Lima

1866 Kata
“Esok, belum tentu Putri bisa menikmati malam bersamamu.” “Aku gak apa-apa, Mas. Cuma sakit, dikit. Berasa digebukin sama orang sekompi.” “Mas harus janji sama aku, mas tidak boleh marah kalau kita membahas tentang perpisahan. Mungkin memang itu yang terbaik buat kita.” “Mas Aksa, aku tahu waktunya gak banyak. Aku rasa semua sudah dekat mas. Bukannya aku menyerah, tapi aku lelah. Semua ini sangat menyakitkan. Kulitku sudah mati rasa karena terlalu banyak kemasukan jarum. Aku kasihan sama badanku.” “Iya, Mas. Putri tahu itu sangat bahagia. Tapi, seandainya saja, seandainya kebahagiaan bukan akhir kita, mas harus tetap tersenyum ya? Sebab Putri juga akan pergi dengan senyuman. Sebab Putri sudah bahagia pergi sebagai istrimu.” “Mas harus semangat dan tak boleh menangis lebih dari semalam. Janji sama aku ya?” “Badanku hanya berpindah tempat mas. Cintaku tetap di hatimu, selamanya. Jangan menangisiku terlalu banyak ya, Mas? Aku gak mau mata mas sakit.” “Nantinya, mas harus bisa bertemu wanita baik yang lain.”             Suara-suara manis terakhir milik istriku masih terngiang jelas. Serasa ia berbicara di dekat telingaku saat ini. Padahal tubuh indahnya tak di sisiku lagi. Ia telah dibaringkan tempat istirahatnya yang terakhir. Tertidur dengan damai tanpa sakit lagi. Meninggalkan kenangan indah dan pahit di antara kami yang ditinggal ini. Memang, ia telah pergi dengan senyuman tipis di balik masker oksigennya. Ia benar-benar pergi dengan senyuman, padahal itu sakit.             Dengan pelan, kutaburkan kelopak bunga mawar merah putih di atas pusaranya. Kulirik batu nisan bertulis nama ‘Putri Purnamaria Kirana, Malang 1 Desember 1992’. Nama yang sangat indah yang pernah kusebutkan. Seindah orang dan kenangannya. Sayup kudengar tangisan seru dari ibu mertuaku yang acapkali pingsan. Pasti ini berat bagi beliau yang telah melahirkan istriku itu. Ekspresi sama juga ditunjukkan oleh adik iparku yang jauh datang dari Surabaya. Ia memang sedang menempuh pendidikan di AAL, Bumimoro.             Aku? Berusaha tegar dan kuat kendati batin dan hatiku tak berbentuk lagi. Mereka sudah remuk redam karena perpisahan alam ini. Hanya satu yang tersisa di dalam sana, cintaku pada Putri yang tak pernah lekang. Sama seperti janjiku, aku hanya ingin tegar dan tersenyum ketika melepasnya. Samar kuingat wajahnya sesaat sebelum dikafani, ia tersenyum tipis dalam dekapan selimut terakhirnya. Seolah bahagia karena telah meninggalkanku dan tak sakit lagi.             Siapa yang sangka kalau malam pengantin yang sedianya indah malah berakhir tragis di rumah sakit. Bahkan keesokan harinya, Putri meninggalkanku selamanya. Siapa yang sangka percakapan menyakitkan itu jadi yang terakhir. Siapa yang sangka kalau pertengkaran itu jadi yang terakhir. Siapa yang sangka kalau ciuman sebelum aku dinas itu jadi terakhir. Bahkan, mungkin Putri sendiri juga tak menyangka.             Hingga dengan berani ia mengatakan wasiatnya. Bahkan, semua kata-katanya adalah wasiat. Aku tak boleh menangis lebih dari semalam, aku tak boleh bersedih terlalu lama, aku harus melepasnya dalam senyuman, bahkan aku disuruh bertemu dengan wanita baik nantinya. Bagaimana bisa aku menepati semua wasiat itu bersamaan? Bisa gila aku! Kehilangan terbesar tapi aku disuruh baik-baik saja. Itu sangat mustahil. “Yang sabar ya Mas Aksa?” ucap salah satu pelayat sambil menyalamiku. “Siap!” jawabku tegas, sebab beliau adalah komandan batalyonku. “Kami turut berduka cita. Semoga sekeluarga diberikan kekuatan.”             Ucapan sebagian besar pelayat terdengar sama. Semua ikut berduka dengan kepergian istriku. Kecuali matahari pagi pukul 8 yang terasa hangat. Alam terlihat menerima Putri dengan bersahabat. Sama seperti pesan terakhir, ia ingin pergi dalam keadaan bahagia. Benarkah memang ini yang kamu inginkan, Dek? Sudah bahagiakah kamu sekarang? “…Putri benar-benar bahagia walau keadaannya seperti ini. Ini adalah momen terindah dalam hidupku. Makanya aku takkan menangis kesakitan. Kelak, kenanglah sakit ini dalam senyuman ya Mas? Mas tidak boleh bersedih…”             Ya baiklah, aku berusaha takkan sedih lagi Dek. Aku akan mengenangmu dalam senyuman meski itu bercampur dengan air mata. Katamu, aku boleh menangis asal tak lebih dari semalam. Setelah ini, setelah aku sendiri, aku akan menangisimu sepuasnya. Mungkin setelah itu, luka di hatiku ini bisa sembuh sendiri. Sekiranya itu yang bisa kukatakan sambil meratakan bunga wangi di atas pusara dan menyentuh nisanmu. Jujur, aku sudah merindukanmu Dek.             Betapa cepat waktu memisahkan kita. Rasanya 5 tahun yang sudah kita lewati ini terasa singkat sekali. Masih segar ingatanku saat awal perjumpaan kita. Kamu malu-malu menjabat tanganku. Siapa sangka kalau aku jatuh cinta pada adik kelasku di SMA. Suka dan duka kita lewati sebagai pasangan LDR Malang-Magelang. Belum lagi LDR Malang-Bandung. Belum lagi LDR Malang-Lebanon. Semua kita lewati dengan manis.             Kisah kita makin sempurna ketika kamu selalu ada dalam tawa dan tangisku. Kamu semangatku tatkala aku jatuh di pendidikan. Kamu jadi kakiku ketika aku tak kuat berdiri. Kamu semangatku satu-satunya. Kamu juga jadi air mata bahagia, sedih, dan kehilanganku. Kamu adalah kehilangan terbesar, Dek. Tapi benar katamu, kamu hanya ingin terkenang manis di benak semua orang. Kamu orang baik, Dek. Kami semua sayang sama kamu, tapi Tuhan yang paling mencintaimu. “Hello Moonlight, apa kamu sudah bahagia sekarang? Kamu pasti sudah tak sakit lagi. Kamu pasti sedang menari di antara bintang-bintang,” gumamku di dekat jendela lebar sambil memandangi rembulan yang ditutupi kabut.             Ini malam pertamaku tanpa ia. Kami terpisah jauh, sangat jauh sekarang. Entah di alam yang mana dia sekarang, yang jelas aku sangat merindukannya. Sayup terdengar suara orang mengaji mendoakannya. Sementara itu, aku memilih terbenam di dalam kamar lamanya dan memandangi bulan. Bukan tak mau mendoakannya, hanya aku masih ingin sendiri. Sendiri bersama kenangan manisku dan dia, kenangan kami. “Mas tahu impian terbesarku? Bangun di pagi hari dan menoleh ke samping, ada kamu yang masih terlelap. Dengan mata terpejam, hidung kembang kempis, dan mulut yang setengah terbuka. Kamu pasti lucu.” “Ha, kamu ini Dek. Bahkan kamu belum sempat mewujudkan impianmu sendiri,” gumamku sambil tertawa kosong. Air mataku menetes lagi. “Bahkan, sekarang mas gak tahu masih bisa tidur atau gak. Kecuali kalau kamu datang ke mimpi, pasti mas cepat tidur. Bahkan, mas pasti suka tidur,” gumamku lagi sambil menatap bingkai fotonya. Ia tersenyum manis dalam balutan kebaya kuning saat wisuda. Cantik sekali kamu, Dek. “Kamu bahagia sekali ya Rembulanku? Maaf ya, di saat terakhir, mas selalu lupa tak mengucap kata cinta. Mungkin karena kata cinta tak cukup menggambarkan perasaan mas sama kamu,” aku mirip orang gila sekarang, bicara sendiri sambil menatap bingkai foto. --- “Hai Dek! Mas datang lagi!”             Aku berjongkok di dekat pusara dengan bunga yang sudah layu. Di tengah cuaca kota Malang yang mendung. Beberapa karangan bunga dan vas bunga hyacint masih tersisa di dekat pusara istriku. Pasti ia senang sekali karena ditemani oleh bunga kesayangannya. Hari ini, 7 Februari 2015, sedianya akan jadi hari pernikahan kami yang indah itu. Namun, hari ini telah jadi sepekan kepergian Putri untuk selamanya.             Siang ini, aku baru pulang dari dinas. Komandan tampaknya tak memberiku porsi dinas yang penuh. Entah karena iba atau sungkan pada ayah mertuaku, aku disuruh dinas setengah hari. Lebih baik, kumanfaatkan untuk datang ke sini. Seperti biasa, aku mengunjungi tempat istirahat Putri. Sekedar melihat nisannya. Atau mungkin menyiram tanah yang mulai mengering dengan air mineral kesukaannya. Atau mungkin menunjukkan foto pernikahan kami yang baru saja jadi. Setidaknya, aku ingin selalu di sampingnya. Menebus semua waktu yang ia pakai untuk menungguku selama ini. “Mas sudah tak menangis lagi, Dek. Mas menepati janji kan?” itu benar, aku hanya menangis puas dalam semalam saja. “Sisanya, mas pakai untuk tersenyum. Mas harus kuat kan supaya ayah ibu dan papa mama tidak sedih,” itu benar. Aku banyak tersenyum, walau hampa. “Lihat foto nikah kita, Dek? Bagus kan? Kamu terlihat cantik sekali walau agak kurus. Pasti kamu senang kan dipuji kurusan,” godaku jenaka sambil menunjukkan layar ponsel ke atas pusara. “Mas akan menepati janji itu satu persatu, Dek. Kamu yang tenang di sana ya? Sabar menunggu mas,” ulangku sekali lagi. Tak ada jawaban. Mana ada jawaban kalau aku bicara dengan tanah.             Ah sudahlah, toh aku sedang berbicara dengan Putri di bawah sana. Mungkin ia tak bisa mendengarku. Mungkin aku juga tak bisa mendengarnya. Tapi, aku percaya dia masih ada di dekat sini. Ia masih hidup dalam hatiku. Bahkan, aku hanya ingat pada semua senyumannya. Benar katanya, hanya senyum bahagia yang tertinggal sebagai kenangan. Kupikir, betapa beratnya ia menahan sakit karena harus berpura-pura baik saja, berpura-pura kuat kendati ia kesakitan. “Selamat ulang tahun, mama ucapkan. Selamat ulang tahun mama kan doakan. Semoga panjang umur dan ba…ha…gia…”             Sebuah suara merdu bergetar memecah lamunanku. Aku terkesiap terkaget dan langsung mencari asal suara. Siapa gerangan yang mengusik kesedihan dan ketenanganku? Perasaan tadi sepi dan tak ada orang. Entah siapa yang mengadakan kunjungan di tempat seperti ini? Bahkan menyanyikan sebuah lagu ulang tahun bernada sedih dengan suara bergetar.             Kudapati sebuah gadis berwajah tirus berkulit putih dengan rambut panjang tergerai. Ia berbaju rok katun warna kuning gading yang dilapisi cardigan. Ia berada di depan sebuah makam yang sudah ditumbuhi rerumputan hijau bernisan hitam. Di tangannya terbawa sebuah nampan kecil berisi kue krim warna putih dengan hiasan lilin angka 20. Sepertinya ia sedang merayakan ulang tahun. Siapa pula orang yang nekat merayakan ulang tahun di pemakaman? Apa dia sedang bersedih kehilangan sama sepertiku? “Mama…ulang tahunku sudah lewat seminggu yang lalu. Maaf ya karena Arsylla terlalu sibuk sehingga lupa merayakan ulang tahun bersama mama,” benar dugaanku. Ia sedang merayakan ulang tahun di depan pusara ibunya. Ah, aku jadi mengamati orang lain di saat aku sendiri sedang sedih.             Gegas aku berdiri. Sebab hujan rintik mulai mengguyur. Untung saja aku sempat membawa payung kecil lipat. Sebab, kutahu langit sedang tak bersahabat. Kuucapkan salam perpisahan pada istriku. Tenang saja, esok atau lusa aku pasti datang lagi. Sebab ini caraku melunturkan rindu. Hanya ini satu-satunya caraku agar masih bisa jadi waras kendati aku hampir gila. “Mama, terima kasih ya sudah memberi Arsylla hidup mama. Arsylla akan selalu bahagia sama seperti 20 tahun ini sebab mama telah menyerahkan semuanya. Mama juga harus bahagia ya? Terima kasih sudah melahirkan Arsylla. Dan maaf karena sudah membuat mama pergi.”             Deg, langkah kakiku terhenti ketika ingin meninggalkan makam istriku. Kalimat gadis asing yang bernama Arsylla itu terdengar nyaring di telingaku. Entah kenapa, kami merasakan kehilangan yang sama. Bahkan, ulang tahunnya adalah hari kematian sang ibu. Persis seminggu yang lalu, sama seperti kepergian Putri untuk selamanya. Ternyata, kami punya kisah hidup yang sama, tragis.             Aku menatap payung di atas kepalaku. Payung hitam ini melindungiku dari hujan yang makin deras. Tapi, tidak melindungiku dari air mataku yang ingin mengalir. Dan sepertinya, ada yang lebih butuh payung ini daripada aku. Ya, gadis itu. Ia bahkan tak peduli dengan kuenya yang mulai hancur tertimpa hujan. Apa aku pantas untuk peduli pada orang lain? Kendati aku sama hancurnya? Ah sudahlah, bukan aku satu-satunya yang kehilangan di sini, bukan? “Pakai ini!” ucapku pelan seraya pergi meninggalkan gadis asing yang sedang menangis itu.             Aku berjalan cepat meninggalkannya. Tak peduli lagi dengan tangisan keras dari langit yang menimpa tubuhku. Sekali kulirik gadis asing itu sebelum masuk ke dalam mobil di parkiran. Ia masih duduk mematung di depan pusara ibunya dan memegang payungku dalam posisi miring. Mungkin deritanya tak sebanding denganku. Hingga 20 tahun ia harus hidup dalam bahagia semu. Hidup di atas kematian ibunya, itu sama menyakitkan dengan ditinggal pasangan sejati selamanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN