Mengikat

1076 Kata
“Anjani.” Alvaro memanggil beberapa kali pada wanita itu. Saat dilihatnya Anjani sedang makan keripik kentang di ruang tengah sambil menonton televisi. “Ada apa, Kak?” “Besok ke kantor, ya. Kamu jadi sekretarisku.” “Heh?” Pulang-pulang malah memberitahukan kepada Anjani bahwa kabar baik diberikan oleh Alvaro pada wanita itu. Dikembalikannya Alvaro ke kantor oleh Arman adalah kabar baiknya untuk saat ini. Kabar buruknya adalah ia tidak ingin kalau Anjani ketahuan telah melakukan kesalahan waktu itu. Alvaro yang duduk di sebelah Anjani. “Tapi kamu nggak masalah tinggal sendirian? Jarak dari rumah kamu ke kantor juga cukup jauh. Kalau nggak keberatan, kamu tinggal di sini. Aku bakalan balik lagi ke apartemen atau di rumah orangtuaku. Nggak mungkin kita tinggal bareng lagi, Anjani.” Anjani menganggukkan kepalanya. Tidur sendirian di sini, kalau ada apa-apa juga harus mengurus sendiri. “Kakak tega ninggalin aku?” “Kenapa emangnya?” “Aku nggak pernah tinggal sendirian, Kak. Jadi kalau kakak pergi dari sini. Aku juga harus pergi dari sini.” “Anjani, tinggal di tempat seperti ini agak sensitif menurutku. Kalau kamu mau tinggal sama aku. Otomatis kita pindah ke apartemen aku. Nggak bisa di sini terus. Karena aku nggak mau lihat pandangan orang kayak gimana. Apartemen bebas, nggak ada yang urus. Di sana urus diri sendiri. Kalau kamu mau, besok urus pindah dulu, baru nanti ke kantor.” Anjani juga tidak mau tinggal sendirian di sini. Agak mengerikan kalau tinggal sendirian di rumah yang tanpa pengaman ini. “Aku ikut kakak saja. Tapi kalau kakak keberatan ya aku tinggal di rumah orangtuaku.” “Kasihan kamu harus jauh ke kantor. Kamu tenang saja, kita tinggal di apartemenku.” “Rena?” “Kamu sudah tahu kan hubungan aku sama dia udah usai, nggak perlu lagi dikhawatirkan. Kamu fokus kerja saja. Lagi pula kamu sekretaris. Ika mau aku pindah ke kantor Surabaya. Biar nanti dia urus di sana. Dia jadi pemimpinnya. Selama ini dia juga ikut sama aku dan kinerja dia bagus sekali.” Ia meletakkan kemasan keripik itu lalu membersihkan tangannya dengan tisu. Memuji kinerja Ika di depan Anjani tentu saja membuat wanita itu langsung menciut. Anjani juga tidak ada pengalaman apa-apa. Menyadari dengan gerak geriknya Anjani yang aneh. Alvaro mengangkat sebelah alisnya, melihat Anjani yang hanya diam. “Kenapa?” “Nggak ada.” “Kamu nggak nyaman?” ia berujar dengan lembut. Tersenyum kepada wanita itu kalau mungkin penolakan itu membuat Anjani tidak enak hati pada waktu itu yang mengaku hamil. Alvaro yang sudah tinggal beberapa lamanya dengan Anjani tapi sekarang baru merasakan kalau wanita ini sangat baik. Lembut dan juga perhatian. Ingat waktu Alvaro beberapa waktu lalu ikut makan rujak mangga malam hari dengan Anjani tapi sudah dilarang, ia malah tidak mendengarkan wanita itu. Hingga akhirnya perutnya sakit. “Anjani.” “Ya?” Alvaro tersenyum, bagaimana bisa dia punya alasan sekarang melihat pesona Anjani yang walaupun waktu itu terlihat sangat resek sekali. Tapi sebenarnya dia sangat baik. “Kamu semangat kerja, ya. Aku balik ke kamar dulu.” Bangkit dari tempat duduknya barusan, meninggalkan Anjani sendirian di ruang tengahnya. Alvaro juga ingin diam-diam untuk dekati Anjani yang mungkin wanita ini adalah pilihan. Neneknya juga sering membahas tentang Anjani. Sebelum Alvaro dijodohkan oleh orangtuanya. Lebih baik mencari sendiri wanita yang akan menjadi pendamping hidup. Orangtuanya adalah pebisnis kelas tinggi yang pasti mencarikan jodoh terbaik untuk Alvaro. Tapi waktu itu mendekati Rena juga lantaran wanita itu terkenal di dalam bisnis fashion. “Kak, aku sudah masak. Kakak kapan makan?” Alvaro yang berbalik langsung menjawab. “Mandi bentar, ya. Kamu siap-siap saja dulu.” Sikapnya juga sudah berubah, setiap kali dia berdebat dengan Anjani pasti lantaran makanan. Sekarang tiba-tiba Alvaro terpana dengan wanita ini. Latar belakangnya juga ia sudah tahu. Pendidikan juga karakter wanita ini sudah dia ketahui. Kebiasaan-kebiasaan Anjani di sini dia tahu betul dengan pasti kalau wanita itu sangat baik dan juga lembut. Dia juga bisa melihat Anjani tertawa di rumah waktu itu bersama dengan kedua adiknya. Jarang-jarang bisa melihat Anjani tertawa seperti itu. Tapi Alvaro jujur pada diri sendiri kalau dia ada hal yang sulit dijelaskan kalau melihat Anjani. Makan malamnya berdua dengan Anjani pun harus tetap dia rasakan dengan sangat nikmat. Selesai mandi, juga menghampiri wanita itu yang sudah menyiapkan makan malam untuknya. “Kak, Papa tadi tanyain kakak.” “Tentang?” “Apakah kakak atau galak ke aku selama di restoran.” “Kamu jawab apa?” “Aku jawab nggak pernah marah.” Alvaro menganggukkan kepalanya dengan pelan. Tersenyum atau lebih tepatnya ia merasa dipuji oleh Anjani jika sedang seperti ini. “Kamu targetku, Anjani.” Ucapnya di dalam hati ketika dia dihidangkan makan malam oleh wanita itu. Selain pintar masak, wanita ini juga sangat cantik. Tidak menutup kemungkinan juga Alvaro tidak jatuh hati. Ini adalah alasan mengapa dia ingin kalau Anjani tetap ada di sisinya karena dia sudah mulai tertarik dengan kelembutan wanita itu. “Kak, mau ini nggak?” tawarnya. “Apa itu?” “Ayam panggang kecap pedas.” Alvaro mengiyakan. Kenapa rasanya bahagia sekali dilayani oleh Anjani, kebutuhannya dipenuhi juga. Termasuk konsumsi yang menjadi tujuan awalnya Anjani untuk ini. Mencicipi masakannya Anjani sampai ia takjub masakannya selalu enak. “Kamu di rumah kerjaannya emang masak terus, ya?” Anjani menatapnya dan menggeleng. “Nggak kok, Kak. Paling waktu diajak sama Mama aja. Kalau lagi sibuk Mama yang kerjain. Kan dulu lagi free, terus Mama bilang belajar masak, nanti biarpun suami kamu kaya, kamu harus bisa masak. Dia harus tetap makan masakan kamu. Buat dia rindu sama rumah. Mama selalu pesan kayak gitu.” Jangankan suami istri, sebelum menikah pun Alvaro sepertinya sudah jatuh hati dengan masakannya Anjani sekarang. Pasti akan terus rindu. “Nanti kalau di apartemen. Apa kamu akan tetap masak?” “Tergantung jam pulang kantor, Kak. Kalau jamnya bagus aku pulang masak. Kalau nggak ya nggak bisa dipaksain juga, kan. Aku harus kerja, belum lagi masak. Ya pasti capek banget.” Jadwalnya Anjani akan disesuaikan untuk itu, maka salah satu yang akan dilakukan oleh Alvaro adalah mencari cara bagaimana agar Anjani tidak keluar dari perusahaannya untuk tetap di sisinya. “Anjani, nanti kalau Mama misal ke kantor. Kamu jangan terlalu mencolok, ya. Maksudku jangan terlalu sering kelihatan. Kalau keluargaku datang, kamu silakan keluar saja.” “Oh oke, ada lagi?” “Nggak ada sih. Cuman ngingetin itu aja. Aku takut orangtuaku malah salah paham tentang kita berdua. Mengingat orangtuaku tahu aku sudah putus sama Rena.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN