Dikembalikan

1456 Kata
“Benarkah ini Ibu tiri?” ucap Alvaro di dalam hati ketika melihat perlakuan ibu tirinya Anjani yang sangat ramah sekali. Juga sudah menyiapkan banyak sekali bahan makanan yang akan dibawa ke tempat tinggal mereka. Anjani mengaku tinggal di kos. Jadi dia disiapkan semua ini oleh ibu tirinya. Kalau memang ibu tiri, tidak seperti ini perlakuannya. Namun, malah dia menganggap bahwa wanita itu ibu kandungnya Anjani. Apalagi dua adiknya yang laki-laki seperti bukan orang asing saja. Mereka adalah anak yang berbeda ibu dengan Anjani. Tapi perlakuan mereka sangat baik sekali. Memberikan uang kepada Anjani hasil menabung uang mereka selama ini yang dipaksa kepada Anjani untuk menerima itu semua. Walaupun rasanya masih tidak percaya. Akan tetapi Anjani tetap bahagia sekali melihat wanita itu tersenyum. Gelak tawanya Anjani juga lepas sekali di sini. Mana pernah dilihat oleh Alvaro bahwa wanita ini ternyata wanita yang sangat ceria. Ketika pamitan, ia diberikan uang juga oleh papanya. Disediakan obat-obatan oleh mama tirinya. “Apa itu benar Mama tiri kamu?” tanya Alvaro ketika mereka sudah pulang. Ia juga mendapatkan perlakuan baik dari semua anggota keluarga itu. “Ya, itu Mama tiri aku. Tapi baik banget. Makanya aku mau banget bahagiakan beliau. Soalnya dari kecil sabar banget rawat aku. Terus sekolah, nggak pernah dibanding-bandingkan. Pertama kali sekolah sambil gendong anak, bawa aku ke sekolah. Nungguin, bawain bekal. Makanya Mama di Surga juga pasti bahagia sekali lihat aku bisa dapat Mama sebaik itu. Papa juga nggak pernah lupa sama Mama aku. Itu juga Mama tiri aku sering ke makamnya Mama sama anak-anaknya yang lain. Waktu aku wisuda juga dianterin ke sana.” Alvaro diam, mendengarkan cerita itu sepertinya ada yang mustahil. Tapi ini terjadi di depan matanya langsung. Alvaro percaya kalau wanita sebaik Dewi memang ada. Nyatanya Anjani bisa bahagia seperti itu. Waktu itu Anjani berkata. “Kakak nggak balik lagi ke kantor? Jelasin ke orangtuanya kakak gitu?” “Belum kepikiran, tapi hari ini mau pulang ke rumah orangtua setelah anterin kamu pulang dulu. Aku ke sana bentar. Mungkin ada yang diambil. Mau ngomong juga sama Papa.” “Kenapa nggak biarin aku di rumah orangtuaku aja dulu? Soalnya kan kakak mau pergi?” “Di rumah saja. Biar pas pulang aku bisa lihat kamu.” Anjani diam, tidak berkata apa-apa. Rasanya seperti sedang ada modus terselubung dari Alvaro. “Hati-hati sama cowok, ya. Jangan terlalu percaya.” Ucapan itu terngiang di kepalanya karena ingat ucapan sang adik yang mengingatkan agar Anjani tidak terlalu percaya kepada pria lain. Anjani juga sepertinya ingin sekali punya pacar agar dia berhenti di sini. Anjani juga ingin bisa sukses agar bisa bahagiakan orangtuanya. Banyak sekali keinginannya yang ingin dicapai. Sampai di rumah. Alvaro bantu wanita itu untuk mengurus barang-barang yang diberikan oleh orangtuanya barusan. Begitu selesai dia berkata. “Kamu di rumah saja, ya. Aku berangkat dulu. Nanti aku pulangnya tetap makan malam di rumah.” Anjani mengiyakan. Alvaro yang meninggalkan rumah itu karena harus pergi lagi ke rumah orangtuanya karena ada yang ingin dibicarakan oleh orangtuanya. Ia menginjakkan kaki lagi di rumah ini setelah beberapa waktu dia tidak pulang lantaran masih tidak bisa menjelaskan semuanya kepada orangtua. Orangtuanya juga tidak mau mendengarkan apa pun dari Alvaro. Jelas pria itu geram juga dengan orangtuanya yang tidak mau mendengar penjelasan darinya. Waktu masuk, melihat orangtuanya sudah ada di sana. Neneknya pun juga hadir di sana. Lalu Alvaro bersalaman kepada mereka semua. “Kali ini tentang Rena, apa kamu tidak tersandung?” Belum dia duduk di sofa tapi sudah mendapatkan pertanyaan semacam itu. Alvaro juga tidak terlibat apa pun atas skandalnya Rena yang terkena masalah sangat besar sekali. Dampaknya sudah sangat jelas itu merugikan Alvaro kalau kena. “Sebenarnya, Pa. Aku nggak pernah hamili wanita mana pun. Dan mengenai waktu itu karena aku juga sudah tahu kalau Rena seperti itu. Aku minta orang buat ngaku di depan Rena bahwa dia sedang hamil. Aku yang rencanakan ini semua.” Alvaro berbohong kepada orangtuanya demi bisa kembali lagi ke kantor. Jujur saja dia rindu dengan suasana yang ada di kantor. Bisa kembali ke sana adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai harganya. “Pa, aku pengen balik ke kantor. Aku sama Rena emang udah berakhir lama. Tapi dia nggak mau putus. Jadi aku waktu itu salah jalan. Jadi ya begini. Papa nggak perlu marah sebenarnya. Karena aku juga kan selamatkan nama baik keluarga kita dari Rena.” “Tapi cara kamu yang salah, Al.” “Aku tahu, tapi Papa tahu kalau Rena itu kan terkenal. Kalau aku nggak begitu, bisa jadi lebih parah lagi, Pa.” Ekspresinya Arman sepertinya mulai mencerna apa yang dikatakan oleh Alvaro. Lalu kemudian pria itu menjawab. “Ya udah, kamu balik aja ke kantor. Tenangin juga pikiran kamu. Pasti juga kamu trauma banget sama dia. Yang jelas sekarang kamu harus bangkit lagi. Maaf juga Papa yang nggak mau dengerin kamu waktu itu.” “Jadi, aku bisa kembali lagi ke kantor?” “Ya, hmm tentang wanita yang kamu bayar waktu itu untuk ngaku hamil. Apa dia tidak akan masalah pada kehidupan berikutnya? Kehidupan sosial yang sangat keras, Al. Bagaimana pendapat kamu soal itu? Papa nggak mau lho bikin hidup kamu ataupun orang lain dalam kesusahan.” Alvaro menganggukkan kepalanya. “Papa tenang saja soal itu. Tidak ada apa pun, Pa. Dia juga aku urus banget kok. Papa nggak perlu lagi pikirkan dia.” “Itu Mama kamu sakit, Al. Setelah dengar kamu bikin hal gila seperti itu, Mama kamu jatuh sakit dan bilang sama Papa kalau kamu harus di rumah dulu. Tapi kamu malah sibuk tinggal di luar.” Bagaimanapun juga Alvaro pernah diusir, jadi itu yang membuat dia harus tinggal di luar sana bersama dengan Anjani. Lagi pula selama ini Anjani hidup dengannya sangat baik sekali. Pola makannya teratur. “Kamu makan apa saja selama tinggal di luar?” “Aku makannya baik kok, Pa. Jangan khawatir.” “Kamu tinggal lagi di sini, ya.” Alvaro meninggalkan Anjani? Sepertinya ia sulit meninggalkan wanita itu. Dia tidak bisa tinggalkan Anjani begitu saja sendirian. Wanita itu juga sudah baik sekali dalam memenuhi kebutuhan makannya Alvaro. “Aku pikirkan nanti, Pa. Aku sudah lebih nyaman tinggal sendirian.” Itu adalah alasan yang tepat. Tidak mungkin mengaku kalau dia tinggal berdua dengan Anjani. Orangtuanya menjaga nama baik dengan sangat. Apalagi kalau soal wanita. Tidak akan sembarangan wanita bisa menjalin hubungan dengannya. Terlebih juga waktu itu Rena yang nama baiknya sangat tinggi sekali. “Kalau nggak ada yang mau disampaikan, aku mau pulang dulu, Pa. Mau ke restoran bentar. Ada yang harus diurus.” “Balik ke rumah kalau kamu sudah siap di sini, ya.” Ia bersalaman lalu mencium sang mama. “Mama sembuh, ya. Nggak ada apa-apa kok. Aku janji nggak ada apa pun. Kalau aku balik ke kantor nanti. Aku bakalan sering pulang ke sini. Mama nggak masalah?” “Kamu janji sama Mama. Nggak boleh bikin kecewa, ya.” Alvaro menganggukkan kepalanya lalu mencium wanita itu dengan penuh kasih sayang. Jujur saja Alvaro ketakutan kalau wanita ini jatuh sakit. Ia mencium mamanya kemudian memeluk wanita itu lagi. “Aku balik dulu, Ma.” Sekarang giliran sang nenek. “Anjani apa kabar?” wanita itu malah bertanya tentang Anjani. Tapi Alvaro di sini sembunyikan perihal Anjani yang merupakan orang yang waktu itu mengaku hamil. Orangtuanya tidak boleh tahu. Sebaik mungkin ia selamatkan nama baik wanita itu di sini. Karena tidak tahu suatu saat nanti mungkin Alvaro tertarik pada Anjani. Karena wanita itu cantik, pintar. Ditambah lagi mampu membuat Alvaro takjub dengan masakannya. “Hmm dia baik-baik saja, Nek.” “Siapa Anjani?” Arman bertanya tentang Anjani. Alvaro tersenyum kemudian menjawab. “Ada yang nolongin Nenek waktu itu, Pa. Terus kakinya nenek terluka kan, nah dia yang bantuin. Nggak sengaja sekarang dia ada di restoran aku. Dia kerja di aku.” “Cantik?” “Banget,” jawab sang nenek yang mendahului sebelum Alvaro menjawab. “Dia cantik, baik, apalagi dia ngomongnya halus sekali.” “Waktu Mama bilang kaki Mama berdarah itu?” “Ya, dia yang tolongin. Sekarang di restoran Alvaro. Tapi Mama jarang lihat, apa hubungan kalian baik-baik saja?” Alvaro diam, dia dan Anjani belum ada hubungan apa-apa. “Mama suka sama karakter Anjani. Soalnya dia itu baik.” Ucap neneknya kepada Arman. “Hmm, kalau dia sudah diceritakan begini sama Nenek kamu. Artinya lampu hijau, Al. Nggak niat bawa ke sini?” Alvaro belum siap bawa wanita itu ke sini. Alvaro belum siap juga menghadapkan Anjani pada orangtuanya. “Nanti aku bawa ke sini. Ada waktunya.” “Bisa masak?” “Hmm, tentu. Dia pandai masak, Ma.” “Kalau ada waktu, kenalin ke kita, ya. Mana tahu penggantinya Rena. Sekaligus jadi istri kamu.” Tinggi sekali arah pembicaraan itu. Sementara Alvaro belum ada ikatan apa-apa dengan Anjani.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN