Aya dan Daus berjalan berbarengan keluar rumah menuju tempat parkiran. Sejauh ini pertemanan aya dan Daus tetap baik-baik saja. Mereka benar-benar melupakan apa yang sempat terjadi. Tidak ada lagi kecanggungan. Aya bahkan sudah bisa meledek Daus seperti biasa lagi dan Daus pun juga tidak ragu-ragu lagi untuk menjahili Aya. Sangat jarang sekali ada hubungan pertemanan yang tetap berlanjut setelah pengakuan cinta yang tertolak. Tapi Aya dan Daus berhasil mematahkan stigma yang seperti itu.
Buktinya sampai sekarang …
Mereka masih bisa bersahabat baik.
“Gila, ya! Ulangan harian dari Pak Yunus bener-bener bikin otak aku meleleh.” Daus menjulurkan lidahnya dengan mata letih seperti orang yang mabuk perjalanan.
Aya tersenyum kecil. “Lebay deh! Soal-soal ulangannya gampang kok. Apalagi beliau juga memperbolehkan kita menjawab dengan bahasa dan pemahaman kita sendiri.”
“Soal yang bikin otak mengkerut itu kamu sebut gampang?” Daus membelalak.
“Iya. Emang gampang.” Aya tetap pada jawabannya.
Daus makin terpana. “Waaah … ini nih … tipe murid yang bakalan dimusuhin sam atemen sekelasnya.”
Aya mencibir. “Nggak ada yang musuhin aku, tuh! Lagian aku ngomong kayak gini ya, sama kamu doang.”
Daus geleng-geleng kepala. “Jadi kamu sengaja berlagak sombong sama aku, gitu?”
Aya hanya tersenyum. “Makanya lain kali belajar. Kamu males, sih ….”
Daus mengembuskan napas panjang. “Eh … sekarang hari sabtu kan, ya?”
Aya menepuk jidatnya sendiri. “Hari apa sekarang pun kamu nggak tau?”
“Nanti malam minggu. Oh iya, kamu sibuk nggak nanti malam? Apa mungkin kamu boleh keluar sama Bapak kamu? Aku yang akan dateng minta ijin langsung,” tukas Daus tiba-tiba.
Aya malah termenung. “E-emangnya kenapa? Mau ke mana? Apa kamu mau ngajak aku buat malam minggu?”
“Idih … Pede amat lu! Kagaaaaaak ...!” sanggah Daus.
Aya mengernyit bingung. “Terus ke mana?”
“Jadi gini … kamu inget kan kalo aku punya kerja sambilan sama pihak katering?”
“Iya. Aku inget. Kenapa?”
“Nah, kemarin bos aku itu ngehubungin. Katanya ada job buat malam minggu ini. Semacam pesta ulang tahun gitu dan katanya lagi … aku boleh bawa temen untuk tambahan anggota,” jelas Daus bersemangat.
Aya mencoba mencerna maksud dari perkataan Daus. “Jadi maksudnya kamu mau ngajak aku buat bekerja, gitu?”
Daus menjentikkan jarinya. “Yash!”
“Ada gajinya?”
“Jelaslah.”
Aya seketika tersenyum, lalu mengangguk cepat. “Aku mau! Aku mau!”
Daus langsung mencibir. “Giliran duit cepet aja, lu!”
Aya terkekeh. “Hehehe … ya, lumayan kan, kalo ada kesempatan kayak gini. Jadi ntar malem jam berapa?”
Daus berpikir sebentar. “Acaranya jam sembilan. Tapi jam delapan kita harus udah di lokasi. Tempat pestanya di sebuah hotel gitu. Nanti aku jemput kamu sekalian ijin sama bapak.”
“Oke, deh.” Aya tersenyum senang.
.
.
.
Setelah nyaris tertidur seharian, akhirnya Alfian terbangun karena dering handphone-nya yang memekik sangat keras. Tangannya menjulur keluar dari balik selimut menjangkau-jangkau ke atas meja nakas. Jemari itu terlihat cukup kesulitan menjangkau handphone itu, tapi kemudian dia berhasil mendapatkannya.
“ALFIAAAN …! lo di mana? Kenapa hari ini lo nggak masuk sekolah, ha?” suara lengking itu langsung membuat Alfian menyibak selimut yang menutupi wajahnya.
Alfian tidur tanpa memakai baju. Saat ini tubuh atletisnya terpampang nyata. Rambutnya kusut, tapi semua itu sama sekali tidak mengurangi ketampanannya.
“Apaan, sih!” sergah Alfian.
“Lo kenapa nggak sekolah hari ini?” Riski kembali meracau.
“Gue males.”
“Oh iya. Ntar malem pesta ulang tahunnya Giselle. Lo pergi kan?” tanya Riski.
Alfian mengembuskan napas gusar. “UDAH BERISIK! Ganggu gue lagi tidur aja, lo1”
Tut … tut …
Alfian memutus panggilan telepon itu dan kembali berbaring. Ia memejamkan mata sambil menghela napas. Tapi sekarang ia merasa lapar yang sudah tidak tertahankan lagi.
Alfian akhirnya bangun, memakai baju kaosnya, kemudian keluar untuk mencari makanan ke dapur. Ia menuruni tangga sambil sesekali menguap lebar. Suasana rumah soren ini sangat sepi dan sunyi. Alfian terus berjalan ke arah dapur.
Tapi kemudian …
Matanya tertuju pada pintu kamar almarhumah sang mama yang sedikit terbuka.
Eh.
Alfian menatap bingung.
Ia kemudian berjalan mendekat dengan langkah hati-hati.
Alfian kemudian mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka itu dan langsung terkejut. Ia melihat sosok Margaretta yang sedang mencoba mengenakan pakaian sang ibunda. Saat ini Margaretta sedang mengenakan sebuah dress lengan panjang berwarna merah dan tampak sibuk melihat penampilannya di cermin.
Alfian terkesiap. Itu adalah gaun yang ia belikan untuk hadiah ulang tahun sang mama terakhir kali.
“APA YANG ANDA LAKUKAN DI SINI, HA!” bentak Alfian.
Margaretta terkejut dan langsung salah tingkah. “A-Alfian….”
Alfian menatap tajam. “Sudah saya katakan jangan pernag masuk ke dalam kamar ini!”
Margaretta tersenyum gugup. “T-tenang dulu… kamu jangan salah paham.”
“KELUAAAAR …!” bentak Alfian penuh amarah.
Margaretta tampak kesal dan sakit hati. Tapi jelas dia akan menahannya. Margaretta memaksakan bibirnya tersenyum. Tapi perempuan itu masih juga belum beranjak dan membuat Alfian semakin merasa jengkel.
“KELUAAAR DARI SINI …!” pekik Alfian lagi.
“Apa-apaan ini, ha?”
Alfian dan Margaretta sontak menoleh ke arah suara. Ternyata itu adalah sosok Handoko yang berdiri di ambang pintu.
Melihat kedatangan sang suami, Margaretta lekas berlari ke belakang Handoko dengan raut wajah ketakutan.
“Ada apa? Kenapa kamu berteriak seperti itu?” tanya Handoko lagi.
Alfian tidak menjawab. Margaretta pun langsung berbicara.
“A-aku bermaksud membersihkan kamar ini, Mas … tapi Alfian tiba-tiba dateng dan marah karena aku masuk ke kamar ini,” jelas Margaretta.
Alfian menatap bengis. “Dia make bajunya Mama!”
“I-ini mama tadi cuma iseng nyobain … Mama nggak ada maksud apa pun Fian!” Margaretta berkata pada Alfian.
“SUDAH CUKUP …!” pekik Handoko.
“Apa kamu tidak bisa menghargai mama kamu, ha!” bentak Handoko.
Alfian tersenyum kecut. Kali ini sang papa malah meminta ia menghargai Margaretta. Sementara Margaretta tidak pernah menghargai perasaannya. Ini bukan pertama kalinya Alfian melihat Margaretta menerobos ke dalam kamar almarhumah sang mama.
“Sudahlah … percuma ngomong sama Papa yang nggak akan mengerti sama sekali,” tukas Alfian.
Alfian keluar dengan kesal. Dia pun tidak jadi ke dapur untuk mengambil makanan. Seketika ia merasa muak berada di rumah itu. Alfian kembali ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang. Tatapannya kemudian beralih pada handphone dan langsung memanggil Riski yang tadi juga meneleponnya.
“Gue akan pergi ke pesta itu. Jadi lo harus jemput gue sekarang!” Alfian langsung memberikan perintah begitu Riski menjawab panggilannya.
.
.
.
Bersambung…