Gadis berambut sepunggung itu memeluk lututnya. Entah sudah berapa lama dia terkurung di toilet terbengkalai ini dia tak tahu. Yang pasti cukup lama, jari-jari tangannya sudah memutih dan mengerut karena kedinginan. Dia tidak sempat memasuki kelas tadi. Gadis-gadis bar-bar itu membawanya ke tempat ini, menyiramnya dengan air kotor bekas mengepel lantai dan menguncinya di toilet tak terpakai ini beberapa saat setelah dia melewati gerbang. Toilet ini masih termasuk toilet sekolah mereka. Tapi karena letaknya yang lumayan jauh dan agak terpencil, anak-anak jadi malas ke sini. Jadilah toilet ini terbengkalai dan terlihat menakutkan. Apalagi tanpa adanya penerangan, meskipun siang hari tampak seperti malam. Atau ini memang sudah malam?
Vian menggigit bibir, menahan isak untuk kesekian kali. Tubuhnya terasa lemas. Tadi pagi dia hanya sarapan sedikit. Sisanya dijadikan bekal untuk di sekolah agar dia tidak ke kantin. Bagaimanapun dia tak ingin kejadian seperti beberapa hari yang lalu terulang lagi.
Tapi nyatanya sekarang lebih buruk. Cindy dan kedua temannya mengurungnya di toilet ini. Tanpa tas dan ponselnya yang mereka buang. Vian hanya berharap Andre dan Tara menyadari keabsenannya hari ini dan mencarinya. Semoga saja.
***
Sekali lagi Tara melihat ke kanan dan kirinya. Sangat aneh Vian tidak masuk sekolah. Sementara tadi malam sahabatnya itu tidak mengatakan apa-apa. Entah kenapa perasaannya tidak enak.
Setelah bel tanda istirahat berbunyi, Tara bergegas keluar kelas. Tanpa perduli pak Santoso, guru killer yang mengajar mereka belum keluar. Setengah berlari Tara menuju kelas Andre. Dia akan menanyakan perihal ketidaknampakan Vian pada tunangan sahabatnya itu.
"Vian dimana?" Tanya Tara to the point ketika sudah di depan Andre. "Dia nggak masuk."
Pemuda itu memutar mata bosan. Dia sudah tahu siapa yang bertanya tanpa tedeng aling-aling walau belum melihat orangnya. Siapa lagi kalau bukan satu-satunya sahabat perempuannya, Tara. Tapi berhubung yang ditanyakan Tara adalah Vian, dengan malas Andre berbalik.
"Mana gue tau." Andre mengangkat bahu cuek. "Gue bukan pengasuhnya."
Tara mengepal. Merasa percuma menanyakan Vian pada pemuda tak punya hati di depannya ini. Tak mungkin Andre membaca chat Vian, meskipun Vian mengabarinya.
"Kali aja dia ngasih tau lu." Tara berbalik. "Kan lu tunangannya!" Tara menekan ucapannya sebelum berlalu dari kelas Andre.
Tara tersenyum puas. Gadis itu yakin, setelah kepergiannya, kelas Andre pasti heboh. Tapi dia tak perduli. Justru itu yang dia inginkan, agar siswa di sekolah mereka terutama Cindy dan kedua temannya tahu. Bukankah Cindy cs sudah menghina tunangan Vian di kantin beberapa hari yang lalu.
***
Tara sangat tepat. Apa yang tadi diperkirakan gadis itu terjadi. Andre dikerubungi hampir seluruh teman-teman sekelasnya, baik itu laki-laki mau pun perempuan. Mereka semua menanyakan tentang kebenaran perkataan Tara tadi.
"Cewek belagu itu bohong kan, Ndre?" Cindy bertanya cemas. Diantara semua penghuni kelas yang tidak percaya dia berada diurutan paling atas. "Kamu nggak tunangan sama si nerd kan?"
"Yang lu bilang cewek belagu itu dia punya nama." Andre menatap Cindy dingin. "Namanya Tara dan dia best friend gue."
"Iya, maksud aku Tara." Cindy mengangguk gugup. Tatapan Andre tanpa sadar membuatnya menggigil. "Di-dia bohong kan, Ndre? Dia cuma mau lucu-lucuan aja kan?"
"Emang apa urusannya sama lu?"
Cindy membelalak tak percaya. Di sampingnya Farrel juga menatap Andre horror.
"Sumpah, lu nggak lucu, Ndre!" Farrel terkekeh. Dan kekehannya berganti tawa sumbang begitu tak melihat perubahan wajah Andre. Farrel menggeleng keras. "Fvck! Lu serius, bro?"
"Apa gue keliatan bercanda?" Sudah kepalang tanggung. Walau dia yakin semua teman sekelasnya akan mempercayainya kalau dia menyangkal, tapi Andre tak ingin berbohong lagi. Dia tak perduli dengan semua tanggapan mereka. Selain itu dia juga tidak mau sahabatnya dicap pembohong. Sudah cukup persahabatannya renggang gara-gara Vian. Dan dia tak ingin persahabatannya hancur hanya karena dia tak mengakui pertunangannya.
"Kamu bohong, Ndre!" Cindy menggigit bibir menahan tangis. Dia tak dapat menerima kalau pemuda yang selama ini disukainya sudah memiliki tunangan. Terlebih lagi tunangan dari gadis yang menurutnya paling menjijikkan di sekolah mereka.
"Apa untungnya gue bohong sama lu?" Andre menatap Cindy remeh. "Dan buat lu semua..." Tatapan dingin itu menyapu seisi kelas. "Kalo ada anak selain dari kelas kita yang tau masalah ini, habis lu!"
Tak ada yang bersuara, hanya decakan-decakan tak percaya yang keluar dari mulut-mulut mereka. Juga suara isak Cindy tentunya. Andre mendengus kesal. Muak dengan kelakuan semua teman sekelasnya. Mengacuhkan semua itu, Andre melangkahkan kaki keluar kelas. Meraih ponsel di saku celana seragamnya. Alis tebal itu berkerut. Tara menelponnya.
"Apa, Ta?"
Pertanyaan itu yang meluncur dari mulut Andre begitu dia menggulir tombol hijau ke atas.
"Vian nggak ada, Ndre..."
Andre memutar mata bosan. Vian lagi. Pemuda tampan itu mendengus sebelum menjawab.
"Terus?"
"Dia tadi ke sekolah, tapi nggak masuk. Gue nemu tas-nya di bak salah dekat gerbang. Gimana kalo ada yang nyulik dia?"
Suara Tara terdengar serak. Andre yakin kalau Tara tengah menangis sekarang.
"Nggak mungkin, Ta." Andre menggeleng pelan. Berusaha menenangkan Tara. "Dia nggak mungkin diculik..."
"Harusnya gue nggak hubungin lu...!"
Andre memijit pangkal hidungnya mendengar dengusan Tara. Dia sudah cukup pusing menghadapi teman-teman sekelasnya tadi. Ditambah lagi masalah ini. Andre menghela nafas sebelum bersuara.
"Lu di mana? Gue kesana."
"Beneran?"
"Iya!"
Setengah berlari Andre menuju tempat yang disebutkan Tara. Dugaannya benar, Tara menangis dan segera menghambur memeluknya dengan tas Vian di tangannya.
"Vian hilang, Ndre hiks..."
Andre mengusap punggung Tara, berusaha menenangkan sahabatnya.
"Gue yakin Vian baik-baik aja. Lu tenang aja." Andre mengangguk yakin. "Kita cari bareng-bareng ya?"
Tara mendongak menatap Andre lantas mengangguk cepat. Senyum tak kentara tersungging di bibir gadis itu. Vian benar, Andre peduli pada sahabatnya itu.
Berdua mereka menyusuri tempat-tempat di area sekolah yang menurut mereka mungkin dikunjungi Vian. Atau kalau memang benar Vian disembunyikan. Tak perduli jam istirahat sudah habis, berganti dengan pelajaran selanjutnya. Toh tidak ada ulangan. Lagipula, Vian lebih penting. Mereka harus menemukan Vian sebelum jam sekolah berakhir.
"Masa nggak ada..." Tara terengah. Gadis berambut brown terduduk lemas di rerumputan. Gadis itu terlihat putus asa karena belum juga menemukan sahabatnya.
Andre mengepal. Sungguh dia dia juga hampir putus asa. Tapi tidak melanjutkan mencari juga rasanya tidak profesional. Orangtua Vian menitipkan gadis itu padanya. Begitu juga dengan orangtuanya. Orang-orang dewasa itu telah mempercayainya dan dia tak ingin kepercayaan mereka hilang karena dia tak menemukan Vian.
"Ta..."
Tara mengangkat kepala. Posisinya yang tengah duduk mengharuskannya mendongak kalau ingin menatap Andre.
"Kita belum nyari kesana!"
Andre menunjuk bangunan di depan sana yang tampak sangat berantakan tak terurus. Rasanya mustahil Vian ada di tempat itu, tapi entah mengapa dia sangat ingin memeriksanya. Ada dorongan kuat di hatinya yang menyuruhnya ke sana.
Tara mengernyit, tapi kemudian gadis itu mengangguk. Kalau Vian memang disembunyikan, tempat tak terurus seperti itu menjadi kemungkinan terbesar.
Berdiri, Tara berlari kecil menyusul Andre yang sudah lebih dulu melangkah menuju bangunan bekas toilet itu. Tara menatap Andre dengan kening berkerut begitu pemuda itu berhenti. Andre terlihat mengawasi. Pemuda itu juga tampak memasang pendengaran baik-baik.
"Lu denger nggak?"
Tara menatap Andre bingung. Perasaan dia tidak mendengar apa-apa.
"Ada yang manggil gue!"
Mata coklat Tara membulat.
Andre mengangguk meyakinkan. "Dari sana, Ta!"
Serta-merta Andre berlari cepat ke arah bangunan yang hanya tinggal beberapa meter dari mereka. Membuka satu persatu pintu yang tertutup tapi tak terkunci. Dan mata birunya membola menemukan sesosok tubuh lemah terbaring di lantai kotor toilet. Dari seragamnya yang tampak keras ketahuan kalau seragam itu tadinya basah. Segera Andre mengangkat tubuh mungil itu. Menggendongnya bridal style.
"Vian, Ta!" Teriaknya. Tanpa sadar mata biru gadis dalam gendongannya terbuka sedetik sebelum kembali tertutup.
Andre?