Alvaro datang ke kantor karena permintaan dari papanya. Selesai dari restoran dan sudah mengantarkan Anjani pulang juga. Waktu dia di dalam ruangan, tiba-tiba saja kata papanya. “Kamu sudah menemukan wanita yang akan kamu nikahi?”
Tapi benar-benar di luar dugaan bahwa orangtuanya masih menganggap itu hal yang serius. Mana mungkin juga Alvaro menghancurkan nama baik keluarga dengan cara yang seperti itu. “Aku tidak melakukannya, Pa.”
“Nggak akan ada orang yang teriak-teriak untuk minta tanggung jawab kamu kalau emang nggak kamu lakukan, Al. Siapa yang nggak kaget dengan pernyataan itu? Kamu sendiri udah ngecewain kami semua.”
Mau menjelaskan seperti apa lagi? Orangtuanya sudah tidak percaya dengannya. Alvaro sudah melakukan yang terbaik selama menjadi anak, tapi ini yang didapatkan. “Kalau Papa nggak percaya aku nggak masalah.”
“Al, yang namanya hamil itu harus kamu pertanggung jawabkan. Papa hanya mau kamu untuk memanjakan orang dewasa, Nak.”
Tanggung jawab seperti apa? Menyeret Anjani akan membawa dampak buruk bagi mereka berdua. Kemungkinan pertama, pernikahan secara paksa. Sementara Alvaro trauma dengan pengakuan Anjani, lalu setelah dia menyeret Anjani akan ada hal yang dibalas oleh orangtuanya.
Posisi yang serba salah untuk saat ini.
Satu sisi perlawanan itu yang membuat semuanya jadi berantakan. Kedua, ulahnya ini akan dipertanggungjawabkan. Tapi kesalahan yang mana? Sebagai orang yang memang tidak melakukan apa pun tapi dituntut untuk salah oleh orangtuanya.
“Bawa dia ke hadapan kami, Al. Mau nggak mau kamu harus tetap tanggung jawab sama dia. Karena papa nggak mau anak Papa dibilang pengecut sama orang nantinya.
Pria itu akhirnya mengalah, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk saat ini.
“Aku pamit, Pa.”
Kepalanya sudah mau pecah dituntut untuk menikah dengan Anjani karena ulah dari wanita itu sudah fatal sekali. “Papa akan tanya ke Rena, kalau kamu nggak jujur juga. Papa akan melakukannya sendirian.” Belum keluar dari ruangan itu sudah mendapatkan ancaman dari papanya kalau dia tidak mau jujur.
Namun apa yang harus dia katakan? Apa yang dia ucapkan sudah tidak dipercayai lagi oleh orangtuanya. "Silakan, Pa. Aku nggak bakalan nuntut Papa kok."
Dia keluar dari ruangan itu. Sebelum dia ke kantor papanya sempatkan Alvaro ke toko HP untuk menggantikan ponselnya Anjani yang jatuh tadi dan layarnya juga retak. Sebagai tanggung jawabnya kepada wanita itu, dia harus memberikan ganti rugi pada Anjani.
Alvaro masuk ke dalam mobil, melihat totebag yang berisikan ponsel di dalamnya.
Malam harinya dia tiba di rumah, tapi begitu masuk Alvaro malah lupa kalau dia harus makan malam di rumah. Dilihatnya Anjani duduk menunggunya. “Sudah pulang?”
Diam, merasa bersalah karena memilih makan di luar. “Maaf aku makan di luar. Aku ada keperluan, terus butuh waktu sendirian juga di luar. Maaf,” ucapnya sekali lagi.
Anjani mendengar kalau pria itu makan di luar hanya bisa menahan diri. Tidak ada gunanya juga untuk marah. Tugasnya di sini hanyalah untuk menyiapkan makanan. “Mulai besok, kamu tidak perlu lagi ke restoran.”
Dia mendongakkan kepalanya. “Aku dipecat?”
“Tidak, kamu di rumah saja. Kamu urus rumah, kamu akan kubawa ke kantor juga kalau Papa sudah maafin aku.”
Wanita itu mengangguk saja tanpa protes kalau dia harus tetap ada di rumah. Jadi akan benar-benar berperan seperti seorang ibu rumah tangga. Namun, kalau sampai orangtuanya tahu bahwa dia dan Alvaro tinggal berdua, sudah pasti akan diminta pulang lagi. Anjani tidak akan bisa seperti ini.
Alvaro menyodorkan totebag untuknya. “Ganti HP kamu yang kusenggol tadi sampai pecah.”
Wanita itu menatap Alvaro dan tersenyum saat melihat tas jinjing yang mengatakan kalau itu adalah HP. “Serius untukku?”
“Ya. Maaf aku nggak sengaja tadi senggol.”
Anjani mengeluarkan ponsel dari dalam kotaknya dan melihat itu adalah keluaran terbaru. Tidak heran juga, saat Anjani melihat harganya di atas dua puluh juta. Dia menyodorkan barang itu kembali kepada Alvaro. “Kenapa?”
“Nggak bisa pakai HP mahal. HPku harganya kurang dari tiga juta,” jelasnya. Memang bukan barang mahal yang dimilikinya.
“Kamu jangan khawatir. Anggap saja ini hadiah buat kamu dan permintaan maaf atas ulahku yang menginginkan masakan kamu untuk hari ini.”
Tapi Anjani memang benar-benar tidak bisa menerima barang itu. “Tapi aku beneran nggak bisa terima, Kak.”
“Aku ikhlas.” Jujur dirinya memang masih belum bisa menerima barang mahal itu.
“Besok saya perbaiki saja HPku, kak.”
“Anjani, kamu punya Hutang denganku. Yang akan kamu bayar suatu saat nanti. Jadi kamu nggak bisa pergi dari sini sampai aku kembali ke kantor. Bagaimanapun caranya kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk tetap kembali ke kantor. Aku akan membawamu untuk jadi sekretarisku. Sekaligus asistenku di rumah.”
Kalau saja Anjani bahas soal kesalahan waktu itu, Alvaro akan menghindari permasalahan yang pernah dilakukan oleh Anjani dan tidak akan lanjut lagi pembahasan mereka berdua. Sementara Anjani memang ingin meminta maaf. gajinya tidak besar, pasti dia akan melakukan pekerjaan rumah dengan serius. Karena dia harus membayar mahal ulahnya sendiri.
“HP itu kamu pakai saja!”
“Tapi apa nggak kemahalan?”
“Lebih mahal jasamu untuk masak. Tenaga yang dikeluarkan juga cukup banyak, Anjani.”
Segera dia mengambil ponsel itu lagi setelah disodorkan oleh Alvaro. “Aku mandi saja kalau begitu. Kamu makan! Nanti kalau sudah selesai kamu tidak usah cuci piring. Biar aku yang cuci nanti.”
Anjani terpaku di tempat dia duduk menunggu Alvaro dan membuka ponsel barunya.
mengganti sim card lalu melakukan login ulang dan mengabari adiknya kalau dia dapat HP baru, seharian tidak bisa chat dengan adiknya ataupun mengabari karena HPnya rusak.
“Kakak sudah makan belum?” Raka yang merupakan adik pertama Anjani selalu perhatian kepadanya.
Anjani yang sedang ada di ruang makan pun mengarahkan kamera ke makanan yang dimasaknya tapi tidak bisa dimakan oleh Alvaro. “Ini lagi makan. Mama sama Papa sehat?”
“Sehat, Kak. Tapi kurang enaknya kalau kakak nggak ada. Papa juga sering ngomongin kakak. Apa kakak nggak bisa bolak balik ke tempat kerja? Biar berangkatnya sama aku. Nggak apa-apa kita naik motor atau nanti aku pakai mobil Papa buat anterin kakak setiap hari. Yang penting kita kumpul, apa kakak mau?”
Ini yang dirindukan oleh Anjani. Kalau adiknya sudah berkata demikian, artinya dia harus segera pulang dan berkumpul. Anjani rindu suasana rumah. Apalagi kalau mereka pergi ke pemakaman setiap hari Sabtu sore bersama dengan keluarga. Bahkan mama tirinya juga ikut, kedua adiknya juga ikut ke sana. Anjani memang lahir dari rahim yang berbeda. Tapi perilaku ibu tirinya yang tidak membedakan dirinya dan dua adiknya yang membuatnya betah ada di rumah. Bahkan bisa dikatakan yang lebih memanjakan itu adalah dirinya sendiri. Atau karena dia adalah anak perempuan satu-satunya?
“Kak, apa nggak kesepian makan sendirian?”
Anjani merindukan keluarganya. Tapi dia masih punya Hutang untuk mengembalikan Alvaro ke dalam keluarganya, setelah tugas itu selesai. Anjani akan kembali ke rumah orangtuanya dan menyanggupi perjodohan yang diinginkan oleh orangtuanya.
Setelah semua itu selesai, Anjani akan kembali menjadi anak orangtuanya yang penurut. Tidak akan lagi melakukan tindakan bodoh yang membuat orang lain rugi dengan ulahnya. Kalau saja orangtuanya tahu tentang yang dia lakukan. Sudah pasti orangtuanya juga marah besar karena Anjani sudah membuat kehidupan orang lain jadi susah.
“Salam sama Papa dan Mama ya. Nanti hari Sabtu kakak usahakan untuk pulang.”
“Ya udah kakak lanjut makan, ya. Aku mau mengerjakan tugas kuliah dulu. Sehat terus kak. Nanti kalau ada waktu dan nggak sibuk, aku usahakan untuk nengokin kakak.”
Alvaro mendengar pembicaraan dua bersaudara itu kemudian tersadar kalau selama ini Anjani yang berusaha bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat itu.