Tuan Muda dan Upik Abu - 20

1028 Kata
Kelopak mata Alfian mengernyit pelan, sebelum akhirnya terbuka. Alfian merasa letih. Ia menguap lebar dan seketika terkejut saat ia menyadari bahwa dia sudah terlelap semalaman dengan duduk berjongkok di samping makan sang ibunda. Alfian masih mengumpulkan nyawanya sejenak. Ia juga merasa pusing. Bisa jadi dia masuk angin karena semalaman berada di sana. Tadi malam Alfian benar-benar dilamun oleh gejolak kecewa. Ia tak tahu harus mengadukan semua kepada siapa. Ia juga tidak ingin memperlihatkan kerapuhannya itu kepada Riski ataupun teman-temannya yang lain. Alfian terus melangkah menembus gelapnya malam. Ia bahkan tidak sadar bahwa langkah kaki itu berakhir di makam sang ibunda. Setiba di sana, Alfian terduduk dan mulai berkeluh kesah. Tak ada sedikitpun ketakutan… Tak ada sedikitpun keraguan saat ia duduk sendirian di sana ditengah heningnya malam. Alfian terduduk dengan wajah kuyu dan tatapan mata yang kosong. Hingga kemudian bibirnya mulai berceloteh menumpahkan segala yang terjadi. Semua keluh kesah yang selama ini ia simpan dalam hati. Alfian lama sekali menceritakan banyak hal. Sesekali ia tersenyum getir. Sesekali ia juga kesulitan menahan tangis yang nyaris tumpah. Hingga kemudian ia lelah berbicara dan akhirnya terlelap dengan posisi kepala terbenam di antara kedua lutut dan tangan memeluk lututnya sendiri. Alfian memerhatikan keadaan sekitarnya lagi. Langit pagi belum sepenuhnya terang. Barisan makam di sekelilingnya itu pun sontak membuat Alfian bangkit berdiri. Barulah ketakutan itu terasa menggelitik. Alfian merinding dan menatap tak percaya. “J-jadi semalam aku ketiduran di sini?” Glek. Alfian mengusap tengkuknya sendiri yang terasa dingin. Setelah itu tatapannya kembali tertuju pada papan nisan yang bertuliskan nama sang ibunda. Alfian tersenyum tipis dengan sorot mata sayu. Ia menghela napas sesak, lalu kemudian berbisik pelan. “Aku pulang dulu ya, Ma ….” . . . Alfian tiba di rumahnya dengan langkah sempoyongan. Kepalanya terasa semakin pusing. Mungkin karena angin malam. Perutnya juga terasa tidak enak. Alfian melewatkan makan malam. Di pesta ulang tahun temannya itu pun, ia hanya mencicipi aneka kudapan kecil dan minuman saja. Jadi sekarang wajar saja jika kondisi tubuhnya menjadi drop. Memang, wajahnya pun terlihat pucat sekarang. Alfian ingin beristirahat lagi. Ia bahkan merasa tidak sanggup untuk pergi ke sekolah hari ini. Biarlah, ia juga tidak peduli dengan sekolahnya. Alfian memasuki rumahnya dengan langkah gontai, tapi saat melewati ruang keluarga, sebuah hardikan keras langsung terdengar. “DARI MANA SAJA KAMU, HA …!?” Alfian berbalik pelan. Terlihat Handoko yang kini menatap tajam padanya. Alfian bahkan tidak punya tenaga untuk sekedar menjawab. Dia memilih mengabaikannya dan berbalik lagi. “Mau jadi apa kamu? Pulang pagi seperti ini … apa kamu mabuk-mabukkan di luar sana?” tuding sang ayah. Tuduhan itu membuat langkah kaki Alfian terhenti. Ia berbalik pelan. Ditatapnya sang ayah lekat-lekat. Apa sekarang ini ia terlihat sangat buruk di mata sang ayah? Apa tidak ada lagi kebaikan dirinya di mata Handoko? Apa yang dirasakan oleh sang ayah terhadapnya sekarang ini hanyalah rasa benci? “Kenapa, Pa … ada apa pagi-pagi ribut?” Margaretta yang muncul dari arah dapur langsung menatap rusuh. Handoko menunjuk Alfian. “Ini … dia tidak pulang semalaman. Dan sekarang lihatlah bagaimana kondisinya. Dia pasti mabuk-mabukkan.” Alfian hanya menatap nanar. Lelah. Dia sangat penat. Membela diri pun hanya percuma. Tidak ada yang akan percaya padanya. Margaretta beralih mendekati Alfian, menatapnya dengan mata sendu. “Kamu dari mana? Kenapa semalam nggak pulang? Apa yang terjadi?” Jangankan menjawab, menatap perempuan itu pun Alfian merasa sangat enggan. Tidak diacuhkan Alfian, wanita itu kembali beralih pada sang suami. “Sudahlah, Pa … masih pagi, jangan marah-marah lagi.” Handoko masih berusaha meredam emosi. Dia terlihat sangat murka. “KAMU DARI MANA, HA …!?” bentak Handoko lagi. Helaan napas Alfian terdengar sesak. “Memangnya Papa peduli apa? MEMANGNYA PAPA PEDULI APA AKU DARI MANAAAAA …!!!” Suara Alfian tak kalah keras. Ia menatap sang ayah dengan mata yang memerah. Bibirnya bahkan bergetar menahan amarah yang memuncak. “Sampai kapan kamu akan seperti ini?” tanya Handoko. “Sampai kapan kamu menjadi BEBAN SEPERTI INI, HA …!?” “B-beban ….” Alfian menyebut kata itu lirih. Jadi sang ayah menganggapnya sebagai beban? Alfian tidak bisa lagi berkata-kata. Sang ayah bahkan menuduhnya dengan semena-mena. Sang ayah bahkan tidak tahu kenapa dia tidak pulang semalaman. Apa penyebabnya. Apa yang membuat Alfian pergi di tengah malam nan gelap gulita. Bersamaan dengan itu sosok Dino terlihat muncul. Dino sudah rapi bersiap untuk berangkat ke kantor. “Kita pergi sekarang, Pa?” Dino yang menekur itu tidak tahu situasi yang sedang terjadi. Eh. Dino mendongak dan langsung termangu melihat Alfian berwajah masam. Handoko pun masih menatap tajam pada Alfian. Alfian kemudian tersenyum tipis. “Sudahlah … sebaiknya sekarang Papa pergi saja sama putra kesayangan Papa itu!” Handoko tertegun, Alfian pun dengan cepat berlari menaiki anak tangga. “Sudahlah, Mas … anak umur segitu memang sedang labil-labilnya. Nanti aku akan coba bicara sama dia,” bujuk Margaretta. Handoko tidak menjawab. Dia menyapu wajahnya dengan telapak tangan, lalu beralih menatap Dino. “Ayo kita pergi!” Dino mengangguk. “Baik, Pa.” Handoko melangkah pergi. Dino langsung menyusul, tapi kemudian sang mama menariknya seraya tersenyum senang. “K-kenapa, Ma?” Margaretta memperbaiki ikatan dasi Dino, memeriksa penampilan anaknya itu benar-benar sempurna. “Kamu harus melakukan yang terbaik mengerti? Hari ini kamu akan mengikuti pertemuan yang sangat penting. Kamu tidak boleh melakukan kesalahan.” Dino menatap sang mama lekat-lekat. “Alfian kenapa lagi?” Sang mama tersenyum. “Dia semalam tidak pulang ke rumah. Semua gara-gara mama, sih … Mama yang sudah mengompori papa kamu agar dia ikut cemas. Mama sengaja pura-pura menunggu Alfian sampai jam dua pagi. Hal itu membuat papa kamu gusar dan begitulah …” Dino menghela napas sesak. Dia memang tidak menyukai Alfian. Tapi dia juga tidak setuju dengan sikap dan perbuatan sang mama. “Apa Mama harus melakukan semua ini? Bukankah semua terlalu berlebihan?” Pertanyaan itu membuat senyum di wajah Margaretta menghilang dan berganti dengan tatapan tajam. Tapi kemudian ia tersenyum kembali. Perubahan raut wajah yang sangat kontras itu terlihat sedikit mengerikan. “Tentu saja,” jawab Margaretta. Dino hanya bisa meneguk ludah. “Kamu tidak perlu ikut pusing memikirkannya. Kamu hanya perlu menjalankan peran kamu dengan baik sebagai putra Handoko Sanjaya….” . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN