Paginya Anjani tidak dibuat berantakan oleh Alvaro, pria itu juga tidak membuatnya harus buru-buru melakukan apa pun. Malah Alvaro sangat santai sekali saat Anjani menyiapkan sarapan juga menyetrika bajunya tadi.
“Lain kali kamu nggak usah nyuci. Laundry saja!”
“Ada mesin cuci, nggak usah boros duit.”
Pria itu yang santai sekali mendengar jawaban dari Anjani. “Apa kamu tidak lelah?”
“Akan lebih lelah kalau aku tidak mengerjakan apa-apa. Gajiku tidak sedikit.”
“Gajimu hanya untuk tugas restoran saja sebenarnya. Tapi karena kamu mau mengerjakan tugas rumah. Mau nggak mau aku harus tambahin.”
Anjani tidak berharap seperti itu. Numpang hidup di rumah Alvaro bukan berarti dia bebas melakukan apa pun. Sebagai wanita yang sadar kalau dirinya tidak bisa melakukan banyak hal di sini. Maka dia memang harus melakukan pekerjaan rumah. Hidup numpang dengan Alvaro kurang enak apalagi?
“Hari ini kita akan pergi ke restoran bukan?”
“Tentu saja. Kamu juga harus ke sana, kamu terima banyak tugas. Tapi kamu juga sepertinya butuh laptop.”
“Aku bawa laptop sendiri, Kak.”
Alvaro mengiyakan apa yang diucapkan oleh Anjani barusan. Kemudian dia melihat kalau semua yang dibutuhkan sudah dipenuhi oleh Anjani. “Anjani, apa tanggapan orangtua kamu kita tinggal bersama?”
Wanita itu menoleh ke arahnya. “Nggak mungkin aku ngaku kita tinggal bersama, Kak. Kalau aku ngaku nggak bakalan dapat izin. Papa orangnya keras, Mama juga selalu bilang jaga diri baik-baik. Jadi aku kan bilangnya ya kerja. Nggak bilang kalau aku juru masaknya kakak secara pribadi.”
Pria itu menganggukkan kepalanya dan kemudian dia berkata. “Ya, lebih baik begitu. Kalau Papaku udah nggak peduli aku mau ngapain. Intinya sejak kamu ngaku kehamilan kamu, Papa udah bodoamat. Mau aku hubungi pun udah percuma.”
Setelah selesai menyiapkan semuanya lalu kemudian Anjani menghela napas panjang, mencoba untuk melepaskan semuanya. “Ya, aku minta maaf soal itu, Kak.”
“Aku sudah lupakan, Anjani. Kamu juga jangan ngaku ke nenek kalau yang aku tolak itu adalah kamu. Nggak bisa bayangin aku kalau nenek tau soal itu. Aku bisa kena ocehannya.”
“Nenek galak?”
“Nenek cerita soal kamu yang obati kakinya. Kalau saja nenek tahu yang jadi penyebab aku diusir dari rumah itu juga karena kamu. Ya kamu juga kena masalah besar.”
Anjani tidak berkata apa pun selanjutnya. Tahu yang salah juga dirinya sudah mengacaukan kehidupannya Alvaro sejauh ini. Mereka berdua tinggal bersama dan mencoba untuk memaafkan kesalahan masing-masing. Begitu juga dengan pria itu yang tidak terlalu membahas kejadian yang membuat mereka menjadi dua orang yang sangat kacau sekali.
Waktu Alvaro sedang bersandar di dekatnya Anjani. “Pendapat pacarmu tentang kamu tinggal di luar bagaimana? Jangan sampai kamu nanti diomelin dia.”
Anjani malah tertawa mendengar ucapan dari pria itu. Kakak tenang saja, aku nggak ada pacar. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Kak. Aku nggak punya pacar.”
Setelah semuanya sudah beres, barulah Alvaro diajak ke meja makan oleh Anjani. “Nanti kalau Nenek tanya kenapa kamu bisa bekerja di restoran, kamu jawab saja kalau aku cari karyawan. Kebetulan kalau kamu yang masuk kualifikasi. Kalau nggak begitu, kita dalam posisi nggak aman.”
Alvaro akan menjelaskan bagaimana sikap sang nenek kepada orang yang sudah membantunya. “Nenek tahu aku dikeluarkan dari rumah karena ulah pengakuan kamu yang hamil. Tapi dia nggak tahu kalau kamu adalah orangnya. Jadi aku minta tolong, kalau kamu tidak perlu mengaku jauh soal itu. Kita sama-sama sembunyi dari nenek.”
Anjani yang sudah siapkan semuanya kemudian dia duduk berseberangan dengan pria itu lalu mengatakan. “Aku sih nggak masalah kak. Cuman jangan sampai orangtua aku tahu aja sih. Soalnya kunci dari semua ini cuman Papa. Kalau Papa tahu soal ini, nggak yakin aku kalau aku bakalan baik-baik aja.”
“Apa Papamu bakalan marah?”
“Bukan cuman marah, mungkin aku nggak bakalan ada lagi di dalam Kartu Keluarga.”
“Ya keluar aja kalau begitu. Kamu pikir aku ada di dalam Kartu Keluarga orangtuaku?”
Anjani menyantap sarapannya lalu menatap pria itu dengan intens, tidak diakui oleh keluarga? Pikirannya mulai berkeliaran. Kenapa bisa seorang pria dengan status belum menikah tapi sudah dikeluarkan dari kartu keluarga. “Memangnya ada masalah apa?”
“Saya memang dari dulu sudah keluar. Ceritanya panjang, nggak bisa dijelaskan.”
'saya' artinya mereka canggung lagi kalau panggilan seperti itu. “Maksudnya aku.” Ucap Alvaro langsung saat sadar apa yang dia ucapkan.
Mereka menghabiskan sarapan lalu siap-siap untuk pergi ke restoran.
Pria itu sudah menunggu terlebih dahulu di dalam mobilnya untuk memanaskan mesin mobilnya. Anjani masuk tiba-tiba. “Kamu ngapain?”
“Kan ke restoran.”
“Ya tahu, tapi kamu mau sama aku?”
“Terus sama siapa?”
“Ya pakai taksi.”
“Aku pakai taksi?” tanya Anjani memastikan. “Aku mana tahu kita ke restoran mana. Kakak bilang banyak restoran, aku yang urus semua kan?”
Benar juga yang dikatakan oleh Anjani kalau dia tidak bisa tolak ucapan itu yang kemudian dia mengiyakan ucapan Anjani. “Ya udah kamu masuk saja kalau begitu!”
Wanita itu terlihat sedang bercermin pada cermin yang dibawanya dan kemudian memperbaiki dandanannya. “Nanti siang harus pulang!”
“Ya, kan kakak minta dimasakin.”
“Harus, tapi hari ini kalau ada bahan yang kurang kita bisa ke pasar.”
Alvaro melajukan mobilnya dengan perlahan meninggalkan rumah yang mereka tempati berdua. Meski awalnya merasa sangat asing sekali tinggal berdua tanpa ada ikatan apa pun. “Apa kakak alergi sesuatu?”
“Tidak ada. Hanya saja jangan masak pedas. Aku agak mengurangi yang pedas, aku pernah diinfus beberapa hari karena makan pedas, diare dan aku pingsan. Itu hal paling parah yang aku rasakan. Jadi tolong usahakan untuk tidak memasak pedas untukku.”
Anjani mencatatnya di ponsel lalu pria itu menyodorkan sebuah kartu untuknya. “Kartu kredit yang bisa kamu pakai kapan pun kamu mau untuk kebutuhan dapur. Nggak mungkin aku bisa nemenin kamu terus. Mobil juga barangkali aku carikan yang bisa kamu bawa ke mana pun. Aku punya kesibukan yang nggak bisa setiap hari nemenin kamu Anjani. Kita bakalan dihadapkan dengan kesibukan yang berbeda.”
“Aku nggak berani nyetir sendirian.”
“Mau nggak mau harus kamu lakukan. Kamu bisa kursus dulu.”
“Aku bisa nyetir, tapi nggak berani sendirian. Itu aja.”
“Kamu hanya perlu ke restoran saja. Nggak ada yang lain. Aku ada keperluan yang nggak bisa nemenin kamu setiap hari. Jadi, kamu harus siap kalau aku suruh pergi ke mana saja nanti.”
Anjani yang tidak biasa pergi sendirian tapi dituntut untuk hidup mandiri oleh pria yang sedang ada di sebelahnya ini. “Aku usahakan, Kak.”
“Harus, Anjani. Karena aku fasilitasi kamu semua.”
Gaji di atas sepuluh juta, ditambah transportasi, makan, biaya hidup di rumah Alvaro tidak ada uang yang dikeluarkan. Lalu dia kemudian bersandar di mobil dan berpikir. Di mana lagi dia bisa hidup enak seperti ini hanya untuk urus makanan pria ini.