BAB 9

776 Kata
"Pakailah ini, jika keluar bersama saya, saya tidak ingin kamu terluka lagi" ucap Rafa. "Iya terima kasih" ucap Arin, kali ini ia memperhatikan Rafa duduk di sampingnya. "Kamu, sudah selesai bertemu klien kamu?" Tanya Arin. Ia mulai membuka topik pembicaraan, agar menghilangkan rasa gugupnya jika berada di dekat Rafa. "Sudah". "Bagaimana hasilnya" tanya Arin lagi, kali ini memberanikan diri melirik Rafa. Rafa tersenyum, ia sama sekali tidak pernah gagal dalam usaha dan kerja kerasnya selama ini. "Tentu saja saya berhasil". Arin tersenyum, "Selamat atas keberhasilan kamu". "Terima kasih, bagaimana jika kita merayakannya?" Tanya Rafa. "Ya, tentu saja". "Apa yang kamu inginkan?" Rafa lalu bertanya, ia menatap Arin, ia mengelus rambut Arin. "Maksud kamu?". Rafa melipat tanganya di d**a, "Kamu tidak menginginkan tas, jam tangan, cincin atau sejenisnya?" Tanya Rafa. Jujur ia belum pernah memberi apa-apa kepada Arin. Karena memang ia tidak dekat kepada Arin dulu. Dea sudah terlalu sering meminta berbagai macam hadiah kepadanya, hingga ia hafal dengan sifat manja Dea, ia selalu memenuhi permintaan Dea dan tidak pernah menolaknya. "Saya tidak menginginkan apa-apa dari kamu" ucap Arin. Rafa hanya diam sesaat, Dea dan Arin memang berbeda, sifatnya juga berbeda. "Iya tidak apa-apa" ucap Rafa, Rafa sedikit kecewa Arin mengatakan seperti itu. "Kamu mau menemani saya berenang?" Tanya Rafa. "Oke" ucap Arin. ****** Hari ini Rafa putuskan tidak akan keluar dari hotel. Ia akan menikmati fasilitas hotel saja. Sejujurnya ia juga tidak bersemangat untuk keluar lagi, mengingat Arin nasibnya tidak begitu baik jika berada di luar. Rafa melirik Arin, ia duduk di kursi malas, bahkan ia tidak berniat untuk berenang bersamanya, pakaian itu masih sama, tidak niat untuk menggantinya. Rafa hanya lalu menceburkan diri ke kolam. Arin menatap Rafa, Rafa berenang kesana kemari, ia seperti atlit renang. Pantas saja ia memiliki tubuh sempurna seperti itu. Beberapa menit kemudian Rafa telah muncul dipinggir kolam. "Kamu tidak ingin berenang bersama saya?". "Saya baru selesai mandi" ucap Arin. "Tolong ambilkan handuk untuk saya" Rafa menunjuk, handuk yang tidak jauh dari tempat Arin. Arin lalu mengambil handuk itu, dan melangkah mendekati Rafa yang berada di pinggir kolam. "Ini" Arin menyerahkan handuk itu. "Terima kasih" Rafa tersenyum lalu mengambil handuk dari tangan Arin. Bukan handuk yang ia pegang melainkan tangan Arin. Arin terkejut ketika tubuhnya otomatis tercerbur kedalam kolam. Sial, kenapa ia tidak menyadari bahwa Rafa menjebaknya. Arin hanya diam, ia menatap Rafa tersenyum lalu mendekatinya. Arin membalas tatapan itu, seperti ada kilatan berbeda di wajah Rafa. Ia bukan seperti Rafa yang ia lihat. "Saya hanya minta ditemani berenang, kamu malah duduk". "Maaf, tadi saya baru saja selesai mandi". "Bisakah kita bersenang-senang, menikmati keberhasilan saya". "Ya" hanya itu yang Arin ucap. Rafa semakin mendekat, jemari Rafa memegang pundaknya. Dress floral yang ia kenakan sudah tidak berbetuk, serta rambut yang ia sisir dengan hati-hati kembali basah. Arin hanya bisa menatap Rafa. "Bisakah kita bersama" ucap Rafa. "Bersama?". "Kamu tahu maksud saya". Rafa meraih pinggang Arin semakin mendekat. Jantung Arin maraton, ketika tubuhnya begitu dekat, Rafa memeluknya. Rafa membawanya ke sisi kolam. Arin hanya bisa menelan ludah, ia memegang pundak Rafa. "Boleh saya tanya sesuatu?". "Apa?". Arin mengalihkan tatapannya ke d**a bidang Rafa. Ia menyentuh tato yang terukir itu, "Saya penasaran dengan tulisan ini" ucap Arin. Rafa merasakan sentuhan Arin di dadanya, sentuhan itu sangat lembut dan menenangkan. "Kamu tidak bisa membacanya?" Tanya Rafa. Arin membaca lagi tulisan itu, dan dilihatnya satu persatu huruf, Arin kembali menatap Rafa, "Breath". Rafa menyentuh wajah Arin, "Ya, Breath". "Kenapa Breath?". "Mengingatkan saya bahwa, semua makhluk yang bernyawa itu bernafas". "Ya, selalu mengingatkan kita kepada Tuhan, bukan kah begitu". Rafa semakin mempererat pelukkanya, sementara tangan kirinya menyelusuri wajah Arin. "Ya, sepertinya begitu. Dulu saya bingung akan menulisnya apa, dan Breath menjadi pilihan saya, jika dari dulu saya mengenal kamu, mungkin disini nama kamu terukir". Arin diam sesaat, ditatapnya wajah Rafa, ia bingung berkata apa. Wajah Rafa semakin mendekat. "Saya tidak akan mengulangnya lagi, bisakah kita bersama?" Ucap Rafa. Ia sudah tidak peduli ada orang menatapnya. Arin mengelus permukaan wajah Rafa, wajah itu tampan, hidungnya mancung seperti pedang. Matanya begitu tajam, dan bulu bulu halus menutupi rahangnya. "Ya" ucap Arin berani membalas tatapannya. Rafa tersenyum, Rafa tahu ini bukan pertama kalinya menyatakan cinta kepada seorang wanita, ia bahkan sudah puluhan kali menyatakan itu. Ia tahu bahwa ia salah dengan tindakannya. Ia sadar bahwa ia telah mempermainkan adik dari calon istrinya sendiri. Sungguh ini bukan maunya, tapi kenapa ia selalu seperti ini ketika berhadapan dengan Arin. Dari awal ia sudah menciptakan kebohongan ini. Dan lama kelamaan kebohongan itu, sudah terbiasa, bahkan memberi peluang cukup besar kepadanya. Rafa lalu melumat bibir tipis Arin, tidak peduli beberapa pasang mata menatapnya. Awalnya hanya sebuah kecupan-kecupan, tapi lama kelamaan menjadi candu untuknya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN