Siapa Ayahnya?

1500 Kata
Langit senja kian menggelap. Sebab Vlorin masih lemah dan harus meneruskan perawatan, Russel akhirnya menelepon Alicia yang segera datang bersama tunangannya, Maxim Nguyen. Russel berbincang serius dengan pasangan tersebut di lorong rumah sakit, hingga tercapai kesepakatan jika kondisi Vlorin tidak akan diberitahukan pada siapa pun, termasuk keluarganya. Alicia segera berangkat menuju apartemen Vlorin untuk mengambil pakaian ganti dan berbagai kebutuhan khas perempuan. Russel dan Maxim masih menunggui Vlorin yang kembali terlelap. "Apa kamu tahu, siapa pria yang pernah bersama Vlorin belakangan hari?" tanya Russel dengan suara pelan. Dia tidak mau Vlorin mendengar percakapan itu. "Aku tidak tahu," sahut Maxim. "Kami jarang bertemu. Hanya Alicia yang setiap minggu mendatangi adiknya," lontarnya. Russel meremas-remas rambut. "Aku hanya ingin mendatangi pria itu, dan memberitahu padanya tentang kehamilan Vlorin." "Apa kamu tidak ingin meninjunya?" "Ya, itu pasti." Maxim menyunggingkan senyuman. "Semoga nanti Vlorin mau mengungkapkan semuanya." "Hmm." "Aku tidak bisa membayangkan reaksi keluarganya." "Mereka pasti marah." "Ya, terutama karena ayahnya aktif di gereja. Beliau pasti sangat malu." Russel mendengkus pelan. "Aku benar-benar penasaran." "Kita hanya bisa menunggu Vlorin bercerita. Tidak mungkin kita memaksanya mengungkapkan hal itu." "Aku memikirkan janinnya." Maxim mengamati calon Adik iparnya yang berada di ranjang pasien. "Ya, aku juga." Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan ucapan. "Jika dia tidak sanggup merawatnya, aku dan Alicia yang akan mengadopsi anaknya." "Apa kamu yakin?" "Ya. Lagi pula, itu keponakan kami." Russel mengangguk paham. "Aku juga punya pemikiran yang sama. Hanya caranya sedikit berbeda." "Apa maksudmu?" "Aku akan menikahi Vlorin dan mengadopsi anaknya sebagai anakku." Maxim menyunggingkan senyuman. "Aku tidak yakin Vlorin akan mau menikah denganmu." "Jika dia tidak mau, maka akan kupaksa." "Dia akan mengamuk." "Biarkan saja. Itu cara paling bagus. Setidaknya jika pria b******k itu datang dan ingin mengambil anaknya, aku bisa melindungi Vlorin dan bayinya." "Ya, itu betul." "Aku juga tidak mau Vlorin kembali pada Nicholas." "Aku setuju denganmu." "Kamu dan Alicia harus membantuku, Maxim." "Bantu apa?" "Bujuk Vlorin agar mau menikahiku." *** Jalinan waktu terus berjalan. Minggu berganti menjadi bulan. Kandungan Vlorin kian membesar dan tidak bisa ditutupi dari khalayak. Kendatipun sudah menjadi hal yang biasa di Australia, bila seorang perempuan hamil tanpa suami, tetap saja ada yang mencibir Vlorin dan membuatnya sedih. Beruntunglah, Russel, Bethany dan rekan-rekannya di kantor selalu mendukung Vlorin. Demikian pula dengan Alicia dan Maxim yang hampir setiap hari datang ke apartemen Vlorin untuk memastikan kondisinya. Akan tetapi, hari itu Vlorin benar-benar terkejut ketika membuka pintu unitnya dan menemukan Nicholas Richardson di lorong depan. Perempuan berbibir penuh sempat terperangah, hingga lupa untuk merapikan pakaiannya. "Vlo, kamu sedang mengandung?" tanya Nicholas tanpa sanggup menutupi rasa penasarannya. "Ehm, ya," sahut Vlorin. "Kamu, kenapa datang ke sini?" tanyanya. "Aku membawakan titipan Gabriella." Nicholas mengangkat tas biru tua di tangan kanannya. "Terima kasih." Vlorin mengulurkan tangan untuk mengambil barang pemberian temannya yang merupakan Adik Nicholas. Namun, pria itu memegangi tangannya. "Apa aku tidak diizinkan masuk?" tanya Nicholas. Vlorin tertegun sesaat. Dia sedikit ragu-ragu, tetapi akhirnya dia mengizinkan pria bertubuh tinggi untuk masuk. Perempuan berbaju marun bergeser ke kiri sambil membukakan pintu lebih lebar. Nicholas memasuki ruangan, kemudian dia berhenti di depan dapur mini dan memindai sekitar. "Unitmu sepertinya sangat nyaman," pujinya. Vlorin tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia berpindah ke dapur, lalu bertanya, "Apa kamu mau minum sesuatu?" "Ya. Aku mau kopi." Vlorin menyiapkan minuman buat mantan kekasihnya. Kemudian dia menuangkan jus jeruk ke gelas tinggi untuk dirinya sendiri. Vlorin membawa gelas dan cangkir tanpa menggunakan nampan. Dia menyambangi Nicholas yang duduk di sofa, lalu meletakkan bawaannya ke meja. Selama beberapa saat suasana hening. Vlorin menyesap minumannya sedikit demi sedikit sambil memandangi layar televisi yang sedang menayangkan berita. Sementara Nicholas mengamati mantan pacarnya yang sangat berbeda dari yang dulu diingatnya. Pria bermanik mata cokelat muda membatin menyaksikan perut Vlorin yang membuncit. Dia penasaran dengan hal itu dan segera menyusun kalimat pertanyaan dalam otaknya. "Vlo, aku tidak tahu jika kamu sudah menikah," ujar Nicholas yang seketika mengejutkan Vlorin. "Aku memang belum menikah," balas Vlorin. "Ehm, kalau begitu, siapa kekasihmu?" Vlorin mengangkat alis. "Aku rasa itu bukan urusanmu." "Aku hanya penasaran. Pria mana yang berhasil membujukmu untuk mengandung. Sedangkan aku, sejak dulu tidak diizinkan." "Pastinya dia bukan pria pengecut dan gemar bermain hati di belakangku." Nicholas tercenung, lalu dia melengos. "Ternyata kamu masih dendam padaku." "Sama sekali tidak. Aku justru sudah move on dan mengganti posisimu di hati dengan Ayah anakku ini." "Siapa dia? Apa aku mengenalnya?" Vlorin menggeleng. "Kamu tidak kenal." "Apa dia teman sekantormu?" "Bukan." "Teman-teman di luar?" "Hmm, semacam itulah." Nicholas memicingkan matanya. "Kenapa aku curiga jika pria itu bukan kekasihmu?" Vlorin tertegun, lalu dia mengulum senyuman. "Apa pedulimu, Nic? Kita hanya teman masa lalu." "Aku masih menyayangimu." Vlorin berdecih. "Katakan itu pada pacar-pacarmu di luar sana. Karena aku sama sekali tidak peduli dengan perasaanmu." "Aku benar-benar serius, Vlo." "Sekali lagi kukatakan, aku tidak peduli!" Nicholas hendak menyanggah, tetapi bunyi bel pintu membuatnya terpaksa menelan lagi kata-kata yang hendak dilontarkan. Vlorin berdiri sambil memegangi perutnya. Dia berbalik dan jalan untuk membukakan pintu. Sepasang mata bermanik biru memandangi Vlorin sesaat, sebelum mengalihkannya pada lelaki bersetelan jas hitam yang tengah duduk di sofa. Russel cepat-cepat mengulaskan senyuman, kemudian dia mengayunkan tungkai memasuki ruangan. Dengan santainya dia memeluk Vlorin yang sempat menjengit, lalu Russel mencium dahi asistennya yang kian bingung dengan tingkah aneh pria tersebut. "Sayang, kenapa kamu tidak bilang kalau ada tamu?" tanya Russel sembari mengurai dekapan, lalu dia mengajak Vlorin menuju sofa. "Ehm, aku lupa," sahut Vlorin. Dia menduga jika Russel hendak berlakon sebagai kekasihnya dan Vlorin akan membantu agar drama mereka sukses. "Sayang, apa kamu mau minum jus jeruk?" tanyanya. "Tentu saja. Aku memang butuh minuman asam dan dingin untuk menyirami otakku yang kepanasan," jelas Russel sembari menyalami Nicholas. Kemudian dia duduk di kursi yang berseberangan sambil mengamati lelaki berambut gelap yang terlihat gusar. Vlorin segera menuju dapur untuk menuangkan jus buat sang bos. Dia harus segera kembali ke sofa, sebelum kedua pria yang sejak dulu tidak saling menyukai, akan memulai perdebatan mulut seperti yang sudah-sudah. *** Waktu berputar begitu cepat. Jourell benar-benar melupakan sosok Vlorin. Selain karena kesibukannya, pria tersebut juga tengah mencoba pendekatan dengan Cornelia Janne Ghawani, putri kedua pengusaha Nelson Ghawani. Anak tertua Nelson, yakni Rylee Maglorius, merupakan salah satu anggota PC yang dimentori Trevor Aryeswara. Selain itu, Nelson dan Desmond juga menjalin pertemanan sejak lama. Kedua pria tua berniat menjodohkan anak masing-masing, karena sudah sama-sama dewasa. Cornelia bekerja sebagai desainer interior di perusahaan yang dibangunnya bersama rekan-rekannya. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun sebenarnya tidak mau dijodohkan. Namun, demi menghormati orang tua, Cornelia bersedia untuk mengenal Jourell lebih dekat. Malam itu, Jourell menjemput Cornelia di rumahnya di kawasan Jakarta Timur. Keduanya berbincang dengan suara pelan di kursi belakang mobil MPV putih milik Jourell. Dedi yang menjadi sopir nyaris tidak bisa mendengarkan percakapan itu, karena kendaraan di sekitar membunyikan klakson. Pria muda menggerutu dalam hati karena jalanan masih macet, padahal sudah lewat dari jam pulang kerja. Sesampainya di tempat tujuan, Jourell turun terlebih dahulu. Dia memutari bagian belakang mobil, lalu membukakan pintu buat Cornelia. Pria bersetelan jas hitam mengulurkan tangan kanan yang diterima perempuan tersebut seraya tersenyum. Jourell mengajak Cornelia memasuki gedung pertemuan, sementara Dedi mencari tempat parkir yang kosong. Jourell sempat berhenti di depan booth khusus foto dan mengajak Cornelia untuk mengabadikan gambar mereka. "Ramai sekali," tutur Cornelia sembari memindai sekitar. "Kita datang terlambat, jadinya penuh," sahut Jourell sambil memperhatikan orang-orang. Sudut bibirnya melengkungkan senyuman saat melihat beberapa orang yang dikenalnya. "Kita ke sana," ajaknya. Cornelia menurut. Dia membiarkan tangannya digamit Jourell dan mengikuti langkah lelaki berkulit putih. Mereka berhenti di dekat sekelompok orang yang sedang mengobrol. Jourell menyapa rekan-rekannya. Kemudian dia memperkenalkan Cornelia yang bersalaman dengan orang-orang tersebut. "Pacar baru?" tanya Chandra Kamandaka, ketua tim tiga PG di mana Jourell bergabung menjadi anggotanya. "Bukan, kami cuma teman," kilah Jourell sembari mengamati pasangannya yang sedang berbincang dengan Dianti, istri Chandra, dan beberapa perempuan lainnya di dekat stand minuman. "Dia, manis," sela Theo. "Badannya lumayan tinggi," imbuh Anto. "Aku kayak familiar dengan wajahnya," cakap Levin Aryeswara, anggota tim lima PG, sekaligus Adik sepupu Trevor dan Terren Aryeswara, serta Benigno dan Ethan Janitra. "Jelas, dia adiknya Rylee," terang Jourell. "Ehm, dari PC, kan?" tanya Levin. "Yups. Mas Trevor mentornya." "Ah, ya, pantas saja kayak nggak asing sama wajahnya. Tapi, cantikan dia dari Rylee.' Jourell memandangi temannya yang tengah mengulum senyuman. "Dia cewek, pasti cantik. Kalau Rylee yang cantik, heboh udah." "Levin kumat," seloroh Chandra. "Abaikan. Dia lagi pusing nggak dapat teman kencan," kelakar Theo. "Salah sendiri. Mepet waktu ngomong ke Edelweiss. Enggak sempatlah dia nyariin teman kencan," cetus Anto. "Yoih. Harusnya dari beberapa hari lalu. Kayak Mas Heru, tuh " Chandra mengarahkan dagu pada seorang pria bersetelan jas marun yang sedang bercakap-cakap dengan seorang perempuan berambut panjang. "Itu, Edelweiss yang nyariin?" tanya Jourell. "Ya," balas Chandra. "Cantik." "Hu um." "Seksi juga." "Hmm." "Sayangnya pendek. Bukan seleraku." "Kalau seleramu, pasti sudah dideketin dari tadi." "Kok, Mas tahu?" "Kulitnya agak gelap, matanya besar dan bibir penuh. Kesukaanmu yang model gitu." "Mas hebat, bisa tahu favoritku kayak gimana." "Bukan hebat, tapi Mas Tristan pernah cerita gitu." "Argh! Dia memang suka membongkar aibku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN