(B)ART 7 – Pengejaran

1153 Kata
Semuanya tidak berjalan mulus, Syahla dikurung seharian dan tidak diperbolehkan ke manapun. Rencana yang dia susun seketika berubah kacau ketika dirinya dikurung seharian di rumah dan tidak bisa bertemu dengan Desi ataupun Samsul.   Waktu terus berlalu dan besok pagi, Syahla akan diresmikan menjadi istri dari Juragan Tagor.   “Aduh, gimana ini.” Kata Syahla.   Syahla pun mondar-mandir di tempat tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 19.00 WIB bus kemungkinan berangkat pukul 19.30 WIB. Dia mulai merasa kalut. Dia pun mengambil kalung yang dia ambil dari tanah sebelumnya. Malam ini, dia bertekat untuk pergi bagaimana pun caranya.   “Mak, Ani mau pipis!” seru Syahla sambil mengetuk pintu kamarnya dari dalam.   Dia memang dikurung di kamarnya. Kamar Syahla tidak berjendela jadi dia tidak bisa kabur. Dia juga tidak bisa menggunakan jaket karena hal tersebut akan menimbulkan rasa curiga. Dia ingin pergi menemui Desi di rumahnya. Dia tidak memiliki ponsel untuk menelepon Desi, jangankan untuk membeli ponsel, untuk makan sehari-hari saja keluarganya tidak cukup.   Tak lama kemudian, ibunya pun membukakan pintu.   “Aja sue-sue. (Jangan lama-lama).” Kata Ibunya.   Syahla menganggukkan kepalanya. Hal yang paling diuntungkan oleh Syahla adalah kamar mandinya terpisah dengan rumah. Kamar mandi keluarganya ada di halaman belakang.   Ibu Syahla pun menunggu Syahla di dapur.   Syahla pun langsung masuk ke kamar mandi dan langsung menyalakan air kerannya. Untunglah beberapa bulan yang lalu ayahnya memasang keran, jadi tidak perlu menimba air di sumur lagi seperti sebelumnya.   Syahla langsung berjalan pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara dan langsung berlari ke rumah Desi.   “Assalamualaikum, Desi! Desi!” seru Syahla sesampainya di rumah Desi.   “Waalaikumsalam.” Jawab seseorang dari dalam.   Di luar dugaan, ternyata yang membukakan pintu bukanlah Desi melainkan Ayahnya. Syahla pun terkejut. Pasalnya, ayah Desi tidak suka kepada dirinya. Sayhla bahkan ingat kalau Ayah temannya tersebut sering memintanya untuk tidak bermain dengan anaknya karena merasa kalau Syahla anak nakal dan tidak tahu sopan santun.   “Eh, Man …” kata Syahla terkejut. “Desine ana, eh wonten?” tanya Syahla mencoba menggunakan Bahasa halus.   “Desine belajar esuk ujian. Balik mana! (Desinya lagi belajar untuk ujian besok, sana pulang!)” kata Ayahnya Desi.   “Man … sedelat tok … (Paman, sebentar aja.)” kata Syahla memohon.   Ayah Desi pun menggelengkan kepala dan langsung menutup pintu. Syahla ingin mengetuk lagi namun dirinya sadar kalau waktunya tidak lama. Dia harus segera pergi dari sana atau dia akan ketahuan oleh orang tuanya.   Syahla kembali berlari tanpa alas kaki ke rumah Samsul. Dia akan meminta bantuan kepada Samsul untuk mengantarnya ke Pul Bus sekarang juga.   “Sul! Sul! Samsul!” seru Syahla sambil menggedor pintu rumah Samsul, tidak sesopan di rumah Desi karena Ayah Desi tidak akan membukakan pintu bila dia tidak sopan.   “Eh, ana apa, Ni?” tanya Samsul.   “Anterna nyong Sul. Ayo, anterin ke bus ke Jakarta.” Kata Syahla.   “Tap-tapi …” kata Samsul.   “ANIII!” seruan itu lamat-lamat terdengar.   Syahla sangat mengenal suara itu. Suara itu adalah suara dari ibunya. Syahla pun mulai mengeluarkan air mata di hadpaan Samsul, “Tolong, Sul.” Katanya. Syahla tidak bisa meminta tolong kepada orang lain lagi.   Tidak akan ada yang mau menolong dirinya selain Samsul saat ini.   Samsul yang menyadari akan sesuatu langsung mengambil kunci motornya dan langsung berlari cepat ke motornya. Syahla pun ikut berlari dan langsung menaiki motor Samsul. Samsul pun seketika melesat dengan kencang.   “ANIII!” seruan itu tidak lagi sampai di telinga Syahla.   Syahla terus berdoa kalau dirinya akan sampai di pul sebelum bus itu berangkat. Dirinya benar-benar harus pergi saat ini juga. Kalau dia tidak pergi, maka dia tidak akan bisa pergi lagi. Ini semua demi semuanya.   Tak lama kemudian ada sepeda motor yang mengejar motor Samsul.   “Sul, Ayo, Sul!” seru Syahla sambil menangis.   “Ko tenang bae.” Kata Samsul.   Syahla memeluk Samsul dari belakang karena motor Samsul terus melaju dengan kencang. Dia benar-benar tidak merasakan debaran yang ada di d**a sahabatnya itu.   Sesampainya di pul, mereka pun mendapati Bus yang sudah tidak ada di tempatnya. Syahlapun panik. Lalu Samsul pun langsung melajukan motornya dan mengejar bus yang sudah berjalan.   Kini mereka dalam perjalanan mengejar bus dan dibelakang mereka ada motor yang masih terus mencoba mengejar mereka.   BUG BUG BUG!   Samsul mencoba menggedor bagian samping mobil. Bodi mobil tersebut pun menyaringkan suara.   “Om, berhenti, Om!” seru Samsul.   Tak lama kemudian, bus pun berhenti. Lalu, Samsul dengan cekatan langsung menghentikan motornya pula.   “Ati-ati, Ni.” Kata Samsul.   Syahla menganggukkan kepalanya dia bersyukur memiliki sahabat seperti Samsul, “Nitip adi-adine nyong ya, Sul?” kata Syahla.   “Pasti.” Kata Samsul.   “Makasih.” Kata Syahla.   Samsul pun menganggukkan kepala.   Syahla langsung memeluk Samsul sebentar lalu dia langsung berlari menaiki bus yang sudah dibuka oleh kernetnya. Samsul membeku di tempat.   Bus tersebut pun jalan. Kini suara motor di belakang Samsul terdengar mendekat. Samsul pun langsung melajukan motornya untuk menghalau kendaraan tersebut. Dia merasa harus melindungi sahabatnya.   Di dalam Bus, Syahla tidak ada henti-hentinya menoleh kebelakang karena takut ada motor yang mengejar bus yang dinaikinya, namun sejauh dirinya melihat tidak ada lagi motor yang mengikutinya di belakang. Syahla pun langsung menghembuskan nafasnya dengan lega.   Makasih, Ya Allah. -batinnya.   “Pan meng-endi, Cah?” kata kernet.   “Eh? Jakarta, Om.” kata Syahla.   Kernet tersebut terkekeh mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Syahla.   “Iya iya. Maksude Jakatane maring ndi?” kata kernet tersebut. “Kebayoran apa kampung rambutan apa ndi? Jakarta kue akeh.” Katanya.   Syahla terdiam.   Syahla hanya tahu kalau Jakarta itu nama untuk satu tempat, dia tidak tahu kalau Jakarta itu luas. Dia hanya tahu kalau dia ingin pergi ke Jakarta namun dia tidak tahu hendak ke mananya.   Syahla pun memutar otak. Apa kata ternetnya tadi?   Syahla pun menghadap depan. Di kaca depan ada tulisan ‘Kebayoran’ yang masih bisa dibaca oleh dirinya. Kemudian, Syahla pun mengangguk dalam hati.   “Eh, ke-kebayoranlah, Om. Wong jurusane kie meng kebayoran.” Kata Syahla sambil tertawa menyembunyikan rasa gugupnya.   Kalau dia terlihat bingung dia takut diurunkan oleh kernetnya. Setidaknya itulah yang dipikirannya.   “Kari jurusanne lain, ngko dipindah ning rumah makan. (Kalau juruannya lain, nanti dipindah di rumah makan).” Kata kernetnya.   Makin ilanglah Nyong kalo di pindah-pindah kayak gitu. -batin Syahla. “Ora, Om. Makasi.” Kata Syahla.   “Duit ongkose ndi? (Uang ongkosnya mana?)” tanya kernet.   Syahla terdiam namun dia langsung mengeluarkan kalungnya dan menyerahkan kepada kernet tersebut. Dia tidak tahu harga kalung mas tersebut namun dia berharap kalau itu cukup untuk membawanya ke Jakarta.   Kernet tersebut membelalakkan matanya.   “Kie ora salah?” tanya Kernet tersebut.   Syahla menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Laka maning, Om.” Kata Syahla.   Kernet tersebut pun menggigit emas tersebut, ntah apa tujuannya namun Syahla hanya bisa mengamatinya saja. Lalu Kernet tersebut pun tersenyum, “Kie mas asli. Yawis ora papa. (Ini mas asli, yaudah nggakpapa).” Katanya.   Mata Syahla pun berbinar senang, “Makasih ya, Om.” Katanya.   “Iya pada-pada. (Iya sama-sama).” Kata kernet tersebut. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN