Sepakat

1242 Kata
Alvaro mendapatkan kabar dari Anjani kalau wanita itu akan segera ke restoran yang sudah diberitahukan olehnya. Sementara saat ini dia sedang menemani sang nenek di sana. Anjani juga memberitahukan kalau dia akan tiba setengah jam lagi karena keadaan yang sedikit macet. “Kamu dengar nggak nenek cerita?” “Ya, Nek. Aku dengar.” “Kamu bisa-bisanya ditendang dari rumah sama Papa kamu. Lagian kamu juga kan mau nikah sama, Rena.” “Jangan bahas dia, Nek. Nenek tahu sendiri kan kalau kesalahan itu nggak akan pernah bisa bikin semua balik.” “Emang masalah apa?” Tidak mungkin cerita untuk saat ini. Apalagi Anjani yang akan datang kemari, kalau Anjani datang sudah pasti digampar oleh neneknya Alvaro yang sudah menghancurkan hubungan pria itu dengan wanita lain. Mereka makan bersama sampai Anjani menghubungi. Alvaro mengangkat tangannya ketika Anjani datang. Wanita itu menghampirinya dan ia mempersilakan wanita itu duduk. “Duduklah!” Anjani melepaskan tasnya dan berkata. “Nenek, kita ketemu lagi?” Ekspresi Alvaro malah menatap ke arah neneknya yang juga menyambut hangat Anjani. “Kaki Nenek baik-baik saja?” Sialan, berarti yang ditolong oleh Anjani waktu itu adalah neneknya Alvaro sendiri. Namun malah diusir olehnya ketika terlambat datang ke kantor. “Barusan Nenek cerita sama kamu soal dia. Nenek nggak sempat tanya namanya atau nenek yang lupa sama namanya. Yang penting ketemu di sini.” Beruntung tidak dia katakan siapa wanita gila yang menghancurkan hubungannya. Bisa-bisa Alvaro mati kutu karena neneknya di sini dan bertemu dengan Anjani. “Kaki saya sudah membaik. Terima kasih bantuan kamu waktu itu. Terus gimana? Kamu bilang buru-buru waktu itu, kan.” “Iya, Nek. Nggak diterima tapi di kantor itu. Tapi nggak apa-apa. Hari ini sudah mulai kerja di sini.” Wanita ini juga tidak mengatakan yang menolak dan mengusirnya dari perusahaan adalah Alvaro. Berarti dia konsisten untuk sama-sama menjaga rahasia berdua. “Kamu beneran kerja di sini?” “Ya, saya kerja di sini, Nek.” “Syukurlah, kita bisa ketemu setiap hari. Kebetulan restoran ini punya cucunya Nenek. Nih bos kamu cucu Nenek.” Tatapan mereka berdua tajam saling tatap seolah arus listrik sedang menjalar antara mereka. Anjani langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat mencari kesadaran. Ingat bahwa mereka akan tinggal berdua, itu paling mengerikan. Selesai makan, Alvaro bangun dari tempat duduknya. “Nenek bilang tadi mau istirahat. Nenek pulang dulu, ya. Aku mau ngomong sama Anjani, dia hari ini pertama masuk. Jadi perlu perkenalan.” Padahal dia ingin mengusir neneknya sendiri karena sudah bertemu dengan Anjani mungkin akan jadi bencana. Apalagi kalau sampai keceplosan. Neneknya sudah pergi. Alvaro berkacak pinggang sewaktu mengajak Anjani masuk ke dalam ruangan khusus dan menatap wanita itu dengan lekat. “Kenapa kamu nggak bilang yang kamu tolong itu adalah Nenekku?” Anjani malah mengangkat kedua bahunya. Lalu mengatakan. “Aku ini bukan orang yang punya kekuatan supranatural, ya. Juga nggak ada tuh tulisan 'Neneknya Alvaro' di kalung Nenek. Aku kan sudah bilang nggak bisa abai sama hal seperti itu. Apalagi di sana cuman ada aku.” Pria itu menarik napas dalam-dalam. “Oke, pertama aku ucapkan terima kasih. Kedua aku minta maaf atas apa yang aku lakukan ke kamu tanpa dengerin penjelasan kamu di kantor waktu itu. Dan yang ketiga, tolong jangan bilang ke Nenek kamu ditolak di perusahaanku. Kita sama-sama saling sembunyikan.” “Aku tahu itu.” Pria itu kemudian menganggukkan kepala dan bagus kalau Anjani paham. “Surat kontrak kamu sudah aku kerjakan. Tinggal tanda tangan dan bawa pulang. Kamu besok bisa pindah ke rumahku.” Anjani menatap Alvaro dengan sinis. Lalu kemudian dia memeluk tubuhnya sendiri. “Pikiranmu liar, aku bukan orang yang ada di dalam pikiranmu.” “Tapi kamu kelihatan mesum.” Baaaaaam. Alvaro merasa ditampar oleh ucapan dari wanita ini. “Kamu itu nggak ada rem ya kalau ngomong. Main nyablak gitu lho.” Anjani menutup mulutnya. “Ya udahlah, yang penting kamu bisa masak.” “Bisa, di rumah sering masak.” “Mana nomor rekening kamu?” Wanita itu mendongakkan kepala menatap Alvaro. “Langsung gajian?” “DP doang ya, biar kamu nggak bisa lari. Otakku sudah mumet, Anjani. Jangan tambah beban, apalagi ngaku lagi hamil. Aku bisa gila.” “Nggak lagi, Pak. Sumpah nggak bakalan.” Alvaro menyodorkan ponselnya. “Masukin nomor rekening kamu. Kita ketemu besok di rumahku. Kamu datangnya agak pagian, ya.” “Barang aku banyak, Pak.” “Kirim mulai hari ini.” Alvaro kemudian mengirimkan sejumlah uang. Wanita itu merasa belum bekerja tapi sudah digaji. “DP 40 juta. Kamu jangan lari. Gaji kamu beda nanti. Itu sebagai permulaan. Jangan bawa lemari kamu, ya. Aku cekik kamu kalau bawa lemari ke rumah.” “Iya deh iya.” Tapi Anjani membelalakkan matanya menyadari uang yang disebutkan tadi empat puluh juta. “Ini lagi nggak bercanda, kan?” “Nggak, itu buat kamu urus diri kamu selama di rumahku. Uang itu untuk biaya kamu selama tinggal nanti. Sedangkan gaji kamu silakan kirim ke orangtua seperti yang kamu bilang.” Anjani tersenyum pada pria itu. Sial, Alvaro kehilangan kesadaran. Kenapa wanita ini cantik sekali? Anjani baru tersenyum dan baru pertama kali ini terlihat berdandan dan serius untuk penampilan. “Satu hal, jangan pakai celana pendek di rumahku.” Anjani mengiyakan. “Aku nggak punya celana pendek.” “Oke.” “Uangnya boleh dipakai nggak?” “Silakan, itu hak kamu. Yang penting besok jangan terlambat. Kamu harus siap-siap juga. Ohya aku lupa bilang, restoran bukan hanya satu ya. Nenek serahkan ini semua ke aku barusan. Yang di kelola ada tujuh. Kamu urus semua.” “Heh?” “Gaji naik, kamu tenang saja. Kamu nanti fasilitasnya mobil, sana sini kamu urus apa yang jadi keluhan. Kamu nggak setiap hari kelilingi semuanya. Paling seminggu sekali. Apa pun keluhan kamu harus ngomong!” “Baik, Pak.” “Kamu panggil, Al! Nggak usah panggil Bapak. Aku nggak pernah nikah sama Ibu tiri kamu.” Anjani menghentakkan kakinya kesal dengan jawaban dari pria itu. “Kamu menyebalkan juga.” “Kamu lebih menyebalkan, nggak ngomong soal Nenek.” Anjani lagi-lagi harus menghadapi pria itu dengan pertanyaan yang sama. “Aku sudah bilang aku nggak tahu, Al. Kamu nggak ngerti banget sih.” Pria itu menjambak rambutnya. “Aku mau gila kehilangan pekerjaan.” “Kan restoran ada tujuh. Ya jalani, kita kerja sama.” “Sial, aku putus cinta, Anjani. Kamu benar-benar wanita paling sialan yang aku kenal.” “Eiiiiits, nanti Tuhan marah lho kamu bilang begitu. Nggak boleh benci sama orang, ya. Mama pernah bilang kalau terlalu benci sama orang nanti jatuh cinta.” Alvaro sudah ditembak dengan ucapan itu oleh Anjani. Kalau boleh jujur, Anjani lebih cantik dibandingkan dengan Rena. Pria itu menggelengkan kepalanya dan kemudian berkata. “Terserah.” “Terima kasih, Pak.” “Jangan bilang, Bapak! Yang ada kamu ya yang jatuh cinta ke aku.” “PD bener.” Hidupnya sudah berubah, bertemu wanita gila seperti Anjani. “Tanda tangan itu dulu dong! Terus kamu pergi juga nggak masalah.” “Nanti aku bawa barang ke sana, Kak.” Alvaro mengangguk lebih suka dipanggil kakak dibandingkan bapak seperti tadi. “Nenek sepertinya bakalan nyariin kamu terus. Ingat jaga jarak sama, Nenek! Aku nggak mau ada salah paham apa pun.” “Iya, Kak. Aku pergi dulu kalau begitu. Ini sudah aku tanda tangani dan boleh dibawa pulang!” “Iya, kamu berikan ke orangtua kamu sebagai bukti kontrak kerja dan surat izin kamu untuk tinggal di tempatku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN