Rafa menatap Arin tepat dihadapannya. Arin mengenakan celana jins pendek serta kaos putih bertali spaghetti. Rafa terpana menatap penampilan Arin, bukan pakaian itu yang membuatnya terpana, tetapi kulit pucat seperti porselen itulah yang menjadi pusat perhatiaanya. Kulit pucat itu seperti menggoda untuk disentuh.
Rafa membuang jauh-jauh pikiran kotornya. Ia tersenyum menatap Arin, "Kamu mau makan apa?".
"Street food saja" Arin memberi saran.
Rafa lalu melangkahkan kakinya, diiringi oleh Arin menuju lift. Rafa menekan lantai dasar.
"Street food? Yasudah kita jalan kaki saja ya, mungkin daerah sini banyak makanan" ucap Rafa.
"Iya, maaf ya saya disini merepotkan kamu lagi. Selama disini hidup saya tergantung pada kamu. Kamu tahu sendiri bahwa saya sudah tidak punya apa-apa lagi".
"Iya tidak apa-apa, sudah seharusnya saya menjaga kamu".
"Sekali lagi terima kasih ya" ucap Arin. Ia tersenyum.
Di Bangkok bukan hanya terkenal dengan dunia gemerlapnya saja, tapi kulinernya juga sangat terkenal akan jajanan kaki lima, banyak sekali makanan yang di sajikan setiap sudut kota.
Banglamphu ini lah lokasi yang ia telusuri, terkenal dengan jajanan. Lokasinya memang tidak terlalu jauh dari hotel tempatnya menginap.
Berjalan ditepi trotoar seperti ini, ia benar benar seperti turis. Pilihan Arin untuk berjalan kaki merupakan ide yang bagus. Arin menunjuk salah satu gerobak yang banyak sekali turis mengantri untuk mendapatkan makanan tersebut.
"Kita coba itu deh, kayaknya enak" tunjuk Arin.
"Iya kita coba makan disana" Rafa tersenyum lalu melangkah mendekati gerobak penjual di pinggir jalan.
Arin dan Rafa ikut mengantri bersama pengunjung lainnya. Makanan tersebut adalah pad thai sejenis mie khas Thailand.
"Kamu masih kuliah?" Tanya Rafa, ia membuka topik pembicaraanya.
Jujur dulu ia masih SMA ia tidak terlalu mengenal Arin, mungkin karena Arin masih duduk di sekolah dasar hingga tidak begitu nyambung di ajak berbicara dan bercanda. Ia hanya mengenal Dea, Dea lah menjadi pusat perhatiannya selama mereka hidup bertetangga, sebelum orang tua Arin memutuskan untuk pindah ke Singapore.
"Iya, masih".
"Kuliah dimana?" Tanya Rafa.
"Melbourne University, manajemen bisnis, sekarang tahun ke tiga".
"Suka kuliah disana?" Rafa melirik Arin.
"Suka dong" ucap Arin ia tertawa.
"Apa kamu sudah menikah?" Tanya Arin penasaran.
Rafa mengerutkan dahi, tidak menyangka pertanyaan Arin kepadanya. Adik iparnya sendiri tidak tahu bahwa ia akan segara menikah dengan saudara kandungnya sendiri. Jangan bilang bahwa Arin tidak tahu apa-apa tentang pernikahan ini. Mungkin sedikit aneh kedengarannya, saudara kandungnya sendiri tidak menceritakan perihal pernikahan yang akan berlangsung sebulan lagi.
"Apa saya terlihat, seperti laki-laki yang sudah menikah?" Rafa malah membalikkan pertanyaan.
Arin melirik jemari Rafa, tidak ada cincin melingkar di jarinya. "Belum" Arin tersenyum.
Rafa tertawa, dan ia mengelus puncak kepala Arin, "Dari mana kamu tahu, jika saya belum menikah".
"Itu tidak ada cincin dijari kamu".
"Tidak semua laki-laki ketika menikah memakai cincin".
Arin terdiam, ia menatap Rafa, "Jadi kamu sudah menikah".
Rafa tertawa, "Belum".
Arin tersenyum, tanpa ia sadari ia telah berada didepan gerobak. Rafa memesan dua porsi Pad Thai menggunakan bahasa inggris, dibantu dengan gerakan tubuh agar sang penjual mengerti. Arin dan Rafa lalu duduk dikursi paling pojok.
Semenit kemudian dua mangkok mie tersedia di hadapannya. Rafa kembali menatap Arin, Arin mengikat rambut sebahunya seperti ekor kuda. Sehingga menampakkan lehernya yang jenjang. Dan lalu menikmati makanannya.
"Sudah berapa lama kamu tidak pulang ke Jakarta?" Tanya Rafa.
"Tidak pernah pulang semenjak pindah ke Singapore".
"Benarkah? Kamu tidak ingin tinggal di Jakarta lagi?".
Arin mendikkan bahunya, "Iya pengen, tapi nanti tunggu selesai kuliah. Lagian saya masih warga negara Indonesia, belum niat masih pindah kewarganegaraan".
Rafa kembali berpikir, "Kakak kamu dimana sekarang?" Tanya Rafa, ia jujur semakin penasaran. Apakah Arin tahu keberadaan sang kakak.
"Di Jakarta, sudah lama sih kakak saya memutuskan tinggal di Jakarta, ada usaha juga disana, kenapa?".
"Ah, tidak hanya tanya saja" Rafa tersenyum.
"Bulan depan kakak saya katanya mau nikah" ucap Arin, ia memasukan mie kedalam mulutnya menggunakan sumpit.
"Oh ya, dengan siapa?" Rafa mencoba dengan aksen terkejut dan berpura-pura tidak tahu apa-apa.
Oh Tuhan, maaf kan hambamu ini yang penuh dosa. Kenapa sulit sekali ia berkata jujur kepada Arin, bahwa ia adalah calon suami dari sang kakak. Apa yang ada di dalam pikirannya selama ini. Ia tidak tahu, kenapa ia sudah pandai sekali berbohong. Aktingnya sudah tidak diragukan lagi, ia bisa ikut casting di film hollywood.
"Saya tidak tahu, acara lamaran waktu itu saya tidak datang. Eh malah kabur ke Bangkok. Saya pikir hanya lamaran biasa belum nikah sih, kalau sudah hari H, saya pasti datang".
Rafa tersenyum dan mengangguk, ia kembali memakan mie dihadapannya. Sudah cukup ia mendapat informasi itu. Bahwa Arin benar-benar tidak tahu, siapa calon suami kakak kandungnya sendiri. Dan semakin heran, apakah ada saudara kandung tidak mengenal satu sama lain, tidak berbagi cerita. Mungkin mereka sudah lama terpisah, dipisahkan oleh negara yang berbeda, menyebabkan komunikasi terputus seperti ini. Ya sepertinya begitu, dugaan Rafa hampir mendekati.
"Oh, kamu jadi tidak tahu".
Arin menatap Rafa, "Kamu sudah punya pacar?" Tanya Arin.
"Belum" ucap Rafa sepontan.
Habis lah sudah, ia pandai sekali bersilat lidah. Entah kenapa, ia tidak ingin Arin tahu siapa dia sebenarnya.
"Benarkah? Saya tidak percaya bahwa laki-laki tampan seperti kamu, tidak memiliki pacar" Arin menyumprut minumannya.
"Tidak semua pria tampan harus memilik pacar bukan?".
Arin tertawa, ia menatap Rafa, "Ya, kebanyakan sudah".
"Kamu sudah punya pacar?".
"Belum juga".
"Yasudah kamu jadi pacar saya saja kalau begitu" ucap Rafa. Kata-kata itu meluncur dengan mulus di bibirnya.
Sementara Arin mematung mendengar ucapan Rafa. Ia seperti tidak percaya apa yang di dengarnya.
*****