Tuan Muda dan Upik Abu - 16

2022 Kata
Aya menanti gelisah di luar ruangan ICU. Gadis 17 tahun itu berjalan mondar-mandir dengan wajah gugup. Tak lama setelah menerima panggilan telepon dari Handoko, sebuah mobil ambulance langsung datang dan membawa bapaknya ke rumah sakit terdekat. Sekarang ini sang bapak sedang mendapatkan penanganan dari dokter di dalam sana. Aya duduk berjongkok. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya, lengkap dengan sepatu. Rambutnya sudah kusut. Wajahnya juga kumal karena air mata yang mengering di pipinya. “Ayaa …!!!” Suara itu membuat Aya mendongak. Rahma yang baru datang langsung berlari mendekati Aya. “Ibu …!” Aya juga berlari menghampirinya hingga mereka berdua beradu dan Aya langsung memeluk Rahma erat-erat. “Bapak, Bu … Bapak tiba-tiba aja nggak sadarkan diri.” tangis Aya pecah saat mengatakan itu. Rahma pun menatap rusuh. Ia kemudian mencoba menenangkan Aya. “Semua akan baik-baik saja … kamu harus tenang. Semua akan baik-baik saja.” Aya menangis tersedu-sedu. Seumur hidupnya baru sekali ini Aya melihat sang bapak seperti itu dan jelas Aya menjadi sangat khawatir. “Lalu siapa tadi yang bawa Bapak kamu ke sini?” tanya Rahma. “Tadi majikan bapak aku nelpon, Bu. Setelah itu ambulance-nya datang,” jawab Aya “Ya, sudah … sekarang kita tunggu dokternya keluar dan kita dengar apa kata dokternya. Kamu yang tenang.” Aya menyeka air matanya dan mengangguk tanda mengerti. Rahma menatap prihatin saat menyadari Aya masih mengenakan seragamnya. “Kamu sudah makan?” tanya Rahma lagi. Aya bahkan tidak ingat akan hal itu. Ia menggeleng. “Belum, Bu.” “Nanti setelah dokternya keluar, kita cari makan dulu, ya.” “Iya, Bu.” Aya dan Rahma akhirnya menunggu di luar. Tak lama kemudian ia mendengar derap langkah kaki yang terdengar cukup ramai dari ujung lorong yang tampak sepi. Aya dan Rahma saling pandang. Menanti siapa yang akan datang. Suara derap langkah kaki itu kemudian terdengar semakin dekat. Hingga akhirnya Aya dan Rahma sama-sama sontak berdiri melihat seorang lelaki paruh baya dengan setelan necis yang melangkah gagah dengan pasukan pengawal di belakangnya. “Aya …? Kamu yang namanya Aya?” tanyanya. Aya mengangguk. Sosok itu mengulurkan tangannya. “Saya yang tadi menelepon kamu. Saya Handoko, majikan bapak kamu!” Aya langsung menjabat tangan itu dan sedikit menundukkan kepalanya memberi hormat. “Iya, Om .. m-maksud saya Tuan. “Panggil Om saja.” Aya mengangguk sopan. Tatapan Handoko beralih pada sosok Rahma. Handoko mengernyitkan dahinya, lalu kemudian menunjuk Rahma. “Anda guru SMA Sanjaya bukan?” Eh. Rahma mendongak. Mencoba mengingat-ingat lagi wajah lelaki itu. “Anda pernah datang ke rumah saja,” tukas Handoko lagi. Rahma terkesiap. Sekarang ia ingat bahwa sosok itu adalah ayahnya Alfian sekaligus pemilik yayasan SMA Sanjaya. “I-iya, Pak … saya guru di SMA Sanjaya,” jawab Rahma kemudian. “Apa hubungan kamu dengan anak ini?” “Sebelumnya saya mengajar di sekolah Aya dan saya adalah wali kelasnya di sana,” jawab Rahma. Aya yang sedikit bingung dengan percakapan itu pun hanya menyimak. “Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, kan?” tanya Handoko. Pertanyaan itu membuat Rahma terdiam sejenak. Sekarang ia tahu bahwa Handoko tetap tidak tahu bagaimana perangai Alfian yang semakin menjadi-jadi. Rahma akhirnya paham bahwa pihak sekolah mencoba menutupi semua itu dari Handoko. Lantas… Haruskah dia mengadu? Haruskah dia menceritakan apa yang sudah dilakukan Alfian di kelas? Haruskah ia membeberkan kedatangan Alfian ke rumahnya? Rahma meneguk ludah. Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas masalah lain. “S-semuanya baik-baik saja, Pak,” jawab Rahma kemudian. Handoko mengangguk. “Baguslah kalau begitu.” Semua perhatian kemudian teralihkan saat pintu ruangan di depan sana terbuka. Beberapa dokter dan tim medisnya pun terlihat keluar dari ruangan itu dan Handoko langsung menghampirinya. Ia mengenal dokter itu dan menyapanya sebentar. Berbasa-basi bertanya kabar dan kemudian baru menanyakan bagaimana kondisi bapaknya Aya. “Bagaimana keadaan pasien?” “Pasien mengalami kelelahan parah. Selain itu asam lambung yang naik juga memperburuk keadaan. Sepertinya pasien sering terlambat makan dan juga tidur tidak teratur. Keadaannya sudah bisa ditangani dengan baik,” jelas sang dokter. Aya masih menatap cemas. “Berarti tidak ada masalah serius, kan?” tanya Handoko lagi. Sang dokter kembali berkata. “Sayangnya ada kondisi yang cukup serius jika dibiarkan terus menerus. Saat melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, kami menemukan ada gejala penyakit lain yang mungkin bisa mengintai.” Deg. Aya melotot kaget. “A-apa, Dok? Bapak saya kenapa?” “Kami menemukan ada gejala infeksi di saluran pernapasan. Jika dibiarkan atau dianggap enteng … itu bisa menyebabkan datangnya penyakit yang lebih parah. Pasien bisa saja terindikasi asma atau paru-paru basah.” Aya tercengang. Kedua tungkai kakinya terasa melemah. Rahma yang berdiri di samping Aya pun langsung memeganginya. “Tapi tenang saja. Semua itu dapat dicegah jika pasien kooperatif dan mulai meninggalkan kebiasaan buruk yang bisa menjadi pemicunya. Tentu saja hal itu juga harus diimbangi dengan pola hidup yang sehat.” “Apa semua itu karena Bapak sering pulang hujan-hujanan di malam hari?” tanya Aya. Sang dokter mengangguk. “Nah, itu juga bisa menjadi penyebabnya. Selain itu lingkungan yang lembab juga tidak baik untuk pasien.” Aya meneguk ludah. Rumah yang mereka tempati selalu lembab. Apalagi saat musim hujan seperti sekarang ini. Banjir selalu menyapu lantai rumah dan membuat dinding-dinding kian rapuh dan juga berjamur. “Lalu bagaimana keadaan pasien saat ini, Dok?” kali ini Rahma ikut bertanya. “Kondisi vital pasien sudah stabil. Kita hanya perlu menunggu pasien siuman.” Rahma tersenyum menatap Aya. “Kamu denger itu, kan?” Aya pun mengembuskan napas lega. Hingga kemudian Handoko dan dokter itu berbincang tentang hal lain. Diam-diam Rahma melirik sosok tuan besar itu dan kemudian juga beralih menatap Aya. Rahma cukup terkejut mengetahui fakta bahwa ayah Aya bekerja sebagai sopir-nya Handoko. Setelah sang dokter pergi, Handoko beralih mendekati Aya. “Aya … saya mau bicara dengan kamu sebentar!” Aya menatap bingung, tapi Rahma segera mendorong Aya pelan untuk bangun dari duduknya. “B-baik, Om,” jawab Aya kemudian. . . . Aya duduk terpekur di samping sosok Handoko. Mereka duduk di sebuah kursi panjang di koridor rumah sakit yang cukup lengang. Aya sedikit takut dan juga gugup. Wajar saja, di ujung sana ada beberapa bodyguard yang mengawasi mereka. “Nama lengkap kamu siapa?” tanya Handoko. “Cahaya, Om … Cahaya Fathiyah.” Handoko tersenyum. “Nama yang cantik. Kamu sekilas juga terlihat mirip dengan almarhumah mama kamu.” Aya sontak mengangkat wajahnya. Ia tentu bertanya-tanya kenapa Handoko berkata seperti itu. “Om adalah teman bapak kamu saat SMA.” Ucapan Handoko itu menjawab semua tanya. Aya pun hanya mengangguk-angguk. Ia merasa segan dan juga tidak tahu harus menjawab apa. “Apa bapak kamu sudah cerita tentang tawaran pindah sekolah?” tanya Handoko lagi. Aya mengangguk. “Sudah, Om.” “Saya harap kamu mau menerima tawaran itu, Aya … Setidaknya hanya itu yang bisa om lakukan untuk membantu kamu dan bapak kamu. Bapak kamu cukup keras kepala dan tidak pernah mau menerima bantuan dari Om selama ini.” Aya tersenyum pelan. Ya, Bapak memang tipikal orang seperti itu.” “Kalau kamu mau pindah ke SMA Sanjaya dan bisa tamat dengan nilai baik, maka Om akan menjamin beasiswa penuh untuk kamu masuk universitas. Semua biaya kuliah dan biaya hidup kamu akan ditanggung. Dan … kesempatan untuk mendapatkan beasiswa keluar negeri juga sangat besar, karena yayasan sudah bekerja sama dengan beberapa partner universitas terkemuka yang tersebar di berbagai negara.” Aya kaget mendengar penuturan itu. “Keluar negeri?” “Iya. Kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri,” jawab Handoko. Aya meneguk ludah, Tawaran seperti itu sudah jelas tidak akan datang dua kali dalam hidupnya bukan? Ini adalah sebuah kesempatan yang seharusnya tidak boleh ia sia-siakan. “Om harap kamu memikirkannya baik-baik,” ucap Handoko lagi. Aya mengangguk. “Iya, Om … saya akan memikirkannya. Handoko kemudian bangun dari duduknya. “Kalau begitu Om permisi dulu. Nanti akan ada satu ajudan yang stay di sini untuk menyelesaikan segala urusan bapak kamu. Jadi kamu tidak perlu memikirkannya.” “Terima kasih, Om.” Handoko kembali berbalik. “Oh iya … kamu bisa bertanya-tanya tentang SMA Sanjaya kepada guru kamu itu! Karena dia mengajar di sana.” Eh. Aya tertegun. Dia baru menyadari hal itu. SMA Sanjaya … pantas saja ia merasa cukup familiar mendengar nama itu. Aya tertegun menatap kepergian Handoko. Tak lama kemudian ia bangun dan bergegas mencari Rahma. “Ya … aku harus mendiskusikannya dulu dengan bu Rahma,” bisiknya. . . . Rahma juga terkejut saat Aya menceritakan tentang tawaran dari Handoko. Sejujurnya ada banyak kecemasan yang dirasakan Rahma, mengingat ia tahu betul bagaimana tabiat para siswa di SMA Sanjaya. Akan tetapi semua peluang yang diceritakan oleh Handoko itu memang benar adanya. “Ibu tahu potensi dan kemampuan kamu Aya … sepertinya kamu memang bisa mendapatkan kesempatan besar di SMA Sanjaya,” ucap Rahma. Aya terlihat bersemangat. “Jadi bagaimana menurut Ibu?” “Menurut Ibu tawaran itu adalah kesempatan yang tidak boleh kamu sia-siakan… hanya saja….” kalimat Rahma terhenti sejenak. “Kamu ingat cerita ibu tentang murid-murid di sana, kan?” Aya terdiam saat mengingatnya. Ia ingat pada cerita Rahma betapa nakalnya murid-murid di SMA Sanjaya. “Murid-murid di sana ….,” ucap Aya lirih. Rahma tersenyum lirih. “Iya, begitulah.” Aya terlihat ragu, tapi kesempatan untuk bisa mendapatkan beasiswa bahkan hingga keluar negeri itu sangat menggelitiknya. Di sisi lain Rahma juga tidak ingin mematahkan kesempatan itu. Dia juga tidak ingin memengaruhi Aya untuk menolak tawaran dari Handoko. Karena kesempatan itu benar-benar sebuah peluang emas untuk Aya. “Tapi ibu rasa semuanya akan baik-baik saja.” Aya menatap sangsi. “Aku jadi sedikit takut.” “Ibu yakin semua akan baik-baik saja jika kamu bersekolah dengan tenang. Kamu tidak perlu terlibat dengan murid-murid yang selalu berbuat onar. Kamu hanya perlu fokus pada diri kamu sendiri. Dan ibu rasa … tidak akan ada masalah,” jelas Rahma. Aya mengangguk. “Ya … aku hanya perlu bersekolah di sana dengan tenang.” Rahma mengangguk. “Iya. Pokoknya kamu jangan khawatir. Toh, ibu juga ada di sana.” Aya tersenyum. “Benar … ada Bu Rahma juga di sana.” “Kamu masih punya waktu satu bulan sebelum kenaikan kelas untuk memikirkannya matang-matang. Semua memang ada risikonya. Kamu mungkin akan mendapatkan kesempatan yang besar, tapi tantangannya tentu juga ada,” ucap Rahma. “Iya, Bu. Aku hanya berusaha untuk realistis. Terlebih setelah melihat bapak jatuh sakit seperti hari ini. Aku merasa semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan masa depan yang baik.” Aya menatap sendu. Rahma tertegun. Ia merasa seperti berkaca menatap Aya. Masa lalunya juga seperti itu. Rahma benar-benar bekerja keras untuk membahagiakan ibunya. Rahma sangat mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Aya. Kedua perempuan itu memang memiliki banyak persamaan nasib. Itu jugalah salah satu alasan Rahma menjadi dekat dengan gadis itu. “TERIMA SAJA TAWARAN ITU …!” ucap Rahma tiba-tiba. Eh. Aya sedikit bingung. “K-kenapa, Bu?” “AMBIL SAJA! Itu adalah kesempatan besar untuk kamu, Aya… kamu hanya perlu fokus belajar nantinya. Ibu akan melindungi kamu di sana! IBU BERJANJI …!” Rahma menatap Aya penuh keyakinan. Sang gadis belia itu juga merasakan ada getaran semangat yang langsung terbakar di hatinya. Seakan dukungan itu langsung membuat segala gundah menguap. Keyakinan itu kini menjadi menggebu-begu. Ya, selalu ada risiko atas setiap pilihan dalam hidup. Bahkan saat tidak memilih sekalipun … risiko itu akan selalu ada. Risiko bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Tetapi harus di terima dan kemudian diatasi dengan baik. Mengatasi risiko sama saja seperti mengendalikan diri saat menerima risiko itu sendiri. Apakah risiko akan dijadikan sebagai batu sandungan yang bisa membuat terjatuh, atau dijadikan sebagai pijakan untuk bisa melompat lebih tinggi. “KAMU HARUS MENGAMBIL KESEMPATAN ITU, AYA …!” ucap Rahma lagi. Aya mengangguk penuh keyakinan. “Iya, Bu … AKU AKAN MENGAMBILNYA.” Rahma dan Aya kemudian sama-sama tersenyum. Jika Aya kini mempunyai tujuan untuk meraih impiannya di SMA Sanjaya … maka Rahma juga mempunyai tujuan baru yaitu melindungi dan mengawal Aya untuk sampai di tujuannya. Mereka berdua kini tersenyum bersama harapan yang mulai dirajut. Tapi … Mereka tidak pernah tahu bencana dan ujian seperti apa yang akan mereka hadapi nanti. . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN