalkan. Persis seperti pemilihan sapi kurban. Mau dikata apa, aku hanya ingin dekat dengan wanita yang sehat. Kalau aku cocok dengannya, paling tidak ia bisa hidup lama denganku. Kejam ya aku?
“Bluk!” suara pintu mobil yang tertutup di sebelahku.
Setelah 30 menit bertemu dengan mama, aku berpamitan pergi. Kututup percakapan yang sama itu dengan cara yang sama pula. Masih tanpa kepastian dan penuh penolakan untuk pulang. Kematian Putri 2 tahun yang lalu masih jadi luka yang hebat buatku, buktinya aku menangis sekarang. Kutumpahkan air mataku di atas setir mobil yang masih berhenti di depan kedai kopi. Seragam di badan tak bisa menguatkan pertahananku. Aku tentara yang rapuh di balik keangkeran seragam ini.
“Duk-duk-duk,” sebuah ketukan halus membuyarkan tangisku. Aku mendongak dan mendapati seorang perempuan berwajah tirus dengan senyum dua lesung pipi menyapaku.
“Kamu!” celetukku pelan.
“Mau beli bunga, Pak?” tawarnya pelan dari balik kaca jendela. Tangan mungilnya membawa nampan berisi vas bunga hyancintus merah muda. Senyum kecil lesung pipi merekah dari wajah sumringahnya.
***