Keesokan pagi, Kirana sudah siap untuk berangkat kerja. Kirana memakai rok pendek selutut dan kemeja lengan panjang berwarna biru muda. Kirana hanya memakai riasan tipis dan membawa tas berukuran sedang yang berisi ponsel dan dompet saja. Sisa uangnya hanya ada beberapa lembar sepuluh ribuan saja. Kirana menolak saat Gerald ingin memberikan uang tadi malam saat mengantarkannya pulang.
Kirana merasa bukan wanita malam atau wanita panggilan yang selesai ditiduri lalu mendapatkan uang. Hidup miskin itu ternyata sekejam itu.
Pagi ini, Kirana harus memesan ojek online agar ia tiak terlambat sampai di Kantor barunya. Jujur, Kirana belum tahu persis dimana letak kantor milik Gerald. Kirana juga baru satu bulan berada di Kota ini.
Kirana adalah gadis yatim piatu yang dirawat oleh saudaranya dengan kejam. Beruntung, Kirana bisa sekolah tinggi karena kecerdasannya dan mendapatkan beasiswa.
Kirana bertekad menjadi wanita mandiri dan kuat yang tidak lagi bisa ditindas oleh orang lain terutama saudara yang sudah membuatnya tidak dimanusiakan selama ini.
Satu bulan ini, Kirana hanya luntang lantung tidak jelas dengan bekal uang satu juta rupiah hasil dari sisa beasiswa yang bisa dicairkan. Kirana berani mengambil keputusan pergi dari rumah dan mencari kehidupan yang layak.
Kirana haarus tinggal ditempat yang kotor dan kumuh karena hanya memiliki uang sedikit saja untuk biaya sewa. Sisa uangnya ia pergunakan untuk makan, foto kopi ijasah dan biaya transportasi yang tidak sedikit. Untung saja, ia mendapakan pekerjaan. Kalau tidak, ia bakal menjadi gembel beberapa hari lagi. Perlahan Kirana mengelus perutnya. Semoga saja ketakutaannaya tidak menjadi kenyataan. Ini sungguh menyeramkan sekali bila kehamilan itu benar -benar ia rasakan. Ia harus mengandung benih lelaki yang tidak dikenal tanpa ada ikatan pernikahan. Sungguh malang sekali nasibnya.
***
Gerald terlihat bersemangat sekali pagi ini. Entah kenapa, ia jadi memkirkan Kirana. Semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena pikirannya tertuju pada Kirana.
Emilia masih berada di depan cermin meja riasnya. Sejak tadi ia melihat gerak gerik Gerald yang terkesan aneh sekali. Sudah beberapa kali, Emilia lihat, Gerald menatap jam tangannya. Seperti memiliki janji dengan orang lain dan takut sekali bila terlambat.
Cara berpakaian Gerald juga nampak berbeda. Gerald lebih nampak rapi dan berulang kali menyemprotkan parfum hingga wanginya dua kali lipat dari biasanya.
"Tumben?" ucap Emilia sambil memoles wajahnya dengan blush on berwarna orens.
Gerald menoleh ke arah Emilia sambil merapikan jasnya.
"Tumben apa?" tanya Gerald dengan raut wajah bingung.
"Kamu! Kamu tumebne banget kelihatan rapi dan wangi. Biasanya gak gitu. Bangun aja susah, disuruh ke kantor juga nanti dan nanti. Sekarang kayak semangat banget. Ada apa sih?" tanya Emilia pada Gerald.
"Gak ada apa -apa. Kamu aja yang gak pernah peduli sama aku, Em. Jadi kamu anggap aku berubah. Udah, aku gak mau berdebat pagi. Aku mau sarapan duluan, aku sudah lapar," ucap Gerald dengan lantang. Gerald pun langsung berjalan menuju pintu kamar lalu keluar dan turun ke bawah.
Ruang makan yaang luas dengan meja makan yang besar terlihat sunyi dan sangat sepi. Mereka hanya berdua saja. Rumah besar ini terlalu banyak asisten rumah tangga dengan job desk yang sudah ditentukan masing -masing. Emiliaan belum tentu satu sulan sekali masuk dapur sekedar melihat suasana dapur. Istrinyaa itu terlalu sibuk dengan pekerjaanya. Salah, kalau Gerald mencari kenyamanan sendiri denagn menenangkan hidupnya menyendiri di apartemen. Ia merasa bebas melakukan apapun disana. Bukan bebas selingkuh atau main perempuan. Gerald bukan lelaki yang suka main celap celup sesuka hati. Kalau pun ai mau, ia sudah memesan banyak wanita malam setiap malam untuk memuaskan birahinya.
Gerald sudah mengambil makanan dipiringnya. Menu sarapan yang sebenarnay sangat membosankan sekali. Tapi mau bagaimana lgi. Gerald lebih malas harus pergi ke kantin dan memilih lalu mengantri makanan. Sungguh menyebalkan sekali.
Emilia sudah selesai bersiap. Pagi ini, ia masih harus lanjut dengan job iklan yang diterima beberapa hari lalu saat masih berada di luar negeri.
Pakaian Emilia sangat seksi dan menantang. Tubuhnya yang langsing dan putih sangat pantas memakai pakaian terbuka seperti itu. Gerald sendiri sudah terbiasa dan tidak lagi memiliki rasa gereget. Hatinaya tak pernah berdebar melihat tubuh polos Emilia.
"Makan sedikit?" tanya Emilia melihat sisa makanan yang sudah tinggal satu suap lagi dipiring Gerald.
"Banyak. Sudah masuk perut," jawab Gerald dingin.
"Jangan lupa minum vitamin dan obat herbal," titah Emilia pada Gerald.
"Iya," jawab Gerald datar. Ia segera menyelesaikan sarapan paginya dan menyeruput habis kopi di dalam cangkir.
Gerald berdiri dan menghampiri Emilia yang sedang memotong daging. Gerald merangkul Emilia dan mencium pipi Emilai dengan penuh kasih sayang.
"Aku berangkat dulu, ya," pamit Gerald pada Emilia.
"Iya sayang. Hati -hati ya," jawab Emilia begitu lembut.
"Kamu juga hati -hati," jawab Gerald santai.
Gerald memang tidak pernah bertanya pada Emilia. Dimana istrinya hari ini bekerja. Di indoor ataau outdoor.
Emilia menatap punggung Gerald yang semakin lama menjauh dari pandangannya. Ia merasakan ada yang aneh. Mungkin siang nanti setelah pemotretan, Emilia akan mampir ke Kantor Gerald untuk mencari tahu.
Ponsel Emilia bergetar dan berbunyi sangat nyaring. Emilia menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah nomor asing.
"Halo ..." jawab Emilia dengan suara ketus.
"Baby ... Aku rinndu padamu ..." Suara dari seberang sana begitu merindu. Carabicaranya seperti sudah sangat kenal lama.
"Siapa kamu?" tanya Emilia to the point. Emilia memang tidak asing dengan suara dan nada bicaranya. Tapi ia ingin memastikan bahwa semua yang ia dengar itu tidak sepenuhnya benar.
"Baby? Kamu lupa?"
"Hmm ... Jack?"
"Akhirnya kamu ingat juga."
"Aku sibuk!"