***
Orcha’s Place Apartment, Washington D.C, USA.,
Ruang tamu.,
Malam hari.,
Zea masuk ke halaman rumahnya. Dia merasa bingung sebab rumahnya terlihat sepi sekali.
Ketika mobilnya mulai mendekat ke arah garasi, pintu garasi terbuka otomatis. Dia kembali menekan pedal, perlahan mobilnya masuk ke dalam garasi mobil.
Syefa melihat ruangan di dalam rumah tampak gelap. Tapi dia tidak mau berpikiran yang tidak-tidak. Walau hatinya merasa sedikit aneh.
Dia keluar dari dalam mobil sambil membawa beberapa barangnya. Lalu dia mengunci mobil dan memperhatikan keadaan sekitar garasi.
Setelah aman, dia mengunci garasi mobil dengan pengaman kedua. Kemudian, dia melangkahkan kakinya lagi masuk ke dalam rumah melalui pintu penghubung dapur disana.
Tidak lupa, Zea membersihkan tubuhnya dengan cairan antiseptik. Sekaligus dia juga menyemprotkan barang-barang yang ia bawa dengan cairan yang sama.
Setelah dia merasa bersih dan steril, Zea masuk ke dalam rumah yang masih gelap gulita. Dia memanggil sang Nenek dan Adik di dalam rumahnya, tapi tidak ada sahutan apapun.
Degup jantung Zea semakin tidak terkontrol saat mendapati rumah mereka sunyi senyap. Otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak.
Ini adalah hari ulang tahunnya, haruskah ada kejadian buruk yang terjadi di rumahnya ini, pikirnya. Tidak, Zea masih bisa mengontrol pikirannya sendiri.
Dia segera mengambil ponsel dari dalam tasnya, lalu mengarahkan lampu di ponselnya untuk mencari saklar lampu. Setelah mendapatkan tujuannya, Zea langsung menekan saklar disana hingga lampu di ruangan utama menyala.
Zea terkejut saat melihat Nenek dan Adik semata wayangnya memberikan kejutan disana. Ada kue bundar kecil dan pluit yang berbunyi di tangan sang Adik, Erica. Mereka berdua mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
Tidak ia sangka, air matanya menetes begitu saja. Semua barang-barang yang ia pegang terjatuh di lantai. Zea menangis sambil mendekati mereka.
…
Dia masih menitihkan air mata ketika Nenek dan adik semata wayangnya memberikan kejutan tidak terduga. Zea masih berhadapan dengan mereka yang menunggunya untuk meniup lilin.
Namun, Erica tidak sampai hati melihat sang Kakak terus menangis. Dia meletakkan kue itu diatas meja, di sekitar mereka.
“Aku pikir kalian melupakan hari ulang tahunku. Karena aku tidak mau lagi membahasnya … aku masih teringat dengan Ayah dan Ibu,” ujarnya sambil menyeka air mata lalu membiarkan sang Adik memeluknya erat.
Erica memeluknya dan ikut menitihkan air mata.
“Kakak jangan sedih ya. Dan terima kasih … selama ini kau sudah menafkahi kami. Kau menggantikan tugas Ayah dan Ibu dengan baik. Aku hanya ingin kau sehat-sehat saja, Kak. Kau jangan sakit dan sedih lagi,” ujar Erica disela-sela air mata yang tumpah.
Begitu juga dengan sang Nenek, Amber Maurent Coates. Dia tersenyum bahagia melihat kedua cucunya sekarang ini. Walau di hatinya masih tersimpan rasa kesedihan sebab tahun ini adalah tahun pertama mereka merayakan ulang tahun dalam kondisi yang masih sama. Apalagi keluarga mereka sudah tidak lengkap seperti tahun sebelumnya.
Ambar mendekati kedua cucunya, lalu memeluk mereka.
“Kalian adalah hartaku yang paling berharga. Kalian harus selalu sehat demi aku,” gumam Amber ikut menitihkan air mata.
Zea mengangguk kecil.
“Baiklah, Kak. Ini tidak boleh berjalan terlalu lama. Kau harus meniup lilinmu terlebih dulu,” ujar Erica mengendurkan pelukan mereka. Dia kembali berjalan mendekati meja, lalu mengambil kue tar yang tadi ia pegang.
Amber menyeka air mata sang cucu.
“Jangan menangis, Sayang. Ini hari ulang tahunmu. Semua keluarga kita berkumpul disini, untuk merayakan bersama-sama.” Dia berusaha untuk menguatkan mereka dengan cara sederhana seperti ini. Bagi Amber, ini adalah cara yang tepat sebab dia tahu kalau Zea sudah berpikir dewasa menyikapi kondisi keluarga mereka.
Zea mengangguk dan tersenyum tipis. Dia mulai menghela napas ketika Erica sudah berada di hadapannya sambil memegang kue tar berisi lilin dengan angka 26 tahun.
“Jangan lupa berdoa terlebih dulu, Kak. Dan aku juga akan ikut berdoa bersamamu,” ujar Erica tersenyum lebar.
Dia mengangguk kecil menatap adiknya yang berusis 11 tahun ini. Sungguh, kekuatan terbesar Zea ada di pundak mereka. Hanya Nenek dan Adiknya yang bisa membuat Zea setegar sekarang.
“Baiklah … aku akan berdoa dulu,” ujarnya tersenyum lalu menyematkan kedua jemarinya, meletakkannya di dekat d**a. Zea mulai memejamkan mata.
Amber dan Erica ikut memejamkan mata dan berdoa sesuai harapan mereka masing-masing.
‘Tuhan … aku hanya memiliki mereka berdua. Tolong bantu aku. Bantu penelitianku. Berikan keberhasilan dan kemudahan bagiku di jalan yang kau pilih. Jangan sesatkan aku diantara dua pilihan yang sulit. Jika langkahku sudah benar … kumohon bantulah aku. Amin,’ bathin Zea kembali berdoa dengan harapan yang sama, seperti doa yang ia harapkan ketika hendak meniup lilih di pagi hari tadi.
Setelah menggumamkan doa dalam hati, Zea membuka mata kemudian meniup dua lilin disana.
“Yeay!! Selamat berusia 26 tahun, Kakak! Aku sangat menyayangimu! Aku ingin kau segera memiliki kekasih!” celetuk Erica asal bicara.
Amber tertawa geli lalu berjalan menuju sofa di dekat mereka.
“Ayo, duduk disini. Pinggangku mulai pegal. Dan kita harus memakan kuenya, karena aku sudah tidak sabar.”
Sementara Zea sudah mendatarkan ekspresi wajahnya ketika sang Adik membahas perihal kekasih. Entahlah, Zea sangat tidak suka bila membahas soal itu.
Mereka sangat antusias memakan kue tar itu bersama. Apalagi Erica yang berulang kali mengatakan kalau dia ingin hadiah terbaik saat ulang tahunnya nanti.
Zea hanya mengiyakannya saja, walau dia belum ada ide untuk memberikan hadiah di hari ulang tahun adiknya nanti. Karena dia pikir, itu masih lama.
Rasa lelah di tubuh Zea menghilang seketika. Kebersamaan seperti ini sangat ampuh untuk menghilangkan kebosanan dan kesedihannya.
Mungkin, tidak ada salahnya kalau dia bermain sebentar dengan keluarganya. Kemudian setelah ini, dia akan membaca kembali hasil penelitian hari ini yang masih mendapatkan jawaban yang sama.
…
Kamar Zea.,
Dia masih duduk di meja kerjanya sembari memperhatikan dua bingkai foto di hadapannya. Air matanya menetes diantara senyuman manisnya.
‘Ayah dan Ibu tenang saja … aku berjanji akan menjaga Nenek dan Erica. Aku berjanji akan berusaha keras untuk menyelamatkan dunia ini. Tolong … kalian harus pantau aku dari sana.’
Zea masih terus tersenyum. Sesekali, jemari kanannya mengusap bingkai foto disana. Kedua orang tuanya tampak tersenyum bahagia sambil menggendong dia dan adiknya ketika mereka masih kecil.
‘Aku yakin Tuhan selalu bersama denganku. Aku yakin … suatu saat aku pasti berhasil. Tuhan pasti mengabulkan doaku.’
Dia mengambil satu bingkai disana, lalu mengecup lama foto kedua orang tuanya.
‘Aku sangat merindukan kalian. Tuhan … tolong jaga mereka disana untukku. Dan jaga Nenek serta Adikku disini. Aku siap mengorbankan nyawaku untuk dunia ini, Tuhan.’
---**---
National Laboratory of The Abacheviro.,
Laboratorium Virologi.,
Siang hari.,
Pria itu membanting setumpuk berkas yang ia pegang ke atas meja berwarna coklat.
Braakkk!
“Kenapa dia masih melanjutkan penelitiannya?! Bukankah mereka sudah melarang keras??” ketus seorang pria dengan wajah murka dan merah padam.
Mereka semua terdiam dan saling melirik satu sama lain. Seperti hari-hari sebelumnya, pria ini selalu tidak puas dengan pencapaian mereka.
Bahkan dia semakin terlihat antusias untuk mengedarkan vaksin yang sudah mereka buat sebagai pencegah virus yang masih bertebaran di udara dan menyiksa orang banyak. Virus Monodna IV-98 yang dibuat oleh mereka sendiri.
Seorang pria berusia 79 tahun, dia kembali membuka suaranya.
“Kenapa kau selalu saja tidak puas, dr. Dishi? Tidakkah kau lihat kami sudah melakukan yang terbaik demi misi kita??” tanyanya masih duduk di posisinya. Dia melihat pria yang tengah berdiri disana.
Sementara 4 orang yang lain, mereka masih diam saja di posisi duduk masing-masing. Mereka sendiri enggan untuk berbicara jika pria bernama lengkap Dr. dr. Dishi Ang Bei itu terus menerus murka dengan keputusan Badan Kesehatan Dunia yang hanya memberi surat peringatan untuk memberhentikan penelitian Ilmuwan asal Amerika.
Pria yang akrab disapa dr. Dishi itu menatap tajam mereka. Kedua telapak tangannya bertumpu diatas meja berbahan kayu coklat itu. Dia berusaha untuk menetralkan emosinya sendiri, sebab ia sadar, sepertinya dia memang sudah berlebihan.
“Prof. dr. Zhang Binjie … bukankah kau seharusnya lebih pintar dari wanita itu??”
Deg!
Mereka semua saling menatap satu sama lain. Dr. Dishi mulai berani melayangkan pertanyaan konyol dengan nada bicara terdengar angkuh terhadap Prof. dr. Zhang Binjie, pria berusia 79 tahun yang sangat dihormati di laboratorium ini, sekaligus pria yang berusaha mengedarkan virus yang telah diberi nama Monodna IV-98 oleh Badan Kesehatan Dunia.
Dia masih menatap lekat Prof. dr. Zhang Binjie sambil menyeringai miris.
“Kenapa mereka bisa selemah itu mengentikan penelitiannya, sementara kita lebih kuat dan bisa membuat dunia berada dalam cengkeraman kita?! Kenapa permintaan kita hanya dikabulkan dengan hanya sepucuk surat saja?! Apa kita harus membuat virus yang lebih mematikan lagi?!”
Hening, mereka enggan untuk membalas ucapan pria yang sangat angkuh ini. Sejak awal, mereka memang sudah mengetahui dan memahami sifat asli dari Dr. dr. Dishi Ang Bei yang selalu haus akan pujian, kekuatan, serta kekuasaan. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga membutuhkan uang demi keberlangsungan hidup keluarga mereka.
“Lalu apa yang kau inginkan, dr Dishi?” sahut seorang pria berusia 32 tahun itu.
Dr. Dishi mengalihkan pandangannya, menatap pria yang akrab disapa dr. Fang Yin. Kemudian, dia menyeringai.
“Aku?? Aku mau wanita itu mati,” jawabnya dengan nada bicara pelan, tanpa berbasa-basi.
Glek!
Deg!
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)