(B)ART 6 – Memantapkan Diri

1119 Kata
Syahla pun pulang dengan perasaan senang. Dia mendapatkan sketsa orang diduga orang tuanya dari Pak De Kus. Dia juga belum mengetahui mengenai apakah dirinya benar-benar ingin pergi atau hanya keinginan sesaat saja.   Malam pun datang, Syahla hanya bisa duduk-duduk sendirian di teras rumahnya. Orang tua angkatnya berada di dalam. Kalau sedang sendirian seperti ini dia merasa sedih. Selama bertahun-tahun di rumah tersebut nyatanya masih menyisakan perasaan ingin mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.   Saat tengah menikmati kesendiriannya, Syahla melihat beberapa orang yang datang, dia pun membelalakkan matanya, dia sangat mengenal siapaorang yang datang tersebut. Juragan Tagor dan antek-anteknya. Lagi-lagi Juragan Tagor datang ke rumah Syahla.   Duh! -ringis Syahla.   Sayhla langsung berdiri dan langsung masuk ke dalam. Dia tidak mau menemui Juragan Tagor tersebut. Dia berlari lalu sesampainya di dalam rumahnya, dia mengunci rumahnya.   “Ana apa?” tanya Ibunya seketika.   Syahla terkejut mendengar ibunya mengatakan hal demikian.   “Eh, ndak ada, Bu. Ndak ada apa-apa.” Kata Syahla.   Syahla pun langsung berlari ke kamarnya. Namun, belum sampai niatnya tersebut terlaksana, pintu diketuk.   Jantung Syahla berdegub dengan kencang.   “Buka!” seru ibunya.   Syahla menggelengkan kepalanya.   “Ani!” seru ibunya.   Syahla pun berlari hendak masuk ke dalam, tiba-tiba ibunya Syahla pun mencekal pergelangan tangannya. Syahla pun kini merasakan kalau sebuah bencana akan datang lain.   BUG BUG BUG!   Ketukan kini sudah berubah menjadi gedoran.   “Ani, ini juragan, Sayang!” seru Juragan Tagor yang membuat Syahla bergidik ngeri.   Ibunya Syahla pun membawa Syahla, lalu membukakan pintu. Kini dirinya mengerti mengapa Syahla bersikap aneh sekali. Pintupun dibuka.   “Eh, Juragan. Silakan masuk!” kata Ibunya Syahla.   Juragan Tagor dan pengawalnya pun masuk ke rumah dan duduk di ruang tamu. Syahla pun diminta untuk membuatkan kopi. Syahla pun berjalan ke dapur. Setidaknya iu lebih baik di banding duduk di ruang tamu menjadi tatapan dari laki-laki m***m seperti Juragan Tagor.   “Ana siapa, Ni?” tanya Ayah Syahla.   “Juragan tagor, Pak.” Kata Syahla malas.   Ayah Syahla yang mendengar nama Juragan Tagor pun langsung  terlihat senang dan langsung masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaian dengan pakaian yang bagus.   Syahla menggelengkan kepalanya. Melihat kedatangan Juragan Tagor tersebut membuat Syahla kini membulatkan tekadnya. Besok malam, dia akan pergi. Dia sudah mendapatkan informasi dari Samsul dan Desi mengenai tempat pul bus yang bisa dia datangi ke Jakarta.   Hari ini Syahla memilih untuk menurut saja, dia tidak akan membantah apapun sekarang. Waktunya tinggal beberapa jam lagi. Syahla memiliki kalung yang dia tanam di halaman belakang, dia berharap kalau kalung itu bisa dijual dan bisa memberikan dia ongkos ke Jakarta. Setidaknya itu dahulu, selebihnya masalah bagaimana dirinya di Jakarta, dia tidak terlalu memusingkannya.   “Wah, makasih, Nok Ayu.” Kata Juragan Tagor.   Syahla mengangguk saja, malas berkomentar.   Di sana sudah ada kedua orang tua angkatnya. Syahla pun bersiap untuk keluar.   “Ani! Sini dulu, Nak!” kata Ibuku yang terlihat ramah.   Syahla tahu keramahan itu hanya karean ada Juragan Tagor. Syahlapun menganggukkan kepalanya dan duduk di samping ibunya dengan ekspresi datar.   Syahla tidak memberikan garam pada teh itu, hanya meludahinya sedikit.   “Di minum, Juragan.” Kata Ibunya Syahla.   “Iya, jadi setelah menikah sama Ani, sawah yang ada di pinggir jalan itu, akan jadi punya kalian.” Kata Juragan Tagor.   Ibu dan Ayah angkat Syahla saling pandang dengan tatapan berbinar. Syahla hanya bisa menghela nafas, hidupnya hanya seharga sawah.   “Jadi, kapan akan dilangsungkan pernikahannya, Juragan?” tanya Ayah Syahla.   “Satu minggu lagi. Atau lusa saja?” tanya Juragan Tagor.   “Lebih cepat lebih baik, Juragan.” Kata Ayah Syahla.   “Baiklah, lusa saja. Kalian ndak perlu mengeluarkan uang sedikitpun. Untuk pesta pernikahannya biar saya yang mengurusnya.” Kata Juragan Tagor.   “Wah, terima kasih, Juragan. Terima kasih.” Kata Ayah Syahla.   Syahla hanya diam.   ***   Syahla menghampiri kedua adiknya yang kini tengah bermain gundu yang bentuknya tidak bulat lagi. Syahla merasa sedih sekali melihat bagaimana adiknya itu terlihat seperti anak tidak terurus.   Syahla bukannya tidak tahu kalau kedua adiknya tersebut tidak memiliki teman, namun dia membiarkannya karena bingung melakukan apa.   “Syahri, Syafia!” panggil Syahla kepada kedua anaknya.   “Yayu!” seru mereka yang langsung menyudahi permainan dan berlari ke arah kakaknya. Syahla hanya bisa nyengir lebar saat  kedua adiknya sudah ada di hadapannya.   “Wis mangan?” tanya Syahla.   Syahri dan Syafia menggelengkan kepalanya. Syahla meringis dalam hati, dia pun mengusap kepala kedua adiknya secara bergantian dengan menggunakan tangannya. Dia pun menyodorkan dua bungkus nasi yang dia ambil dari rumahnya lengkap dengan dua air putih.   Bang Tagor memberikan ibunya uang jadi dia sekeluarga bisa makan enak.   Syahla memberikan satu persatu makanan itu dan air kepada kedua adiknya.   “Mangane ning kene bae. (makannya di sini aja).” Kata Syahla.   Kedua adiknya pun mengangguk.   Mereka pun duduk di atas rumput dan langsung membuka nasi itu. Syahla membantu adik perempuannya yang terlihat kesulitan. Lalu, kedua adiknya pun makan begitu lahap. Ini kali pertama dalam beberapa bulan mereka berdua makan nasi dengan ayam.   “Enak?” tanya Syahla.   “Enak, Yu!” seru Syafri dan Syafia bersamaan dengan mulut penuh makanan.   Syahla terkekeh meski hatinya terasa sangat sakit melihat adiknya yang terlihat kelaparan dan terlihat seperti baru mengenal nasi dan ayam. Mereka makan dengan lahap.   Setelah selesai, Syafri bersendawa sangat kencang.   “Kari laka yayu aja nakal ya?” kata Syahla.   Syafri dan Syafia saling pandang, mereka belum tahu apa maksud dari ucapan kakaknya tersebut, “Pan mengendendi, Yu? Melu. (Mau ke mana, Kak? Ikut.)” kata Syafri.   “Yayu mau pergi sebentar, kalian jangan ke mana-mana selama yayu pergi ya? Nanti yayu jemput kalian, kita pergi sama-sama.” Kata Syahla.   Meski Syafri dan Syafia tidak mengerti ke mana kakaknya akan pergi dan berapa lama kakaknya akan pergi mereka tetap menganggukkan kepala.   Setelah betermu dengan adiknya, Syahla pun kembali ke rumahnya dan berjalan ke halaman belakang. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, setelah memastikan kalau tidak ada orang dirinya langsung mencari ranting dan langsung menggali tanah dengan menggunakan ranting tersebut. Dia ingin mengambil sebuah kalung miliknya yang dia tanam saat dia pertama kali diangkat menjadi anak oleh kedua orang tuanya yang sekarang.   Selama ini Astuti dan Salim atau kedua orang tua angkat Syahla tidak mengetahui keberadaan kalung tersebut. Kalau mereka mengetahuinya, tentulah mereka akan memintanya.   Syahla mengantongi kalungnya ke saku celana.   “Ko sih lagi apa? (kamu lagi ngapain?)” tanya Ibunya Syahla.   Syahla menghela nafas kaget. Kini jantungnya berdegub dengan cepat. Dia mulai cemas kalau ternyata ibunya mengetahui apa yang dilakukannya.   “Eh, ndak Bu. Ini Syahla lagi main tanah aja.” Kata Syahla sambil nyengir lebar.   “Bocah gemblung.” Kata kata Ibunya Syahla.   Syahla hanya terkekeh saja dikatai oleh ibunya. Ibunya pun masuk, kini ekspresi kekehan Syahla berubah menjadi serius. Dia pun langsung berniat pergi menuju pasar untuk menukar kalung tersebut.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN