Tuan Muda dan Upik Abu - 17

1982 Kata
“Maafkan Bapak, ya!” Aya menggeleng cepat dan meremas tangan sang bapak lebih erat lagi. “Nggak, Pak … jangan bicara seperti itu. Kenapa Bapak minta maaf.” “Maaf karena bapak sudah membuat kamu cemas seperti ini. Sajid yang masih terlihat lemah itu menatap Aya perlahan. Kondisinya sudah membaik, tapi sekujut tubuhnya masih terasa sangat letih. “Bagaimana sekolah kamu? Kamu makan dengan teratur, kan?” “Bapak nggak perlu khawatir. Semuanya baik-baik saja. Sekarang Bapak fokus istirahat saja,” tukas Aya. Sajid mengembuskan napas pelan. “Bapak sudah ndak betah di rumah sakit ini. Bapak mau istirahat di rumah kita saja.” Aya tersenyum. “Kata dokter, nanti sore Bapak sudah bisa pulang. Om Handoko tadi juga telpon aku … katanya akan ada ajudannya yang mengurus semuanya nanti.” Hening. Sajid tampak tertunduk. Entah apa yang dipikirkannya. “Kenapa?” tanya Aya. “Bapak cuma ngerasa ndak enak saja sama Handoko.” Aya pun juga terdiam. Saat ini ia sudah mengenakan baju seragam dan menyandang ransel di punggungnya. Aya pulang ke rumahnya sebentar untuk siap-siap tepat di waktu subuh. Langit pun masih gelap, tapi Aya sudah buru-buru bersiap untuk berangkat ke sekolah, lalu kemudian kembali ke rumah sakit lagi. “Sebaiknya sekarang kamu pergi ke sekolah. Nanti kamu terlambat.” ingat Sajid. Aya melirik jarum jam dinding. “Masih lama, Pak … dua puluh menit lagi.” Mendadak suasana berubah hening. Sajid menghela napas teratur, tapi terdengar jelas. Aya sendiri terlihat gugup, seperti ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. “I-itu, Pak ….” Aya akhirnya mulai berbicara. “Apa?” “A-aku sudah memikirkan tawaran tentang pindah sekolah itu. Sebenarnya malam kemarin aku juga sudah mengobrol dengan Om Handoko….” “Lalu bagaimana menurut kamu?” tanya Sajid. Aya meneguk ludah. “A-aku mau, Pak!” “Kamu yakin?” Aya menatap sang bapak, lalu mengangguk lagi. “Aku yakin … aku sudah memikirkannya dengan baik. Bu Rahma juga mengajar di sana … dan beliau juga menyarankan agar aku untuk menerima tawaran itu. ” Sajid tersenyum. “Kalau begitu gaskeun! Bapak akan tetap mendukung apapun keputusan kamu.” Aya mengangguk. “Yang terpenting adalah restu dari Bapak ….” “Selama itu di jalan kebaikan … tentu saja Bapak akan merestui dan mendukung kamu, Aya.” Aya tersenyum lega. Tapi kemudian raut wajahnya berubah murung. “Loh … kenapa tiba-tiba manyun begitu?” sergah sang bapak. Aya mengangkat wajahnya. “Tapi aku ngerasa sedih karena harus berpisah sama teman-teman aku, Pak.” Sajid mengembuskan napas panjang. “Aya … dalam hidup ini, akan selalu ada pertemuan dan perpisahan. Akan selalu ada awal dan akhir. Kebersamaan kita sebagai manusia terkadang laksana menaiki bus yang sama. Ketika kita masih sejalan, masih searah, masih satu tujuan … maka kita akan bersama orang itu. Tapi ketika tujuan sudah berbeda, maka kita akan menaiki bus yang berbeda pula dan bertemu dengan teman yang lain lagi. Begitulah hidup … semua memang sudah jalannya seperti itu. Sedih itu wajar. Karena kita mempunyai perasaan. Iya, Toh ….” Aya mengangguk. Satu-satunya yang menganggu pikirannya saat ini adalah tentang perpisahan dengan teman-temannya. Hari-hari Aya di sekolah itu memang penuh dengan kenangan yang manis. Ada begitu banyak kesenangan dan moment bahagia yang sudah tercipta. Selama hampir dua tahun belakangan ini … Aya selalu menempuh hari-harinya dengan penuh kedamaian. Tidak ada seorang pun yang mengganggu atau mengusiknya. “Kamu hanya berpisah satu tahun lebih cepat dari seharusnya,” tukas sang bapak. Aya sedikit tergelak. “Iya. Bapak benar… lagi pula nantinya aku akan tetap bisa berhubungan dengan mereka. Sesekali aku juga tetap bisa berkumpul bersama mereka.” “Iya. Semua akan baik-baik saja. Tapi kalau kamu memang merasa sayang untuk meninggalkan mereka, atau kamu tetap menyukai sekolah lama kamu … kamu bisa memikirkannya kembali.” Aya langsung menggeleng. “Nggak, Pak! Keputusan aku sudah bulat. Aku … akan pindah ke SMA Sanjaya!” . . . Alfian melamun duduk di bangkunya sembari memutar-mutar pena dengan jemarinya. Seperti biasa, bocah angkuh itu duduk dengan menyilangkan kaki ke atas meja. Padahal di depan sana ada seorang guru lelaki berkacamata yang sedang menerangkan pelajaran. Tapi ia sama sekali tidak menegur Alfian. Bukan takut menegur. Hanya saja kebanyakan guru-guru di sana memilih untuk mencari aman. Semua karena sosok kepala sekolah gesrek yang selalu men-ji-lat karena sedang mengincar posisi sebagai ketua yayasan Sanjaya. Kebobrokan itu datang dari pemimpinnya sendiri. Itulah kenapa sekarang ini kekacauan semakin menjadi-jadi saja. Alfian tak habis pikir. Rahma ternyata mengabaikan peringatannya. Perempuan itu tetap saja datang ke sekolah dan mengajar seperti tidak terjadi apa-apa. Rahma juga tidak pernah lagi menegur murid-murid yang meribut ataupun tidak memerhatikan pelajarannya. Dia memilih menghiraukannya. Bahkan giliran murid-murid itu yang merasa capek mencari perhatian dan akhirnya diam dengan sendirinya. Dan Alfian … jelas tidak menyukai itu. “Udahlah … biarin aja itu Bu Rahma … toh, dia nggak cari gara-gara sama lo lagi,” bisik Riski yang duduk di sebelahnya. Alfian tersenyum kecut. Dia menghela napas pendek. “Ya … gue bakalan ngasih waktu agar dia istirahat sejenak. Gue akan tunggu dia merasa tenang dan damai… gue akan tunggu sampai dia lengah… dan setelah itu… semua drama akan kembali dimulai,” ucap Alfian. Riski langsung mengusap-usap kedua pundaknya sendiri dengan tangan menyilang. “Gila! Lo serem amat. Masih nggak ngerti gue bisa temenan sama titisan Dajjal kayak lo.” Alfian menatap sengit. “Hehehe. Becanda Bro! Candaaa.” Riski menyeringai. Alfian lalu menurunkan kakinya dari atas meja, beralih mengempaskan kepalanya ke atas lengan. “Lo bangunin gue kalo udah jam istirahat!” titahnya. Riski mengangguk. “Okey Boskuh!” Apa Alfian benar-benar tidur? Tidak. Dia kini termenung dengan tatapan mata yang terlihat hampa. Semalam Alfian pulang ke rumahnya setelah sekian lama melarikan diri dan menetap di rumah Riski. Awalnya Alfian mengira sang ayah akan murka padanya. Akan marah padanya. Akan menghukumnya seperti biasa. Tapi … Sang ayah malah mengabaikannya. Kepulangannya hanya disambut oleh lirikan mata sebentar, lalu kemudian tak ada lagi yang terjadi. Hanya sang mama sambung alias Margaretta yang heboh dan histeris menunjukkan kecemasannya seperti biasa. Tapi sang ayah … Sikapnya dingin sekali. Alfian tidak mengerti, tapi sikap ayahnya itu membuat Alfian merasa gelisah. Harusnya dia merasa senang. Alfian memang menginginkan sebuah kebebasan. Namun … kenapa dia malah merasa gelisah mendapatkan pengabaian seperti itu? Alfian bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Pemandangan yang menyesakkan d**a juga terjadi di pagi hari. Alfian melihat bagaimana sang ayah mengobrol dan tertawa dengan Dino. Sang mama tiri juga tampak bahagia sekali. Pemandangan mereka bertiga mengingatkannya pada masa lalu. Dulu Alfian juga pernah memiliki keluarga utuh dan hangat seperti itu. Dia, sang ayah dan juga ibundanya. Dulu dia yang duduk di kursi Dino. Dulu sang ayah juga menatapnya dengan tatapan teduh seperti itu. Sekarang … tempatnya sudah diambil alih. Alfian tidak bisa menampik rasa cemburu yang membelit hatinya. Akan tetapi, ia juga terlalu egois untuk mengakui bahwa penyebab semua kekacauan dalam hidupnya adalah karena dia ingin sebuah perhatian. . . . Suara bel tanda waktu istirahat berdentang keras. Semua murid-murid mulai mengemasi peralatan belajar mereka, lalu berhamburan hendak keluar kelas. Tapi kemudian sebuah suara menghentikan mereka semua. “TUNGGU …!” Teriakan dari seorang siswi dengan badan sedikit gembul potongan rambut seperti Dora dengan poni yang tidak akan tergoyahkan oleh angin topan sekalipun itu langsung membuat semua orang berhenti bergerak. Namanya Lastri. Dia adalah siswi paling bar-bar di kelas itu. Lastri sangat ditakuti oleh mayoritas warga kelas. Hampir semua murid laki-laki di kelas itu pernah diangkat ke udara dengan kekuatan tangannya nan kekar. Hanya Alfiano satu-satunya yang tidak pernah merasakan kekuatan Lastri. Riski yang tidak pernah mencari gara-gara dengannya pun juga pernah menjadi korban. Saat itu pulpen milik Lastri bergulir dari atas meja dan jatuh ke lantai. Saat akan mengambilnya, Riski kebetulan lewat dan tidak sengaja menginjak jemari gemoy milik Lastri. Tragedi itu pun akhirnya terjadi. Riski yang katakutan langsung menangkupkan keua telapak tangan memohon ampun. Mengatakan bahwa dia benar-benar tidak sengaja. Lelaki cupu itu memohon dengan wajah pucat. Akan tetapi… Lastri tidak peduli. Lastri mengangkat kerah baju Riski hingga kedua kakinya mengawang. Selang beberapa detik kemudian Lastri membantingnya ke lantai yang menyebabkan Riski sakit pinggang selama satu minggu. Deg. Riski langsung mengalihkan pandangannya dari Lastri yang kini berdiri di depan kelas. Dia masih trauma setiap teringat kejadian yang super mengerikan itu. “Jadi teman-teman … hari ini ada pengumuman yang super penting, eksklusif, spektakuleeeer ulala duaaaaaar!” Lastri kembali bersuara. “Apaan? “Ada apa?” “Laper, nih!” “Buruan!” Lastri kemudian mengambil tumpukan kartu dari atas mejanya. “Jadi besok malam itu our princess Giselle Andriani berulang tahun yang ke 17. Sweet seventeen gitchuuuuuh.” Semua mata langsung tertuju pada gadis cantik berbadan ramping dengan looks yang terlihat seperti blasteran itu. Dia adalah Giselle Andriani, sosok cantik yang juga merupakan peraih juara umum berturut-turut di SMA Sanjaya. Hingga detik ini tidak ada satu orang pun yang bisa menggoyahkan tahtanya. Giselle adalah gambaran dari sebuah kesempurnaan di mata orang lain. Cantik. Kaya raya. Cerdas. Dia adalah sosok ratu di SMA Sanjaya. Ada banyak siswa yang tergila-gila padanya. Sementara para siswi berlomba-lomba untuk bisa berteman dengannya. Kebanggaan sekolah. Kesayangan para guru. Giselle adalah paket lengkap nan sempurna. Lastri mulai membagikan undangan pesta ulang tahun pada semua warga kelas itu. Semua orang terlihat senang dan exited mendapatkan undangan khusus yang pastinya akan sangat ekslusif. “Jangan lupa dateng, ya!” “Perhatiin juga dresscode-nya.” “Ditunggu kedatangannya.” Lastri sibuk mengoceh seraya membagikan undangan itu. Tapi pada saat Lastri berjalan ke bangku Alfian, sosok Giselle langsung menghampiri Lastri dan mengambil undangan itu darinya. “Biar aku aja yang kasih,” ucap Giselle. Giselle berjalan pelan mendekati Alfian yang masih dalam posisi merebahkan kepala di atas meja. Pemandangan itu sontak menarik perhatian semua warga kelas. Mereka menanti apa yang akan terjadi. “Alfian!” suara Giselle terdengar renyah saat memanggil nama itu. Alfian mendengarnya dengan jelas, tapi ia merasa malas meladeninya. “Alfiaaaan …!” panggil Giselle lagi. Alfian bangun dan menatap datar. “Ada apa?” Giselle tersenyum, lalu menyerahkan kartu undangan ulang tahunnya itu. “Besok kamu dateng, ya … ke pesta ulang tahun aku!” Suara bisik-bisik para murid yang melihat adegan itu seketika riuh. Ada yang gregetan sendiri, ada yang terlihat gugup dan ada juga yang menahan napasnya. “Ya, walaupun kita udah putus … tapi setidaknya kita masih bisa berteman, kan?” Giselle tersenyum. Alfian mengembuskan napas gusar. Tatapannya beralih pada kartu undangan yang masih berada di tangan Giselle yang mengawang di depan wajahnya. Setelah menatapnya sekian detik, akhirnya Alfian mengambil undangan itu dan langsung disambut dengan teriakan histeris. “KYAAAA …!” “Akhirnya mereka berdamai …!” “Tercium bau-bau CLBK nggak sih?” “Aku berharap mereka balikan!” “Momentnya tepat sekali … semoga Alfian dan Giselle kembali bersama!” Komentar-komentar itu membuat Giselle tersenyum malu. Dari raut wajahnya bisa terlihat bahwa ia merasa senang. Giselle memang berharap demikian. Dia berharap bisa kembali merajut kasih dengan sang tuan muda yang hingga detik ini masih membuatnya tergila-gila. Mereka pernah berpacaran selama kurang lebih enam bulan. Tapi kemudian ada konflik yang terjadi. Permasalahannya sederhana, hanya karena salah paham saja. Giselle jalan bersama teman lelakinya dan Alfian melihat itu. Sosok Alfian yang posesif itu pun langsung murka. Dia menghajar lelaki itu tanpa mau mendengarkan penjelasan sama sekali. Saat itu juga dia berkata ‘PUTUS’. Giselle tentu tidak terima. Dia berusaha menjelaskan semuanya, tapi Alfian tidak peduli lagi. Usut punya usut Alfian memang sengaja menjadikan momentum itu untuk mengakhiri hubungan mereka. Ada rumor yang mengatakan bahwa Alfian berpacaran dengan Giselle hanya untuk mendongkrak nilai-nilai mata pelajarannya saja. Tapi apapun alasan Alfian, Giselle tidak peduli. Hatinya masih terpaut pada lelaki tampan itu. “Kamu akan datang, kan?” tanya Giselle lagi. Alfian mengembuskan napas kasar dan malah bangun dari duduknya. Ia menatap tajam pada Giselle, lalu berkata ketus. “MINGGIR … gue mau lewat!” . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN