Anjani sudah selesai menyiapkan semua barang-barangnya. Beruntung juga orangtuanya percaya kalau Anjani bekerja di salah satu restoran dengan memegang beberapa kendali di sana untuk mengurus restoran milik Alvaro, yang sebenarnya dia adalah asisten di rumah pria itu sebagai juru masak pribadinya pria tersebut.
Ia memilih taksi online untuk mengantarkannya. Mulai dari pakaian dan juga sepatu serta alat make up sudah disiapkan oleh Anjani, hanya menunggu papanya untuk pulang. Dia ingin meminta izin dengan baik-baik pada papanya. Untuk saat ini Anjani juga sudah bersama dengan kedua adiknya dan juga mama tirinya.
Mereka mengobrol sebelum Anjani berangkat.
“Pesan Mama hanya satu sama kamu. Jaga diri baik-baik saat kamu lepas dari pengawasan. Jangan kecewakan Mama sama Papa.”
Anjani juga tahu bagaimana harus mengurus dirinya dengan baik. Apalagi hanya ada dia di rumah ini yang perempuan. Maka, mau tidak mau harus tetap menjaga diri dengan sangat baik. Wanita itu kemudian tersenyum kepada mama tirinya dan mengeluarkan sejumlah uang untuk mereka bertiga.
“Nanti Mama pakai ini dengan baik. Aku juga sudah dapat DP untuk masuk ke sana.”
Sementara itu Dewi yang heran dengan pekerjaan Anjani yang belum dimulai tapi sudah diberikan DP oleh bosnya. “Kamu nggak salah? Orang kalau kerja itu harus kerja dulu baru dapat uang. Kamu kok kebalikan?”
“Nggak apa-apa, Ma. Kata bos aku ini adalah DP untuk pengurusan semua restoran dia. Aku harus urus semua cabang yang dia punya. Jadi suatu saat kalau kalian mau makan di sana, jangan lupa hubungi aku.”
Bukan seperti itu maksud dari Dewi, akan tetapi Anjani belum masuk bekerja tapi sudah diberikan uang yang cukup banyak. “Ya sudahlah, kamu punya tabungan juga? Buat bayar kos kamu?”
“Sudah ada, Ma. Tenang saja, semuanya aman kok. Ini buat Mama sama adik-adik aku yang sedang berjuang ini.”
Anjani sayang pada dua adik laki-lakinya yang memang ingin dia bahagiakan. Kedua adiknya selalu akur dengannya, bahkan ketika dia pulang malam ketika kuliah dulu pun, adiknya menemani dan rela menunggu sampai malam hari saat dia punya kegiatan. Tidak ada keluhan sama sekali.
Sampai detik ini juga Anjani selalu berpikir bagaimana cara membahagiakan mereka semua.
Ingin kalau papanya juga berhenti bekerja dan menikmati hari tua bersama dengan mamanya. Namun, ini masih belum cukup. Anjani harus bisa jadi anak yang benar-benar baik dan bisa untuk menyenangkan mereka semua.
Sampai papanya pulang bekerja untuk hari ini.
Disambut dengan sangat baik, dan sebelum pergi Anjani harus menunggu pria itu pulang.
“Jadi berangkat sekarang?”
“Ya, Pa. Aku berangkat sekarang, nanti pasti pulang kok.”
Terlihat ekspresi pria itu juga berat untuk melepaskan Anjani. “Sebenarnya kamu nggak usah kerja. Kamu nikah saja, Papa punya kenalan. Kamu nikah sama dia juga nggak masalah. Kamu nggak usah kerja. Dia mau cari istri yang bisa ada di rumah terus.”
Anjani tidak mau dijodohkan, kariernya juga tidak boleh mati hanya karena itu. “Nggak, Pa. aku nggak bakalan mau untuk mendongakkan kepala terus kepada pria. Aku harus bisa mandiri, biar nggak diremehkan suatu saat nanti. Aku nggak mau kalau nanti aku diremehkan oleh orang lain.”
Dewi juga sebenarnya setuju dengan hal itu. “Ya biarin saja, Mas. Kalau itu memang kemauannya, toh juga dia aman. Dia jabatannya bagus, nanti kita bisa kunjungi kapan pun kita mau. Kamu juga pulang sekali seminggu, Nak. Biar kita bisa makan bareng di sini.”
“Tenang saja, Ma. Setiap hari Sabtu aku balik kok. Nanti kita bisa kumpul, Senin pagi aku baru balik lagi ke tempat tinggal aku.”
Walaupun berat dilepaskan. Akan tetapi akhirnya Anjani diberikan kebebasan juga untuk pergi dari rumah ini untuk memperjuangkan keluarga yang ingin sekali dibahagiakan. Taksi juga sudah menunggunya.
Orangtuanya mengantarkan dia sampai di depan rumah.
Dengan sangat baik ia bersalaman kepada kedua orangtuanya dan juga adik-adiknya yang melepaskannya. “Kakak jaga diri baik-baik. Awas kalau ada yang ganggu nanti aku ke sana.”
Anjani tidak akan diganggu, lagi pula sudah ada perjanjian dengan Alvaro, dirinya pasti akan dijaga dengan baik oleh pria itu. Karena Alvaro mengatakan akan bertanggung jawab atas semuanya.
Setibanya di sana, dia menghubungi pria itu yang kemudian Alvaro keluar dari kediamannya. Menyambut kedatangan Anjani.
Ekspresi pria itu seketika menjadi mengerikan. “Kamu angkut semua barang kamu?”
Anjani mengangguk saat ada beberapa koper yang dia bawa, belum lagi tas ranselnya. “Ini kan semua nanti aku tiba-tiba butuhin. Nggak mungkin aku pulang kan gitu aja.”
Pria itu mempersilakan Anjani masuk. “Terserahlah.”
Anjani tersenyum ke arah pria itu lalu membawa kopernya masuk satu persatu. “Kamar kamu ada di sana!” tunjuk Alvaro padanya.
Anjani mengiyakan dan langsung membawa barangnya ke dalam kamar. Ternyata waktu sampai di sana semua sudah lengkap, tempat tidur yang nyaman dan juga lemari, serta ada rak sepatu yang Anjani inginkan.
“Kak, isi kulkas ada?”
Alvaro masih berdiri di depan pintu kamarnya Anjani sembari melipat tangan di depan d**a yang kemudian mengiyakan pertanyaan Anjani. “Masak gih! Lagi lapar. Tapi mau tidur dulu. Nanti bangunin, ya.”
Enak sekali perintah si pria yang mengajak Anjani ke sini. Akan tetapi dirinya juga cukup lelah dengan semua ini. Lalu kemudian Anjani tidak melanjutkan memasukkan pakaian ke dalam lemari.
“Nggak diteruskan?”
“Nanti aja. Kan kakak juga kelaparan.”
“Oh oke, kamu kalau masak jangan yang pedes ya. Aku nggak suka.”
“Apalagi?” tanya Anjani biar tidak salah memasak untuk pria ini.
Alvaro masih berpikir apa yang dia tidak sukai. “Tapi sepertinya aku nggak beli makanan yang aku nggak suka sih. Intinya jangan pedes, yang ada mules. Kamu juga jangan makan pedes, aku nggak mau kerepotan nanti bawa kamu ke rumah sakit segala.”
“Iya, Kak. Nggak makan pedes kok, Mama juga nggak bolehin.”
“Aku mau tidur bentar.”
Pria itu meninggalkan kamarnya Anjani, tetapi baru beberapa langkah dia keluar, dia langsung berbalik. “Kamu butuh mobil?”
“Nggak deh.”
“Kamu ke restoran pakai apa?”
“Ikut kakak dong.”
Alvaro padahal ingin merayu orangtuanya agar tidak memecatnya dari kantor. Dia ingin kembali ke perusahaan itu. “Anjani, bisa kita bekerja sama? Aku merindukan suasana kantor saat ini.”
Anjani menatap pria itu dan bingung arah pembicaraan apa ini.
“Maksudnya?”
“Kamu kan tahu aku dipecat.”
“Ya, tahu. Terus hubungannya sama aku?”
Alvaro yang ingin cerita tapi malah mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Lupakan saja! Ayo masak sana! Aku lapar sekali.”
Sekalipun dia ingin jujur kepada orangtuanya kalau Anjani tidak serius waktu itu. Namun membawa Anjani ke rumah orangtuanya adalah musibah terbesar. Paling tidak dia akan dipaksa untuk menikah oleh orangtuanya. Sekalipun waktu itu Anjani hanya sedang balas dendam, tapi orangtuanya sudah mengancam jika tahu wanita itu siapa, maka akan tetap jadi istrinya.